Ilusi Kritik di Ranjang Pasar

Ilusi Kritik di Ranjang Pasar

(Mahkota Neo-Liberal Dalam Puisi Sosial II)

Tidak ada ideologi di dunia yang begitu percaya lagi bangga terhadap pasar kecuali neo-liberalisme. Ironisnya, Bandi Robin dengan lugunya mengatakan bahwa “pasar adalah lokomotif dunia untuk mereka yang berani menaklukan segala tipuannya.” Dan ironisnya lagi, hore-hore kembali muncul tanpa menyadari betapa rusaknya paradigma berpikir yang seperti ini khususnya dalam usungan atas puisi sosial serta urgensinya bagi menyuarakan kedaulatan negara! (baca: Puisi Sebagai Akar yang Merayap Bukan Pemujaan untuk Bloomberg)

Apakah kita semua telah cukup bodoh sehingga tidak mengerti bahwa terjadinya fenomena Pagar Laut di pantai utara yang sedang dikritik oleh lomba ini tidak lain tidak bukan adalah hasil dari kepercayaan terhadap pasar? Hasil dari gangbang politik dan intelektualisme halu para teknokrat yang percaya bahwa pasar akan bisa menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat; meskipun di banyak kesempatan rilis mereka melakukan drama “kontrol pasar” sebagai dempulnya? Apakah mental (berkesenian) kita telah benar-benar rusak dengan memberikan tepuk tangan terhadap ideologi teks yang secara menyedihkan juga menghadirkan pasemaon yang serupa?

Maka agar penyakit ini tidak tambah merebak, mari kembali sorot wajah teks yang dihadirkan Bandi Robin. Mari kita cungkil isinya yang penuh dengan pujian terselubung terhadap pasar dengan masker kritiknya yang palsu. Mari kita bedah teks yang telah berlumur parfum yang disuling dari pedih-penderitaan rakyat!

Pertama, ungkapan pasar sebagai “lokomotif dunia bagi mereka yang berani menaklukkan segala tipuannya.”[?] Ungkapan ini bukan saja pengkhianatan terhadap segala bentuk kritik sosial, tapi juga pernyataan telanjang dari keimanan ideologis kepada dogma pasar. Apa bedanya ucapan ini dengan omongan Friedman atau Hayek tentang otonomi pasar yang bisa menghasilkan kesejahteraan sosial? Bahkan lebih parah, jika mereka memerlukan kerangka hukum untuk keperluan Neo-Liberalnya itu, Bandi Robin menyandarkannya pada sebentuk heroisme romantik yang naif.

Bandi Robin sebut “pasar” sebagai kekuatan yang bisa “ditaklukkan” seolah-olah pasar adalah sapi tambun yang bisa dijinakkan; oleh para pemuisi gelandangan salon? Padahal kenyataannya, pasar adalah meja jagal kesejahteraan yang hanya taat pada tuannya: para pemilik modal. Dan Bandi Robin memilih jadi pelayan meja jagal itu sambil pura-pura menyumpahinya [sic!].

Kedua, menyembah Bloomberg sambil meludahi Bloomberg? Sejak kapan satu lidah bisa meludahi dan menjilat sekaligus dalam satu waktu? Tapi puisi “Pagar Laut Dan Pasar Yang Bergolak” mencoba jadi semacam mukjizat absurd atas kenyataan itu: memiliki lidah ganda dengan satu menyebut Bloomberg sebagai yang konon harus ditaklukkan, tapi yang satu lagi justru meminjam seluruh kerangkanya untuk alat pembebasan tanpa sama sekali berjarak secara ideologis darinya.

Ketiga, Bandi Robin menyiratkan bahwa “pengalaman di pasar” sebagai landasan estetika pembebasan. Tetapi alih-alih sebagai turning poin dan pertobatan ideologis, Bandi Robin justru menggunakan ungkapan tersebut persis seperti keyakinan para Borjuis Digital yang punya mimpi meruntuhkan sistem finansial dengan cara aktif bermain dan melakukan lego-lego trading di pasar. Dan fakta hipokritnya yang jelas, alih-alih meruntuhkan sistem pasar sebagaimana disiar-siarkan, boundary mereka justru menjadi lahan subur dari berkecambah dan berevolusinya sistem neo-liberal dalam kultur-teknologi blockchain yang melatarinya.

Inilah tidak lain tidak bukan contoh dari ketika kolonialisme pasar dibaptis jadi pengalaman estetis yang tidak menjanjikan solusi perubahan kecuali mungkin mimpi siang bolongnya. Ya, sebab pada faktanya dengan terang ia bukan sedang melawan pasar, melainkan sedang meromantisasinya: mengandaikan pengalaman rugi laba sebagai semacam jalan spiritual menuju pencerahan estetik. Apakah Bandi Robin memgira ini semacam Zen saham? Apakah misal dengan menawarkan solusi menjadi spekulan adalah berarti sebuah yoga puisi? TIDAK! Itu tidak lain merupakan kepercayaan pada pasar yang dituliskan dengan huruf-huruf wangi.

Kemudian, ketika Bandi Robin berapologi bahwa “pasar yang bergolak” dan “laut yang berkeping” sebagai sebuah ironi dalam kritik ekologi, di sini Saya katakan ungkapan itu bukan ironi. Itu ilusi. Sebab ironi sejati menghantam, mengguncang kesadaran, bukan menyisir realitas dengan jemari lembut, agar bisa sesuai dengan selera kelas gemar hayal yang mungkin sebenarnya hidup dalam tekanan realitas ironiknya itu sendiri, tetapi tak sadar akan penyakit intelektual yang diidapnya. Sehingga, alih-alih menyajikan metafora-metafora perlawanan, justru ironinya ditutup secara absurd dengan cara memperkuat imajinasi pasar sebagai panggung perpatuasi: penguatan, penyanjungan terselubung!


Puisi “Pagar Laut Dan Pasar Yang Bergolak” bukanlah puisi yang marah pada sistem, sebaliknya justru yang diam-diam terpukau akan logikanya. Dalam pledoinya terpampang semakin jelas, meski ia nampak seperti orang yang mengecam iblis, namun di balik layar Blomberg ia menciumi tanduknya dengan rasa sayang tak terhingga sebagai juru selamat. Bandi Robin tidak menghantam sistem nilai yang bekerja di dalam pasar, ia malah memakai simbol-simbolnya untuk merakit mitos baru: sebuah “kristus neoliberal”. Sebuah puisi yang berjubah penyelamat, tapi di jantung nadinya yang berdenyut adalah roh penindas.

Dalam Pledoinya, Bandi Robin juga kembali secara mitik menempatkan puisi sebagai sekadar instrumen yang perlu diam-diam merayap untuk bisa meruntuhkan sistem. Di sisi lain menempatkan pasar sebagai panggung suci bagi puisi sosial. Apakah hal ini masih kurang gamblang untuk menunjukkan leluconnya? Ya, alih-alih akan menggapai mimpinya itu, mungkin puisi-puisi yang demikian hanya akan menjadi cicak-cicak server kelaparan, yang berdandan menor secara estetik untuk tujuan mengendap-ngendap di atas lauk-pauk pasar sisa perjamuan para investor dan spekulan dasi putih.

Perhatikanlah kembali baik-baik, apa yang terjadi dengan negara Indon! sejak kapitalisme otokratik berevolusi menjadi kapitalisme pasar neoliberal sepanjang 20 tahunan masa reformasi? Apakah kondisi ekonomi Indonesia membaik atau justru lebih buruk? Apa kesejahteraan sosial meningkat atau kemiskinan semakin meluas dan menajam? Munculnya keleluasaan ekonomi masyarakat atau persekongkolan oligark-politisi-aparatus negara di meja jagal pusaran saham yang makin merajalela? Perbaikan atau deforestasi dan kerusakan lingkungan yang semakin luas? Industri ramah lingkungan atau kongsi dagang yang makin brutal? Naiknya kadar oksigen atau kabut asap yang meracuni kota-kota hingga desa? Hanya orang bebal yang tidak mengakui segala kerusakan yang terjadi setelah terjadinya evolusi kebijakan ekonomi itu.

Pertanyaannya, di mana letak kedaulatan kita di balik setiap mimpi basah pada pasar itu? Lalu, apa yang dibuat dan disuarakan oleh Bandi Robin dalam puisi dan pledoinya?
Ya, yang dibuat Bandi Robin dalam puisi dan pledoinya–yang dimahkotai oleh dewan juri–adalah sebuah estetisisme yang bermain dalam ruang simulasi kritik tapi tidak menyentuh mesin penindasan sesungguhnya. “Kritik” yang ada dalam puisi “Pagar Bambu Dan Pasar Yang Bergolak” tidak lain seperti tindakan mencubit nyamuk, sambil membiarkan selokan kotor di depan rumah yang menyebabkannya tetap ada di sana; bahkan kolam busuk itu justru seraya dijadikan sebagai kolam pemandian pembaptis jiwa sambil berkata: “Pasar adalah lokomitif dunia untuk mereka yang berani menaklukan segala tipuannya.” [Sic!]


Sekali lagi, muntah-muntah seribu kali di dalam kuburan jika Chairil disuruh membacanya!

10 Mei 2025

Shiny Elpoesya
Latest posts by Shiny Elpoesya (see all)
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *