Pengantar Buku Puisi: SuperZizi, Mata Bulan Sabit, karya Indra Intisa
Oleh: Shiny.ane el’poesya, Penulis Buku SainsPuisi
Dalam pengantar kecil ini saya tidak akan bicara mengenai keutuhan akan sebuah ide, tetapi saya hendak coba mengudar bagian demi bagian dari sekumpulan teks dalam buku puisi ini, sehingga pembaca akan melihat bagaimana puisi-puisi dalam buku ini bekerja sebagai sebuah bacaan yang menarik dari berbagai sudut pembacaan.
Fragmen 1: Fragmen Alam “Ayah, itu apa?” “Itu, tanah, Anakku.” “Kalau itu?” “Itu, langit, Anakku.” “Ayah, Ayah. Kalau dibalik, langit jadi di bawah. Bumi jadi di atas. Mana yang tinggi? Mana yang bawah?” “Jangan dibalik, Anakku. Nanti kepalamu bisa pusing.” 2016
Pertanyaannya, jika pembaca adalah seorang ayah, atau bayangkan jika pembaca di sini adalah seorang kakak dari seorang adik kecil berusia di bawah lima tahun, jawaban apa yang akan pembaca berikan ketika muncul pertanyaan seperti dalam puisi di atas? Apa jawaban yang akan pembaca berikan kepada anak-anak pembaca, ketika ditanya, “Ayah, itu apa?” dengan tangan sang anak menunjuk ke arah atas? Apakah pembaca akan menjawab, “Itu langit![?]”, ataukah akan menjawab, “Segumpalan awan![?]”, atau “Lapisan atmosfir![?]”, atau mungkin sebagaimana jawaban para Penyair Yunani Kuno ketika dihadapkan dengan permasalahan serupa: “Di atas adalah tempat para dewa tinggal dan di bawah sana adalah tempat para raksasa dihukum![?]” Pikirkan, bagaimana kemudian anak dari pembaca di sini akan mengkronstruksi hubungan nama-nama itu dengan nama-nama lain yang sudah lebih dulu ada di kepala mereka, dan kemungkinan apa, yang kelak akan mereka lemparkan untuk meresponnya? Bayangkan.
Pilihan diksi yang digunakan oleh Indra Intisa dalam puisi di atas adalah pilihan yang diambil dari nomenklatur pengetahuan alam; nomenklatur pengetahuan alamiah dasar: langit dan tanah. Jika jawaban pembaca kira-kira sama, tentu itu bukan hal yang mesti dipersalahkan, namun, lantas bagaimana jika anak pembaca kemudian bertanya lebih lanjut, “Apakah langit dan tanah bermusuhan, Ayah, sehingga mereka saling terpisah?” Apa kira-kira jawaban pembaca? Padahal, di sisi lain kita tahu bahwa yang “terpisah” adalah langit dengan bumi, bukan langit dengan tanah. [?] Dalam puisi di atas, diajukan respon yang serupa meskipun berbeda, “Ayah, Ayah. Kalau dibalik, langit jadi di bawah. Bumi jadi di atas.Mana yang tinggi? Mana yang bawah?”Apa kira-kira jawaban pembaca? Apakah pembaca akan memberikan jawaban yang akan dapat memicu rasa ingin tahu anak pembaca, atau sebaliknya? Jawaban yang pembaca berikan adalah jawaban yang hanya diberikan untuk menutup pintu percakapannya?
Pada mulanya, segala sesuatu di mulai dari alam …
Fragmen 2: Fragmen Burung
Bisa dikatakan bahwa setiap pembuat puisi yang baik, jika kita coba benar mau menelitinya, akan selalu memiliki satu tulisan yang serius mengenai seekor burung. Bentuk, urgensi dan signifikansinya mungkin akan berbeda-beda setiap dari mereka dalam menuliskannya. Yang paling terkenal (populer) di antara berbagai puisi burung yang ditulis oleh penulis-penulis serius itu misalnya, kisah mengenai 40 Ekor Burung yang punya keinginan untuk bertemu dengan Sang Raja Burung yang ditulis oleh Fariduddin At-thar. Dalam sejarah Perpuisian Indonesia misalnya, dikenal dua sajak burung yang cukup populer: Pertama, “Syair Burung Pingai” milik Hamzah Fansuri, dan kedua “Syair Burung Kondor” milik Rendra. Dalam buku puisi SuperZizi ini pula saya menemukan paling tidak dua tulisan yang mengenai seekor burung: “Petang yang Ilalang” (berkisah tentang seekor burung belibis yang sayapnya patah + sebuah lampiran foto yang disertakan), dan “Dongeng Sebelum Tidur” (sebuah puisi yang mengutip dialog mengenai kisah burung pipit dari daerah Sungai Abang, Jambi).
Di suatu petang, dua ekor belibis terbang dengan sayap patah. Sepasang kakinya kurus dengan sisik batu. Langit hampir memerah tanda zaman tak tersanggah. “Ayah, kenapa sayap belibis itu patah? Terbangnya turun-naik. Apakah ia sampai ke rumah?” “Jangan lihat sayapnya, Anakku. Lihatlah kakinya yang membatu.” “Kenapa dengan kakinya, Ayah?” Apakah belibis terbang dengan kakinya?” “Mereka hidup dari kakinya, Anakku. Mereka menggali batu, dan kakinya membatu. Sayapnya patah, karena terlalu lama menggali. Ketika waktu memetang, dipaksakan sayap untuk menanggung.” “Kenapa mereka tidak menjadi ayam saja, Ayah? Punya sayap, tapi tak terbang. Mereka juga menggali, tapi punya kandang. Dan kalau petang, tak was-was untuk pulang.” “Anakku, yang bebas memang keras.” 2016—2018
Pada puisi “Petang yang Ilalang” tersebut mungkin kita bisa mengambil hikmah dari berbagai perspektif. Pembaca pula mungkin akan dapat memetik buahnya dari hasil intensi dan latar pembacaan yang berbeda. Bagi saya misalnya, persoalan perjuangan seekor belibis untuk bertahan nyawa dalam kerasnya kehidupan, ditambah kondisinya yang kurang sempurna yang diangkat dalam puisi ini, adalah satu hal yang menarik. Meskipun sebenarnya ada hal yang belum benar-benar tergali dan lagi-lagi berhenti sebab sebuah pertanyaan mendasar yang diajukan oleh seorang anak. Tentu, sebelum burung-burung di dunia ini benar-benar kelak hanya akan jadi sebuah legenda, sebab hidupnya sudah makin sulit, dan pohon-pohon sudah makin tiada.
Fragmen 3: Bermain Air
“Cara terbaik untuk menjadi seorang filsuf adalah menjadi dan bertanya-tanya seperti anak-anak. Sebab, bagi anak-anak segala sesuatu di dunia ini adalah hal baru dan mengherankan.“Shiny,ane elpoesya
Menjelaskan pertanyaan-pertanyaan dengan baik mengenai sesuatu, berarti telah menjelaskan sebagian persoalan mengenai alam semesta; terlebih jika penjelasan tersebut ada dalam puisi. Penjelasan itu akan bernilai sekaligus menciptakan ulang “keindahan” alam semesta. Pada puisi berjudul “Genangan Air”, kita akan menemukan selain halnya SuperZizi kembali bertanya-tanya mengenai sesuatu, bermain-main dengannya, ternyata tanpa diduga puisi tersebut juga memiliki ending speech yang cukup dapat menciptakan satu makna baru dari satu momen; dari momen luka ke bahagia.
Tentu perubahan momen tersebut akan hanya jadi sebuah klise bagi sebuah pengerjaan puisi ketika tidak ditopang dengan peristiwa faktual yang tingkat akurasinya tinggi, juga pula akan jadi satu “bullshit” jika peristiwa tersebut hanya direka dalam sebuah konstruksi yang tidak sesuai sebab persyaratan psikologisnya tidak memadai. Misal, kita bicara perubahan suasana kejiwaan yang tiba-tiba dalam sebuah potret peristiwa di mana di dalamnya melibatkan seroang dewasa, padahal jika dipelajari lebih jauh, secara umum orang dewasa baik fakultas rasional serta afeksinya telah cukup mengkristal.
Pada puisi “Genangan Air”, selain “selera humor” yang cukup kuat yang dimiliki oleh penulisnya, kita kembali akan menemukan betapa subjek-pemandang SuperZizi justru ternyata begitu menentukan perwajahan psikologis dari naskah yang saat ini tengah ada di tangan pembaca. Kehadiran SuperZizi telah benar-benar mengubah suasana buku puisi ini menjadi satu buku kumpulan puisi yang penuh dengan joyness dan bukan hanya sebagai ruang penuangan sebuah humor; dan di dalam joyness itu saya menemukan rasa dari lapis spontanitas serta keluguannya, meskipun sekali lagi tentu tidak semua.
Air adalah hakikat dari segala sesuatu …
Fragmen 4: Suatu Pagi [Kurung] Buta
ia gaduh seperti biasa. menebar bola-bola [menebar doa-doa] kecil ke seluruh ruangan [penuh bunga]. kamar tamu mampet. Kamar tidur mepet. [aku] "ayah! ayah! ayah!" [ayah:] "pagi sekali, zi?" tawanya pecah. balon kemarin [ke langit] tak memantul lagi. Ke mana, pikirku [melayang]. barangkali sudah meletus. "ayah! ayah! ayah!" semakin panjang [anganmu]. Semakin dalam kantuk [mimpimu]. Kemarin hutang menari di pikiran [aku] semalam lembur sampai remuk. 2017
Bayangkan di sebuah taman kecil di dalam rumah mewah di pagi buta berkejaran dua ekor anjing berwarna coklat dan hitam. Mereka berkejaran mengitari sebuah kolam ikan tanpa bersuara sambil mengibas-ngibaskan ekornya tiada henti. Bayangkan saja kedua anjing tersebut tengah begitu bahagia–tanpa “percakapan bahasa”.
Tentu, dalam konteks ini saya bukan hendak menyamakan secara “sinic” atau bahkan alegoris situasi pertokohan yang ada dalam puisi di atas, sebab peristiwa di atas adalah dua peristiwa yang berbeda dan yang sama nyatanya. Dalam fragmen ini saya hanya hendak mengatakan bahwa peristiwa melewati sebuah pagi buta adalah peristiwa yang sama pula halnya ketika kita melewati sebuah buku puisi yangmana di dalamnya kita seringkali menikmati isinya sebab sisi-sisi yang tidak dapat dijelaskan. Pada sisi itulah kemudian kita di sana bermain-main, berkejaran dengan makna, bahkan berputar-putar hanya untuk menikmati kesejukannya. Dalam puisi di atas, digambarkan dengan balon-balon yang memantul-mantul ke seluruh ruangan kamar.
***Fragmen dalam kurung [menebar doa-doa penuh bunga aku ayah ke langit melayang mimpimu mimpimu aku], pada mulanya balon menggelembung, sebelum teori Hawking meletus.
Fragmen 5: Wajah Baru bagi Puisi Lama
ZIZI : Ayah, kenapa asin ada di laut AYAH : Karena laut penuh dengan kalut ZIZI : Apakah kalut membuat kecut AYAH : Tergantung hati yang penakut ZIZI : Ayah, kenapa laut bergelombang AYAH : Karena laut penuh tantangan ZIZI : Adakah tantangan ketika pasang AYAH : Tergantung hati yang berpegangan ZIZI : Ayah, kenapa laut tidak bertepi AYAH : Karena pandang telah terpeti ZIZI : Apakah tepi adalah akhir AYAH : Tergantung hati yang mengalir ZIZI : Ayah, bagaimana cara kita berlayar AYAH : Kuasai angin yang berputar ZIZI : Apakah perahu bisa tersasar AYAH : Tergantung cara kita memagar 2016—2020
Apa yang kita lihat dalam puisi “Suatu Ketika di Tepi Pantai” di atas? Sebuah percapakan antara seorang anak dan ayah? Memang benar. Tetapi jika kita perhatikan lebih saksama, maka kita akan menyadari bahwa sebenarnya puisi di atas adalah sebuah puisi lama: Gurindam. Satu hal yang menarik ketika melihat puisi di atas adalah, bentuknya yang memiliki wajah baru tidak seperti lagi puisi lama. Formatnya memang hanya bergeser sedikit, dari bentuk sampiran dan amanat, menjadi pola percapakan, tetapi ini merupakan satu ide yang menarik sehingga memungkinkan puisi-puisi lama dengan pola yang sama bisa masuk ke dalam pengerjaan kraetif sebuah dialog, di mana dialog bisa mengisi bagian-bagian penting dalam karya kreatif lainnya: cerpen, novel, komik, drama dst.
Praktik percobaan penyegaran wajah Gurindam ini dilakukan tidak hanya dalam satu puisi saja, tetapi sebagai sebuah eksemplar, Indra Intisa mengulangnya dalam puisi Gurindam Hidup. (Silah cek judul puisi terkait)
Fragmen 6: Kotak Nyanyian
Selain pada Gurindam, fragmen eksperimentasi juga akan kita temukan pada beberapa puisi-puisi Indra Intisa yang bertemakan musik. Mari kita perhatikan puisi di bawah ini.
/1/ sayang semuanya dan kita bertiga menari mengelilingi waktu. menyatu. menyatu. menyatu dan katamu, "jangan putus ditiga, yah!" di pertengahan tahun. tumbuh satu. adikmu. ziyo. /2/ balonku ada lima rupa-rupa warna tingkahmu. pintamu. tawamu. tangismu. inginmu. bantahmu. takkan kubiarkan meletus, nak. /3/ naik-naik ke puncak gunung sampai ke puncak kau kudorong. lembah itu biasa, nak. jurang itu bukan penghambat. batu cadas itu memang tajam. tapi di atas ada surga. /4/ burung kutilang tahukah kau bunyi apa yang merdu di atas pohon? itu kutilang. suaranya ada pada dirimu. tak perlu kaupanjat. tangga nadanya telah singgah. tak bisa disanggah. 2017
Puisi di atas berjudul “Beberapa Lagu Anak,” dan kita tahu pada tiap-tiap bagiannya bermain dalam lagu-lagu masa kanak yang kemudian digeser pemaknaannya dengan memunculkan sudut pandang penulisnya. Dalam ilmu sastra, kerja yang dilakukan oleh Indra Intisa ini disebut kerja intertekstualitas, di mana sebuah makna dihadirkan tepat di hadapan makna teks yang sebelumnya sudah ada dan dikenal oleh publik. Hal ini, biasanya dilakukan untuk melakukan sebuah reinterpretasi atas makna lama, atau bahkan sebagai sebuah counter makna dari makna asalnya. Lantas apa yang hendak dihadirkan oleh Indra Intisa ke dalam lagu-lagu tersebut? Tentu di sini saya tidak akan coba menjawabnya sehingga pembaca dapat memetiknya sendiri layak penulisnya memetik berbagai kenur gitar dalam puisi-puisi nyanyiannya itu,
Saya mengenal Indra Intisa (dari jauh) selain sebagai orang yang tekun mengamati perkembangan perpuisian kontemporer, ia juga merupakan orang yang begitu akrab kesehariannya dengan musik: benyanyi, bermain piano (akunnya pernah menggunakan nama Piano Putih), bermain gitar, hingga beradu suara di dalam Smule (hehehe).
Fragmen 7: Belajar Berbicara
Dalam buku puisi ini, paling tidak terdapat dua puisi yang mengisahkan bagaimana Zizi yang tengah belajar berbicara. Pada puisi berjudul “Belajar Berbicara,” juga pada puisi yang berjudul “Bercerita”.
Pada puisi Belajar Berbicara, kita akan melihat bagaimana seorang balita yang secara fisik dianggap telah terlahir ke alam dunia (natal), tetapi pada kenyataannya masih terus terlahir menuju kesempurnaannya. Sang balita masih belum dapat mengucapkan “mobil”, tetapi hanya dapat mengucapkan “mobim” meskipun maksudnya sama; belum dapat mengucapkan “motor”, tetapi hanya dapat mengucapkan “motom”; “gatal” jadi “gatam”; “pulang” jadi “pulam”; pengucapan-pengucapan yang bagi orang dewasa bisa jadi dianggap sebagai sebuah sebuah kekeliruan bahkan pelanggaran kebakuan-bahasa, sebab kata “Papa mau makan” jika diucapkan secara salah, maka akan menjadi “Papa mau makam.” Sesuatu yang memiliki pengertian berbeda secara leksikal, meskipun padahal, di dalam puisi misalnya, hal tersebut adalah sah, sebab bisa jadi memang yang diucapkan begini tetapi maksudnya adalah begitu. Ada jarak di sana, jarak yang begitu asyik di dalam puisi: jarak untuk bermain-main, yang juga ada sekaligus menjadi ciri pada diri anak-anak.
Pada puisi Bercerita, kita menemukan Zizi bercerita mengenai berbagai peristiwa di dalam sebuah rangkaian utuh. Tentu, kita kembali menemukan suatu eror dalam tata bahasa yang digunakan oleh Zizi dalam hal ini. Tetapi, sekali lagi kita pada akhirnya bisa kembali melihat bagaimana dua kemungkinan kenyataan berlarian di sana: peristiwa kelahiran kecakapan kognisi, atau memang hanya peristiwa bermain-main yang melibatkan unsur afeksi.

Dalam konteks fragmen yang satu ini, kita juga akan menemukan sebuah puisi yang berisi percakapan antara Zizi dan Ziyo (adik Zizi) yang menurut saya cukup membuat kita ikut berbahagia–sebagai orang dewasa–ketika membayangkannya, meskipun tentu sekali lagi kisah tersebut sudah berbentuk sebuah rekonstruksi kratif dari penulisnya.
Fragmen 8: Mata Bulan Sabit
Mata Bulan Sabit adalah sub judul yang digunakan oleh Indra Intisa dalam kumpulan buku puisi ini. Sub judul ini digunakan untuk memberi penjelas singkat mengenai bagaimana SuperZizi. Bagaimana, dan bukan siapa sosok SuperZizi itu. Sebab hal siapa, dijelaskan dalam bagian biografi tokoh dalam buku ini. Namun, untuk lebih jauh tahu, tentunya kita akan melacaknya dari setiap puisi-puisi yang ada dalam buku ini. Misal, untuk menemukan jawaban mengapa sosok Zizi di sana kemudian dikatakan sebagai “Super”, sebab apa, dan untuk apa?
Dalam buku puisi ini, mungkin terdapat dua buah puisi yang secara eksplisit bicara mengenai hal tersebut. Pertama pada puisi “Mata Bulan Sabit: Kepada Zizi,” dan kedua “Mata Bulan Sabit 2”. Kedua-duanya menggambarkan bagaimana sosok SuperZizi bagi papanya. Digambarkan, bahwa SuperZizi yang kedua bola matanya hanya terlihat bagaikan bulan sabit, justru mampu menghadirkan purnama.
Mata Bulan Sabit : Kepada Zizi matamu bulan sabit segaris lengkung menyabit hatiku dari bunga-bunga rumput yang tumbuh liar matamu bulan sabit segaris cahaya yang terus-menerus membunuh gelap menjadi purnama 2018 Mata Bulan Sabit, 2 matamu sinar pagi menyapa bumi aku embun pada daun biar sejenak kulihat cahayamu sebelum tubuhku pupus 2018
Fragmen Penutup: SuperPapa
Boleh dikatakan, selain aktivitas perpuisian yang berhubungan dengan ritual-ritual keagamaan, atau himne-himne personal yang dilakukan oleh manusia purbakala, aktivitas perpuisian lisan yang berhubungan dengan kehidupan seorang anak adalah merupakan salah satu di antara yang tertua muncul; seorang lelaki pergi ke hutan belantara, melewati sungai-sungai basah pada sebuah pagi terang, bukit-bukit kering hingga pegunungan terjal, siang menjelang kemudian sore menggelap, dan ia kembali pulang ke rumahnya, membawa yang mati (hasil buruan), lainnya … adalah membawa yang hidup: berbagai kisah untuk didongengkan kepada anak-anaknya. Dalam puisi berjudul “Surat dari Masa Depan: Buat Zizi dan Zio,” Indra Intisa dengan format puisi nasihat, ia juga setengah berkisah mengenai jalanan, langit, cuaca, bebatuan, dan bunga melati. Bukan sebuah dongeng memang, tetapi boleh dikatakan ini adalah merupakan buah dari apa yang tidak didongengkan.
Bagi sebagian pembaca mungkin akan menganggap kumpulan puisi di sini adalah merupakan bagian dari Sastra Anak sebab melibatkan seorang anak di dalam penggarapannya, tetapi jika kita perhatikan baik-baik maka kita akan melihat bahwa apa yang ada di dalam buku ini adalah merupakan sekumpulan puisi yang justru dari segi gaya tutur, adalah disediakan kepada orang yang telah dewasa (secara khusus mungkin dipersembahkan kepada Zizi dan Ziyo dewasa). Buku puisi ini syarat akan rekaman peristiwa masa kanak-kanak seorang bayi pada masa usia perkembangan yang penuh dengan perilaku lugu yang lucu yang kemudian digambarkan ulang dengan perasaan yang penuh emosional (bukan marah-marah). Tentu, di zaman di mana generasi saat ini setiap orang sudah tidak hanya mendokumentasikan melalui foto, melainkan juga melalui video–bahkan begitu banyak beredar video proses melahirkan di salah satu platform vidoeApp–apa yang dilakukan oleh Indra Intisa melalui puisi adalah satu hal yang begitu romantik tersendiri. Foto dan video mungkin merekam sebuah peristiwa, tetapi belum tentu ia melibatkan subjeknya untuk turut serta membangun makna yang padat sebanyak puisi, seperti dalam kumpulan puisi di buku ini.
Terakhir, saya hendak mengatakan bahwa buku dengan subjek puisi semacam ini (kehidupan anak masa balita) sebenarnya sangat layak jika dikembangkan menjadi satu genre tersendiri, dan ditulis oleh semakin banyak pasutri, sehingga ini bukan hanya menjadi satu buku kompilasi album kenangan dari dan bagi sebuah keluarga mungil, lebih jauh akan bisa menjadi bahan bacaan yang amat berguna bagi pasutri baru yang mulai menjalani tahun-tahun awal pernikahannya; bacaan bagi bapak-bapak muda, juga bagi ibu-ibu hamil.
Selamat membaca, selamat bagi SuperPapa.
- Mencari Pelanjut Abdul Hadi W.M.: Tanggapan atas Esai Ahmadun Yosi Herfanda - 15 Maret 2025
- Tentang Pengantar Buku - 28 Juni 2024
- HAH? SASTRA MASUK KURIKULUM? YUK, KITA TENGOK SEJARAH! - 27 Mei 2024