Majas Ironi dalam Sebuah Puisi

Majas Ironi dalam Sebuah Puisi

Majas ironi merupakan salah satu majas yang paling sering dipakai dalam karya sastra. Tidak hanya dalam karya sastra, majas ironi juga sering dipakai dalam percakapan sehari-hari oleh masyarakat. Bisa pula dalam sebuah dialog, diskusi, berpantun, membaca bidal (pepatah), dst., yang dianggap sebagai wadah penyampai yang mengandung makna kias—makna sebaliknya.

Tanpa kita sadar pun, majas ironi sering kita pakai dan ungkapkan dalam berbicara. Baik dalam keadaan emosi, marah, ataupun dalam keadaan iseng dan bergurau untuk tujuan hura-hura. Sebagaimana contoh, kita mungkin pernah berkata, atau diberitahu, atau mendengar orang berkata, “Suaramu sangat indah sekali, seperti kaset kusut,” atau bisa juga, “wajahmu indah bak bulan terbelah.” Selain itu, adakalanya majas ironi ditulis tanpa disambung dengan simpulan yang tidak mengenakkan, seperti: “Kamu memang sangat pintar.” Padahal dalam hakikatnya pujian tersebut sangat berbanding terbalik. Ketidaklogisan, ketidaksesuaian dari pujian tersebut maka jadilah sebuah sindiran yang pada hakikatnya sebuah hinaan, cacian, dst.

Majas ironi merupakan salah satu dari majas sindiran.  Majas ironi merupakan sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut. Berbeda dengan majas sarkasme yang cenderung kasar dan langsung, maka najas ironi sering disebut juga sebagai sindiran halus. Majas-majas sindiran seperti majas ironi sering dipakai dalam puisi yang mengandung satire. Mari kita perhatikan puisi mbeling di bawah ini:

MANFAAT ANAK

Anak kesayangannya
telah menerangi kuburnya
dengan lampu-lampu
yang didapat dari judi-judi
rampok-rampok dan korupsi
lalu uangnya dibakar
dan apinya dijadikan penerang
untuk kuburnya

30 Juli 2014
(Indra Intisa)

Coba baca pelan-pelan puisi mbeling di atas, apa yang bisa ditangkap dari pesan yang ingin di sampaikan? Jika dibaca dengan serius—tanpa menangkap makna sindiran—majas ironi, bisa saja bingung tentang apa yang ingin disampaikan. Judulnya memberikan pesan tentang manfaat. Isinya menjelaskan manfaat dari kegiatan dosa, seperti: judi, korupsi dan merampok. Apakah benar kegiatan serupa merupakan manfaat yang bakal memberikan keuntungan buat seorang ayah ketika mati?

Sebagaimanana kita tahu, sebagai orang islam (muslim), ketika nanti mati, seorang ayah akan tetap dimintai keterangan terkait bagaimana ia mendidik anaknya. Jika ia tidak mampu mendidiknya dengan baik, atau justru mendidik dan mengarahkannya ke arah yang buruk—ke arah yang dilarang oleh agama, maka ia akan ikut diazab sebagaimana ia tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Jika begitu, apakah benar anak seperti itu—anak yang berhasil menjadi pemuja kejahatan akan menjadi sebuah manfaat bagi orang tuanya?

Sindiran halus—bermain dengan permainan ironi, sasrkas dan beberapa majas sindirian lain, memang sering dipakai oleh puisi beraliran satire. Begitu pula dengan puisi mbeling. Puisi yang terkesan bermain-main ini perlu dibaca dengan cara terbalik. Orang bisa saja terjebak oleh puisi yang terkesan bermain dan serius—tidak menangkap makna utama. Sebagian yang lain bisa saja dikatakan puisi gagal. Mari simak puisi yang lain:

1/
PRESTASI

IP-ku empat
satu untuk ibu
satu untuk ayah
satu untuk saudara
satu untuk pacar

ketika bagi-bagi kulupa sesuatu
buru-buru kuperiksa daftar nilai
barangkali masih ada satu nilai untuk saya sendiri
rupanya sudah habis
karena IP-ku hanya empat

2014
(Indra Intisa)

2/
PUISIKU

Puisiku yang puitis
rupanya masuk koran.
Seminggu kemudian
kulihat anak-anak 
main layangan
rupanya puisiku
berhasil terbang tinggi
bersama kertas layangan.

2014
(Indra Intisa)

3/
BELAJAR PUISI

Katanya aku harus belajar rima
Kubuat rima
Katanya aku harus belajar majas
Kubuat majas
Katanya aku harus belajar puitis
Kutulis kata puitis
Katanya aku harus belajar bla dan bla
Kubuat bla dan bla
Lalu kutanya apa itu puisi
Dan mereka menjawab:
“Setiap orang bisa
Mengartikan beda.”
Aku angguk-angguk
Setuju bingung

Tadi pagi
Anak balitaku membuat karya
Ia mencoret-coret kertas
dengan sepidol warna-warni
ketika kulihat ia bertanya
“Ayah, ini gambar apa?”
Aku jawab Puisi

2014
(Indra Intisa)

Puisi yang terkesan bermain-main di atas adalah sebuah permainan dalam menyampaikan sebuah kritik. Kritik yang memakai majas ironi yang diluaskan akan menjadi sebuah puisi sederhana yang seolah-olah tidak berharga. Tidak hanya pesan yang ingin disampaikan melalui puisi, tetapi juga cara pandang kita yang terlalu serius dan matang—terjebak oleh metafor-metafor dan diksi berbunga terkait puisi—adalah sindiran dari sebuah puisi mbeling. Sebagai lawan dari puisi mapan.

TENTANG MIMPI 

kata mbokku
bermimpi itu 
tidak boleh terlalu tinggi
sebab akan lupa 
caranya untuk turun

2014
(Indra Intisa)

Catatan:

  • Tulisan ini pertama kali terbit di beranda Facebook, Indra Intisa (Ompi), tahun 2017;
  • Semua puisi di atas ada pada buku: Puisi Mbeling “Panggung Demokrasi”. Indra Intisa. 2014-2015
Indra Intisa
Ikuti saya

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *