Ketegangan antara Estetika dan Etika; Seni Untuk Seni, Seni Untuk Rakyat?
Sejak zaman Plato, pertarungan antara estetika dan etika dalam seni telah menjadi medan debat tak henti. Dalam Republik, Plato mengusir para penyair dari konsep kota ideal karena dianggap menyesatkan kebenaran dan menyuburkan ilusi emosional. Meskipun, bahkan dalam pengusiran itu, tersimpan pengakuan bahwa puisi memiliki kekuatan besar: membentuk kesadaran, menggerakkan jiwa, dan menanamkan nilai. Di sinilah awal dari ketegangan purba: apakah puisi hanya harus indah, ataukah ia juga harus benar? Apakah keindahan adalah tujuan itu sendiri, atau hanya jembatan menuju kesadaran moral yang lebih tinggi?
Di era modern, terutama pasca-Abad Pencerahan, estetika perlahan dikerangkakan sebagai ranah otonom yang bebas dari beban moral. Kant dalam Critique of Judgment menekankan bahwa penilaian estetis harus “tanpa kepentingan,” bebas dari fungsi moral, sosial, atau politik. Namun dalam kerangka ini lahir apa yang disebut sebagai estetika borjuis: sebuah pandangan yang memuja seni sebagai objek kekaguman individual, dilepaskan dari beban sejarah dan luka-luka sosial. Estetika semacam ini yang kerap menjadi pelarian kelas menengah dari dunia nyata, menciptakan ruang kontemplasi yang steril dari konflik, steril dari tanggung jawab.
Di sisi seberang, berdirilah estetika emansipatoris yang menolak netralitas seni. Tradisi ini memiliki akar dalam pemikiran-pemikiran Marx, Brecht, Lukács, hingga Terry Eagleton dan Jacques Rancière. Mereka menolak pandangan bahwa seni adalah wilayah otonom yang steril. Bagi mereka, estetika selalu berada dalam medan kekuasaan dan representasi. Seni, termasuk puisi, tidak pernah netral: ia selalu mewakili posisi, bahkan ketika pura-pura tak berpihak. Dalam pengertian ini, puisi harus dipahami tidak hanya sebagai ekspresi individual, tetapi sebagai peristiwa sosial yang membawa konsekuensi etis dan politis.
Namun, dominasi estetika borjuis dalam dunia sastra, terutama dalam institusi pendidikan dan kritik sastra, telah menjebak banyak penyair dalam labirin keindahan kosong. Dalam banyak kasus, keindahan menjadi tujuan akhir: metafora yang berlapis-lapis, diksi yang mendayu, dan ambiguitas yang dianggap sebagai ukuran paten untuk kualitas sebuah karya puitik. Ini yang disebut Eagleton sebagai “mistifikasi keindahan”—seni dijadikan mantra untuk melupakan realitas. Maka tak heran jika banyak puisi hari ini banyak dikatakan indah secara formil tapi mati secara moral; mereka memuja gaya, tapi membungkam kebenaran.
Perdebatan antara kubu “seni untuk seni” (l’art pour l’art) dan “seni untuk rakyat” (art for the people) merupakan salah satu medan kontestasi paling tajam dalam sejarah estetika modern. Ia tidak sekadar menyangkut selera atau pilihan bentuk, tetapi menyentuh inti dari fungsi seni itu sendiri dalam masyarakat—apakah seni berdiri sebagai entitas otonom yang cukup pada dirinya sendiri, ataukah ia memiliki kewajiban sosial dan politis untuk berbicara atas nama banyak yang dibungkam. Perdebatan ini telah berlangsung sejak abad ke-19 di Eropa, ketika para seniman Bohemia dan penyair dekaden Prancis seperti Théophile Gautier atau Charles Baudelaire menyatakan bahwa seni tidak perlu berguna, karena keindahan adalah nilai absolut.
Tapi tak lama kemudian, kubu tanding muncul dari jalan-jalan yang penuh demonstrasi, dari kamp-kamp buruh yang menuntut kehidupan lebih layak, dan dari para intelektual kiri seperti Leo Tolstoy, Maxim Gorky, hingga Bertolt Brecht, yang menyatakan bahwa seni yang tak berpihak pada penderitaan manusia adalah seni yang busuk, pasif, dan kolaboratif dengan ketidakadilan.
Kubu “seni untuk seni” kerap dikaitkan dengan pencarian murni terhadap bentuk, suara, dan struktur yang indah, tanpa beban moral atau agenda politis. Bagi mereka, fungsi seni adalah untuk menghadirkan pengalaman estetik yang otonom—ia menjadi semacam religiositas sekuler yang hanya membutuhkan ketekunan formalisme dan eksplorasi emosi pribadi. Para penyair yang berpijak pada pandangan ini melihat dunia sebagai ladang inspirasi yang tidak perlu diubah, hanya perlu ditangkap dan dilukis kembali dengan kehalusan rasa.
Namun, kubu “seni untuk rakyat” menganggap pandangan tersebut bukan hanya tidak bertanggung jawab, tapi juga berbahaya. Bagi mereka, seni adalah salah satu benteng terakhir untuk menggugah kesadaran kolektif dan membangun perlawanan terhadap sistem yang menindas. Karya-karya seni bukan sekadar alat ekspresi individu, tetapi arena politik, ruang pendidikan alternatif, dan wadah emansipasi sosial. Puisi bukan sekadar bentuk, tapi isi dan fungsi yang berakar pada realitas rakyat yang menderita.
Ketegangan antara dua kubu ini menjadi makin akut di era Perang Dingin, ketika seni juga menjadi alat propaganda ideologis. Di satu sisi, dunia liberal Barat mendorong individualisme estetik sebagai bentuk kebebasan ekspresi, yang sering kali berujung pada depolitisasi seni. Sementara di dunia sosialis, negara mendorong seniman untuk berpihak pada narasi perjuangan kelas dan revolusi. Meski konflik ini tidak selalu berjalan secara hitam-putih. Banyak penyair dan seniman yang merasa bahwa keduanya—estetika dan politik—bisa berjalan bersamaan, dan justru memperkuat satu sama lain.
Brecht, misalnya, percaya bahwa bentuk estetik tertentu bisa menciptakan efek kritis yang menggugah, bukan sekadar memanjakan rasa. Chairil Anwar di Indonesia pun, meskipun sering dikaitkan dengan sikap individualis, tetap tidak bisa dilepaskan dari semangat zaman revolusi yang melatari puisinya.
Di Indonesia, debat antara seni untuk seni dan seni untuk rakyat mencapai puncaknya di era 1950-an hingga 1960-an, terutama dalam pertarungan antara Manifes Kebudayaan dan LEKRA. Manikebu yang digawangi oleh tokoh-tokoh seperti HB Jassin dan Goenawan Mohamad, lebih condong pada kebebasan estetik, menolak “penyeragaman” seni dengan garis politik tertentu. Sementara Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang menjadi organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI), menyerukan agar seni berpihak secara tegas pada kaum buruh dan tani, menggunakan prinsip “politik adalah panglima.”
Ketegangan ini tak hanya mewarnai isi karya sastra, tetapi juga mempengaruhi lanskap sosial sastra Indonesia—mengakibatkan pelabelan, pengucilan, bahkan penahanan terhadap penulis yang dianggap berseberangan secara ideologis. Pasca 1965, ketika kekuatan kiri dibasmi, paradigma “seni untuk rakyat” pun nyaris hilang dari panggung dominan, digantikan oleh estetika netral dan individualisme, yang jejaknya masih kuat mengakar hingga saat ini.
Tapi lihatlah, sejarah dunia menunjukkan bahwa momen-momen krisis justru melahirkan puisi yang kuat secara moral. Puisi-puisi yang menegaskan keberpihakannya dengan jelas pada kepentingan rakyat menjadi elan vital penggerak sejarah. Pablo Neruda menulis puisi-puisi cintanya yang paling pedih di tengah reruntuhan perang sipil. Bertolt Brecht menulis dengan getir dan tajam ketika melihat bagaimana ideologi bekerja di balik sandiwara sejarah. Di Indonesia, selain Chairil Anwar dan Rendra, kita juga memiliki Wiji Thukul, yang memperlihatkan bagaimana puisi bisa menjadi senjata perlawanan di tengah represifnya kekuasaan.
Jelas bahawa puisi-puisi mereka itu tidak lahir dari estetika naif, melainkan dari pergulatan etis yang dalam. Mereka sadar bahwa penyair bukan sekadar pencipta kata-kata, tapi juga saksi zaman. Dalam masyarakat yang timpang, menjadi penyair berarti menanggung beban untuk bersuara bagi mereka yang dibungkam. Maka, puisi menjadi bukan hanya medium estetika, tetapi juga medan pengujian etika: apakah kata-kata ini jujur? Apakah ia cukup tajam untuk menyayat kenyataan? Apakah ia cukup adil untuk mewakili yang tertindas? Ataukah hanya sebatas disembahkan sebagai servis bibir keindahan?
Memang, ada suara yang mengatakan bahwa tugas etika bukan di tangan seni. Namun pernyataan ini sering kali merupakan kilah dari para penyair yang takut pada kenyataan. Dalam kenyataannya, setiap pilihan estetika menyimpan nilai etik. Memilih untuk tidak menyuarakan adalah bentuk keberpihakan. Menuliskan puisi yang indah namun ambigu secara politis dalam situasi sosial yang penuh ketidakadilan bukanlah kenetralan, itu adalah kolusi dalam bentuk estetis. Di sinilah pentingnya menyadari bahwa puisi bukan ruang kedap kepentingan, tapi panggung pertempuran ideologis.
Jika kita menelusuri tradisi puisi progresif, kita akan melihat bahwa justru dalam bentuk-bentuk puisi yang panjang dan mendetail, penyair mampu menjabarkan kompleksitas persoalan sosial dengan lebih utuh. Karya-karya seperti Howl dari Allen Ginsberg, atau Canto General dari Neruda, tidak takut untuk menjadi tebal, berlapis, dan jelas. Dalam masyarakat yang mengalami krisis pengetahuan dan manipulasi media, puisi panjang menjadi bentuk pembacaan ulang terhadap kenyataan yang telah dikaburkan. Ia menyuguhkan kedalaman, bukan kilatan. Ia menyusun kesadaran, bukan sekadar efek.
Dalam situasi yang penuh dengan ketegangan–tetapi dalam kacamata realisme sosial tidak ada masa yang tanpa ketegangan sosial, sudah semestinya penyair harus kembali mempertanyakan: kepada siapa puisi ini ditujukan? Untuk apa ia ditulis? Apakah hanya untuk menambah koleksi di rak perpustakaan? Atau untuk menggugah kesadaran? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah estetik dan etik puisi kita.
Jika kita memilih puisi yang hanya indah tapi kosong, maka kita sekadar memperpanjang kesunyian sosial. Tapi jika kita memilih untuk bersuara, maka puisi kita akan menjadi bagian dari sejarah yang hidup—sejarah yang ditulis dari tubuh-tubuh dan jiwa yang tergencet dan dan penuh luka. Dan dalam hal itu puisi memiliki peran istimewanya: ia tidak hanya menggambarkan dunia, ia memeriksa dan mengulitinya, menghidupkan simpati, mengobarkan keberanian, membentuk imajinasi politik dan juga sekaligus usaha membentuk ulang dunia.
Begitulah puisi-puisi realisme sosial bekerja. Ia selalu adalah puisi yang benar, tajam dan berani menantang kesewenang-wenangan daripada sekadar hanya ingin menjadi indah. Puisi yang sejak awal dicipta bukan untuk teman bersantai-santai di sore hari setelah seharian bekerja, atau sebagai lagu nada rendah ninabobo di malam hari, tetapi ia jusru adalah sebuah sirene yang kembali membangunkan kewaspadaan: bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja, bahwa rakyat banyak sedang dalam bahaya, dan bahwa bahasa sedang dilanda kebohongan massal, di mana suara kata yang hendak menyuarakan kebenaran selalu berada di dalam sebuah jebakan dan ambang penjara! LAWAN!
- Ilusi Kritik di Ranjang Pasar - 11 Mei 2025
- Realisme Sosial: Empat - 24 April 2025
- Realisme Sosial: Tiga - 23 April 2025