Sasti Gotama, Juara DKJ yang Menyusun Naskah Hanya dalam Dua Bulan

Sasti Gotama, Juara DKJ yang Menyusun Naskah Hanya dalam Dua Bulan

Ngobrol bersama Sasti Gotama, Penerima Naskah Menarik Perhatian Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2023

Selasa siang (25/07/2023), setelah beberapa hari diumumkan Sayembara Novel DKJ 2022, Redaksi OmpiOmpi.com menyempatkan diri ngobrol dengan Sasti Gotama, salah seorang peserta Sayembara Novel DKJ 2023 yang mendapat anugrah Naskah Menarik Perhatian Dewan Juri Novel DKJ 2023.

Obrolan melalui aplikasi Messenger Facebook tersebut, memuat percakapan seputar karya karyanya yang lolos di DKJ 2023, berikut pengalaman-pengalamannya dalam menyusun dan menulis sebuah karya sastra.

Sasti, bagaimana perasaanmu saat naskahnya yang berjudul “Rahim” masuk sebagai salah satu dari lima naskah yang menarik perhatian dewan juri Sayembara Novel DKJ 2023?

Kaget. Saya tak menyangka, novel yang saya susun selama 2 bulan ini tembus sebagai salah satu naskah yang menarik perhatian dewan juri. Target awal saya hanyalah menyelesaikan naskah hingga membubuhkan kata “tamat”. Sebelum pengumuman, para nominee mendapatkan telepon dari panitia. Namun, karena nomor ponsel saya hangus, saya tak mendapatkan pemberitahuan seperti nominee yg lain. Jadi, saya baru tahu kalau novel “Rahim” ini masuk sebagai salah satu naskah yang menarik perhatian juri, ya saat menonton siaran langsung melalui kanal YouTube.

Untuk sebuah sebuah novel dan sayembara besar seperti DKJ, menulis dalam tempo 2 bulan, sebenarnya termasuk cepat. Bagaimana cara kamu menyelesaikannya tepat waktu tanpa mengurangi kualitas dari novel tersebut?

Seperti penulis lain, saya mencoba setia kepada outline (walau ternyata tokoh saya sedikit bandel dan terkadang mengkhianati outline). Setiap hari, saya menargetkan menulis minimal 1000 kata. Seringnya bisa lebih. Itu tak lepas dari dorongan teman-teman satu grup yang selalu menanyakan naskah saya sudah sampai mana. Itu semacam teror yang sangat bermanfaat, hehehe, sehingga naskah tersebut bisa selesai tepat waktu.

Apakah kamu tidak merasa kalau naskahnya layak sebagai juara utama?

Yang berhak menilai karya saya adalah juri dan pembaca. Tugas saya hanyalah menulis sebaik-baiknya. Setelah selesai menulis, saya tak berkepentingan untuk menilai seberapa bagus atau buruk karya tersebut. Prinsip saya: melakukan yang terbaik yang saya bisa.  

Menurutmu, apa yang membuat juri tertarik pada naskah novelmu? Apa yang membuatnya berbeda dari naskah sayembara lainnya?

Mungkin karena naskah ini mengusung tema yang jarang disentuh penulis lain, yaitu dunia kesehatan reproduksi perempuan, khususnya hak perempuan atas rahim. Saat praktik dulu, saya menemui banyak kasus komplikasi terkait aborsi. Saya juga pernah dimintai beberapa orang untuk meresepkan obat yang memicu aborsi (tentu saja saya tolak mentah-mentah). Di media massa, terkait kasus aborsi, perempuan sering ditempatkan sebagai objek. Dogma dan norma mengatur mereka sedemikian rupa. Padahal, rahim adalah milik perempuan, dan perempuan berhak menjadi subjek berdaulat yang menentukan takdir rahimnya sendiri. Entah itu prolife atau prochoice lengkap dengan konsekuensinya masing-masing. Perdebatan mengenai hal itulah yang saya paparkan dalam “Rahim”.

Bukumu yang berjudul “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” merupakan salah satu buku yang sukses dan populer di pasaran. Banyak yang memuji dan membicarakannya. Dibanding buku ini, apakah naskah “Rahim” dianggap mampu menyamai atau mungkin melebihi buku tersebut?

Rahim menawarkan ruang perenungan yang lebih dalam, khususnya terkait hak-hak reproduksi perempuan. Saya harap Rahim akan melampaui keberhasilan Kucing Hitam.

Naskah novelmu (Rahim) bercerita tentang apa?

Hak reproduksi perempuan, khususnya kasus-kasus yang dialami perempuan terkait rahim mereka, salah satunya isu aborsi. Di Indonesia, UU yang mengatur aborsi itu berganti-ganti. Saya coba memotret fenomena perubahan UU ini dalam semesta cerita “Rahim”. Di sana pembaca akan bertemu banyak karakter perempuan unik, yang memilih takdir mereka masing-masing dengan keberanian di atas rata-rata.

Kamu seorang dokter. Apakah keilmuan tersebut banyak berpengaruh terhadap prosa-prosa yang kamu tulis?

Ya. Selama praktik saya bertemu banyak pasien dengan karakter mereka masing-masing. Mereka berlaku selayaknya manusia yang menghadapi masalah hidup dengan berpijak pada mekanisme pertahanan ego masing-masing. Karakter yang beraneka macam itu memudahkan saya menciptakan karakter-karakter unik. Dalam novel “Rahim”, keilmuan saya sangat membantu karena banyak detail mengenai kesehatan reproduksi yang saya tuliskan di sana.

Bagaimana respon dari keluarga dan kawan-kawan seprofesi di dunia kedokteran saat kamu lebih banyak berkecimpung dalam dunia sastra dibandingkan dunia kesehatan?

Mereka mendukung penuh. Kawan-kawan seprofesi tentu saja kaget, karena saya jarang bercerita kalau saya menulis. Mereka baru tahu ketika pengumuman UWRF tahun lalu. Tetapi itu menguntungkan sih, karena dengan begitu saya bisa berkonsultasi langsung dengan dokter spesialis tertentu untuk bahan tulisan tanpa sungkan, hehehe. Contohnya, waktu menulis Morula, saya melakukan riset dan konsultasi intensif dengan dokter spesialis Andrologi di Surabaya, yang juga kawan satu angkatan saya semasa kuliah.

Bisa diceritakan, bagaimana sejarah literasi yang mempengaruhi jalan hidup kepenulisanmu?

Saya mulai serius belajar menulis dan mengirim naskah ke koran pada pertengahan 2019. Tahun 2020, saya mulai belajar ke Paman AS Laksana. Tahun itu pula naskah saya tayang di Kompas dan menjadi salah satu Cerpen Pilihan Kompas tahun 2020. Tahun yang sama, buku pertama saya terbit, yaitu Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?. Alhamdulillah, buku tersebut masuk sebagai salah satu buku Sastra Pilihan Tempo. Buku itu juga menjadi nominee Penghargaan Sastra Badan Bahasa Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di tahun 2021. Pada tahun 2022, buku tersebut menjadi pemenang Hadiah Sastra Ayu Utami. Di tahun yang sama, buku itu menjadi salah satu buku yang lolos kurasi dan dipamerkan di London Book Fair 2022. Dan di akhir 2022, saya masuk sebagai Emerging Writers UWRF. Dan pada tahun ini, alhamdulillah, naskah saya lolos sebagai salah satu dari 8 pemenang sayembara novel DKJ. Semua itu  mempengaruhi semangat saya untuk terus belajar menulis.

Setahu kami, Sasti Gotama termasuk salah satu penulis sastra yang paling cepat perkembangannya, termasuk prestasi dalam dunia kepenulisan. Bisa diceritakan, bagaimana cara melakukan itu semua? Mungkin bisa jadi pesan bagi kawan-kawan lain yang ingin serius mendalami dunia menulis khususnya karya sastra.

Prinsip saya: berusaha berkembang terus menerus. Yang harus saya kalahkan adalah diri saya yang kemarin. Karena itu, saya berusaha melakukan yang terbaik, semampu yang saya bisa. Salah satunya dengan terus belajar, misalnya ikut kelas menulis. Selain itu, saya berupaya menantang diri sendiri. Misalnya, dulu saya pikir saya hanya mampu menulis cerita pendek karena napas menulis saya pendek. Menulis novel adalah pekerjaan maraton. Dan tahun ini saya coba menantang diri saya sendiri untuk menulis novel panjang. Yang penting saya berusaha. Masalah hasil, itu terserah Pencipta saya.  

Buku apa yang berpengaruh terhadap novel dan tulisan-tulisanmu lainnya? Lalu, siapa penulis favoritmu?

Vegetarian karya Han Kang. Penulis favorit saya banyak, tetapi salah duanya adalah Murakami dan Ray Bradbury.

Buku apa yang berpengaruh terhadap novel dan tulisan-tulisanmu lainnya? Lalu, siapa penulis favoritmu?

Saya menyukai Vegetarian karena Han Kang di sana mampu menuliskan pergolakan jiwa manusia dengan begitu indah. Suka menyukai Murakami karena mengagumi cara beliau membangun semesta cerita yang terkadang absurd, tetapi tanpa melupakan unsur estetika  melalui penciptaan-penciptaan adegan dan metafora yang unik dan segar. Alasan saya menyukai Bradbury sama dengan alasan menyukai Murakami. Keduanya memiliki bahasa dan metafora yang indah.

Sejauh ini, apakah karya-karya yang kamu tulis sudah memuaskan?

Belum. Karena itu saya perlu terus belajar dan menantang diri saya untuk melakukan lebih baik lagi.

Kenapa kamu lebih memilih menjadi prosais dibandingkan sebagai penyair?

Karena, untuk sekarang, saya lebih nyaman di prosa. Prosa menyediakan ruang yang lebih luas untuk mengkatarsiskan kegelisahan terkait humanisme. Prosa juga menjanjikan kebebasan berekspresi, tak seperti puisi yang terikat dengan banyak aturan.

Berarti kamu juga pernah menulis puisi. Kenapa tidak diteruskan? Apakah sebelum menulis prosa, kamu memulainya dari menulis puisi sebagaimana Faisal Oddang? Kenapa tidak dilanjutkan keduanya? Sebagaimana juga Sapardi. Atau berkebalikan dengan Joko Pinurbo yang bermula dari menulis prosa, lalu pindah ke puisi. Sekalipun sebenarnya, untuk saat ini ia tetap menulis prosa.

Saya merasa tempat saya di prosa. Untuk sekarang, saya merasa belum mampu mempabrikasi puisi. Entah besok.

Jika merujuk kepada pengalamanmu dalam dunia literasi, kami mencatat bahwa seorang Sasti Gotama dikenal sebagai seoarang penulis, editor, penerjemah, dan punya banyak prestasi di dalamnya. Artinya ada banyak pengalaman dan penghargaan dalam dunia sastra, Lalu apa target selanjutnya?

Sejujurnya, saya tidak pernah punya target khusus. Setiap menulis, target saya adalah membuat karya sebaik mungkin dan membubuhkan kata “tamat”.

Terakhir, apakah nanti Sasti Gotama masih mau memakai nama Lila Prasasti Ratu Asih untuk bukunya? Jika novel Rahim diterbitkan, mau memakai nama yang mana?

Sasti Gotama saja.

Semoga pembaca ga bingung, ya? Atau mungkin juga juri DKJ- ketika bukunya berubah hehe. Terima kasih Sasti. Sukses terus ke depannya.

InsyaAllah nggak. Sama-sama. Amin. Sukses juga untuk Ompi. (Red)

***

Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2023 (Dhianita Kusuma Pertiwi, Azhari Aiyub, dan Zaky Yamani) sepakat memilih Yoga Zen dengan karya “Tersesat Setelah Terlahir Kembali” sebagai pemenang pertama. Hasbunallah Haris dengan karya “Leiden (2020 – 1920)” sebagai pemenang kedua, dan Ida Fitri dengan karya “Tukang Intip” sebagai pemenang ketiga.

Adapun naskah novel Rahim karya Sasti Gotama didapuk sebagai Naskah Menarik Perhatian Dewan Juri bersama 4 naskah lainnya, yaitu: Agil Fathurrohman dengan karya “Melawat”, Darwanto (Mashdar Zainal) dengan karya “Raksasa”, Syahrul Padli dengan karya “Teori Datangnya Tiga Wanita dan Keheningan Hari Minggu”, dan Aveus Har dengan karya “Tak Ada Embusan Angin”.

Menurut Juri, naskah novel Rahim milik Sasti Gotama (Lila Prasasti Ratu Asih), “Sejak bagian pembuka, naskah Rahim berhasil menarik perhatian dengan menghadirkan adegan persalinan yang berbeda dari lumrahnya peristiwa tersebut digambarkan dalam karya sastra. Hal tersebut diperkuat dengan penciptaan karakter-karakternya yang khas sekaligus kompleks, pembangunan latar tempat dan waktu yang padu, serta penempatan detail-detail yang menguatkan semesta dari cerita–menandakan ketelitian dan kegigihan penulis dalam melakukan riset. Rahim merupakan satu dari sedikit naskah yang mampu menghadirkan karakter perempuan yang unik dan mencolok. Kalimah adalah sosok seorang perempuan yang menerabas konstruksi gender serta moralitas terkait kodrat sebagai makhluk yang memiliki rahim serta ditakdirkan untuk melahirkan dan memiliki sifat keibuan. Pada saat yang sama, perjalanan tragis yang dihadapi si anak, Luh, berhasil dinarasikan secara mengalir tanpa menghakimi sosok ibunya.

Di balik semua keunggulan tersebut, naskah Rahim memiliki satu lubang besar yang berkaitan dengan motivasi Luh sebagai tokoh utama. Alur yang dibangun dalam naskah ini hanya mengikuti perjalanan hidup tokoh utama alih-alih digerakkan oleh suatu misi yang konkret. Sebagai konsekuensinya, tidak ada bagian-bagian yang menunjukkan konflik dan krisis secara gamblang, tidak terasa ada tensi dalam cerita, dan kisah pun berakhir begitu saja tanpa berhasil menjadi suatu resolusi.”

Baca juga berita: Daftar Pemenang Sayembara Puisi dan Novel DKJ 2023

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *