Singkat Sejarah
Realisme sosial lahir bukan sebagai sebuah gaya sastra semata, melainkan sebagai sebuah kebutuhan historis untuk menyuarakan kehidupan kelas-kelas tertindas yang diabaikan oleh estetika dominan. Ia muncul dari kegelisahan zaman, dari luka sosial yang tidak bisa dijelaskan oleh lirik-lirik yang hanya mengagungkan estetika tak bertuan, dan dari kehendak untuk memulihkan martabat manusia melalui bahasa. Dari akar-akar revolusi, industrialisasi, dan ketimpangan yang menganga, realisme sosial tumbuh sebagai sebuah perlawanan yang jelas berpihak. Sejak awal abad ke-20, realisme sosial telah mengisi panggung-panggung teater rakyat, majalah buruh, hingga ruang-ruang penjara.
Di Eropa Timur, realisme sosial mendapat bentuk resminya dalam kebijakan budaya Uni Soviet pasca-Revolusi 1917. Maksim Gorky menjadi tokoh sentral dalam menegaskan bahwa seni tidak boleh netral terhadap perjuangan kelas. Di bawah pengaruh Marxisme-Leninisme, puisi, novel, dan drama diarahkan untuk menggambarkan kehidupan kaum proletar secara jujur dan memotivasi perjuangan revolusioner. Karya seperti “Mother” milik Gorky bukan hanya narasi perjuangan buruh, melainkan juga manifestasi dari posisi ideologis penulis. Realisme sosial Soviet menggabungkan penggambaran konkret kehidupan rakyat dengan visi masa depan sosialis.
Sebelum menjadi instrumen negara, realisme sosial di Eropa Timur juga merupakan buah dari gerakan bawah tanah, diskusi intelektual kiri, dan perlawanan terhadap feodalisme dan kapitalisme. Penyair seperti Vladimir Mayakovsky meski dikenal juga sebagai pengguna gaya eksperimental, ia tak melupakan untuk menulis puisi yang menghidupkan kembali semangat revolusi dalam bentuk yang menggugah. Ia menulis untuk membongkar bahasa borjuis, untuk menyuntikkan ritme perjuangan ke dalam diksi sehari-hari. Kekuatan puisi tak lagi dinilai dari keindahan metafora, melainkan dari pengaturan ritme perlawanan dan keberaniannya menyebut yang tak disebutkan.
Di Amerika Latin, realisme sosial menemukan rumahnya dalam puisi-puisi Pablo Neruda, Nicolás Guillén, dan Roque Dalton. Benua itu, yang dihantam kolonialisme, kediktatoran, dan kemiskinan struktural, menjadi ladang subur bagi puisi yang berpihak. Neruda, terutama dalam Canto General, menggambarkan sejarah rakyat Amerika Latin bukan dari perspektif penguasa, tetapi dari sudut pandang buruh, petani, dan pejuang revolusi. Guillén, dari Kuba, menggabungkan ritme Afro-Karibia dengan kritik sosial yang tajam terhadap rasisme dan eksploitasi. Dalton, yang gugur dalam gerilya, memperlihatkan bagaimana puisi dan revolusi bisa berjalan seiring sebagai dua bentuk cinta kepada rakyat.
Di Cina, sastra realisme sosial dikembangkan sebagai bagian dari revolusi Maois. Puisi dan prosa digunakan untuk mengangkat suara petani dan pekerja, dengan bahasa yang lugas dan simbolisme yang tidak mengawang tetapi jelas melekat pada kegemasan kolektif.
Dalam sejarah Amerika Serikat, realisme sosial muncul secara kuat pada masa Depresi Besar tahun 1930-an, melalui gerakan sastra kiri yang terhubung dengan Partai Komunis Amerika dan serikat buruh. Langston Hughes, penyair kulit hitam yang juga bagian dari Harlem Renaissance, menjadi suara penting yang mengangkat tema-tema ras, kelas, dan keadilan sosial dengan bahasa yang merakyat namun tajam. Gerakan Beat Generation, meskipun lebih eksistensial dan anti-kemapanan dalam bentuknya, juga membawa napas realisme sosial yang tidak kabur dalam kritik mereka terhadap industrialisasi, militerisme, dan keterasingan dalam kapitalisme modern.
Di Eropa Barat, khususnya Jerman, muncul gerakan sastra kiri yang dipimpin oleh Bertolt Brecht. Brecht menyumbangkan pendekatan epik dalam teater dan puisi yang menolak ilusi dramatis demi kesadaran kritis. Puisi dan drama Brecht tidak memberi pelarian emosional, melainkan mendorong penonton untuk berpikir dan bertindak. Dalam konteks Jerman Weimar dan kemudian eksil akibat fasisme, Brecht memperluas horizon realisme sosial dari bentuk naratif menjadi bentuk eksperimental yang memprovokasi kesadaran politik. Bagi Brecht, realisme bukan berarti naturalisme, tetapi upaya aktif membongkar kenyataan.
Di Afrika, realisme sosial berkembang dalam kerangka dekolonisasi. Penyair seperti David Diop, Leopold Sedar Senghor, dan Okot p’Bitek menulis puisi yang mengecam imperialisme dan merayakan identitas lokal. Diop, dalam Coups de pilon, menolak model puisi kolonial yang romantik dan elitis, dan mengangkat pengalaman rakyat Afrika secara langsung dan membumi. Banyak dari mereka menggabungkan bentuk lisan tradisional dengan semangat revolusi sosial. Realisme sosial di Afrika adalah soal membangun narasi tandingan terhadap penjajahan naratif Barat.
Di dunia Arab, penyair realisme sosial seperti Mahmoud Darwish menjadikan puisi sebagai alat politik dan perjuangan identitas. Puisinya menolak penghapusan Palestina dan menjadi catatan kolektif bangsa yang terjajah. Darwish menulis dengan liris, tetapi penuh kedalaman historis dan kesadaran kelas. Ia menulis bukan hanya untuk rakyat Palestina, tetapi juga untuk dunia yang lupa pada Palestina. Realisme sosial dalam puisi Arab melampaui nasionalisme menjadi humanisme radikal.
Di Indonesia, realisme sosial juga memiliki elan sejarahnya! Semangatnya lahir dari perjuangan antikolonial, lalu berkembang melalui Angkatan 45 yang dipenuhi oleh kesadaran nasional dan sosial yang tinggi. Dalam sejumlah sajaknya Chairil Anwar membuka jalan dengan kejujuran ekspresif yang melawan. Nama-nama seperti Sitor Situmorang, Rivai Apin, Pramoedya Ananta Toer, dan W.S. Rendra mengartikulasikan lebih dalam tentang relasi kuasa dan penderitaan rakyat. Gerakan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) menjadikan realisme sosial sebagai kerangka estetik-ideologis utama dalam menghubungkan sastra dengan rakyat. Semboyan “politik adalah panglima” mencerminkan keyakinan bahwa sastra harus menjadi alat perjuangan kelas.
Meski Lekra kemudian dikambinghitamkan dalam tragedi 1965, dan realisme sosial dibungkam melalui represi dan jaringan kebudayaan penyokong Orde Baru, semangatnya tetap hidup dalam puisi-puisi bawah tanah, musik protes, hingga sastra pinggiran. Dan, Wiji Thukul adalah contoh paling menonjol dari penyair realisme sosial pasca-1965, yang menyuarakan suara rakyat tertindas dengan gaya yang lugas, langsung, dan menolak retorika kosong. Puisinya bukan untuk kontemplasi individual, melainkan untuk menggerakkan kolektif. “Hanya ada satu kata: LAWAN!” bukan sekadar slogan, tapi kredo realisme sosial dalam bentuk paling jernih dan tanpa keruwetan untuk dimengerti oleh rakyat banyak.
Gerakan perlawanan juga terus berlanjut di era pasca-Reformasi. Saut Situmorang, adalah penyair yang selalu eksplisit membawa semangat realisme sosial ke medan sastra kontemporer Indonesia. Lewat Majalah Boemipoetra, Saut tidak hanya membongkar dekadensi sastrawan mapan yang kerap melarikan diri ke dalam puisi-puisi metaforis tanpa sikap, kongkalikong komunitas yang manipulatif dalam politik budaya, melawan kanon yang curang, lomba-lomba yang hablur timbangan ideologisnya, serta menggalakan sebuah politik sastra yang jelas berpihak dalam menolak estetika yang pura-pura netral tapi nyata menjadi kepanjangan dari jaringan budaya kolonial baru. Puisi-puisinya yang sering keras, vulgar, dan mengolok-olok, menjadi contoh konkret yang masih hidup dan vital dari bentuk puisi yang berpijak pada kesadaran perlawanan dan subversi.
Realisme sosial memiliki karakteristik formal yang khas: bahasa sehari-hari, narasi yang kuat, figur manusia biasa, orasi yang tajam, mata yang membidik, bahasa yang menusuk dan keberanian menyebut nama. Ia tidak memuja kompleksitas sebagai tujuan, tetapi menjadikannya alat untuk membuka realitas yang dilapisi kabut ideologi dominan. Ia menolak puisi yang melayang tak tentu arah, metafora yang kosong, ambiguitas yang elitis, bentuk yang hanya untuk main-main dan tidak benar-benar menyandarkan suaranya pada telos perlawanan yang jelas. Meskipun, realisme sosial tetap terbuka untuk eksperimentasi bentuk, selama bentuk itu memperkuat posisi keberpihakan, bukan sekadar gaya kosong, atau hanya untuk memainkan jazz-blues borjuis yang dicipta untuk memperoleh tepuk tangan dan saweran kafe, bukan untuk mendedarkan dengan lempang luka penderitaan rakyat.
Dalam banyak konteks hari ini, realisme sosial diubah menjadi semacam “tema” yang dijual di festival, antologi, dan lomba-lomba puisi, namun pada praktiknya ia sering disajikan dan dikemas dalam estetika yang naif hingga salah jalan, penuh basa-basi dan penuh kompromi dengan logika pasar, dan pada akhirnya secara ideologis hanya menjadi parodi atas kegagalan memahami posisi politik dirinya sendiri. Penyair yang ikut serta sudah dianggap progresif hanya karena dalam puisinya sudah menyinggung kemiskinan atau topik tertentu padahal tidak punya pemahaman struktural terhadap realitas yang diangkatnya, hingga kejelasan ideologis yang hendak diusungnya. Maka di situlah pentingnya merevitalisasi realisme sosial sebagai paradigma, bukan sekadar tema.
Realisme sosial yang sejati harus bersandar pada analisis keadaan yang tajam dan pemahaman terhadap sejarah dan kepentingan rakyat. Ia harus menyadari bagaimana bahasa bekerja sebagai medan ideologi. Kata-kata yang digunakan bukan sekadar alat ekspresi belaka, alat main-main metaforis pura-pura belaka, tetapi juga senjata, penyangga solidaritas, perlawanan dan perisai. Para penulis puisi realisme sosial tidak hanya menulis puisi; mereka membangun dunia dalam kata-kata, menjelaskan dengan panjang lebar rusaknya kenyataan akibat penindasan, menantang kejahatan itu, sambil berusaha merajut kesadaran baru dan solidaritas. Melalui mereka, kita belajar bahwa puisi bukan dicipta dengan dasar untuk bermain hiasan, tapi sebagai fondasi perubahan.
Ketika banyak puisi berhenti pada “aku” dan lupa pada “kita”, ketika banyak seruan estetika terlepas dari tanggung jawab etik, realisme sosial datang untuk mengingatkan bahwa bahasa harus berpijak pada dunia yang ingin dibebaskan. Bahwa puisi bukan dikerjakan berkilau-lampu di dinding-dinding galeri, tetapi untuk membongkari dinding-dinding yang memisahkan antara istana dan jalanan, antara tembok perusahaan-perusahaan dan rumah-rumah kumuh buruh pinggiran.
Dunia sedang terbakar, dan puisi tidak bisa hanya berdiri sebagai penonton atau parade gaya. Dari Palestina hingga Papua, dari favelas Brasil hingga tambang-tambang di Kalimantan, realisme sosial adalah cara menjadi untuk suara mereka yang tidak diberi mikrofon. Ia menyuarakan jerit yang dipendam, memulihkan cerita yang dihapus, dan menolak bahasa yang telah dijinakkan. Ya, di zaman ketika puisi menjadi dekorasi, realisme sosial datang sebagai palu: tidak untuk memoles luka, tapi untuk menetak patah rantainya! LAWAN!
- Ilusi Kritik di Ranjang Pasar - 11 Mei 2025
- Realisme Sosial: Empat - 24 April 2025
- Realisme Sosial: Tiga - 23 April 2025