Mengembara Bersama Malala

Mengembara Bersama Malala

Menembus Batas: Big Bang,
Sajadah Terbang, dan Puisi Senja Hari
*)

Oleh: Prof. Effendi Kadarisman, M.A, Ph.D

Sebagai puisi naratif, Malala adalah prestasi sastrawi. Dari 457 naskah puisi yang ikut Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta tahun 2021, Malala adalah satu dari tiga naskah yang menarik perhatian dewan juri. Berbeda dengan puisi perjalanan yang lazimnya memiliki tujuan tertentu, dewan juri memberi catatan, “manuskrip ini tampak ditulis dengan kesadaran bahwa perjalanan adalah sesuatu yang bisa dilakukan tanpa tujuan”. Tema yang memikat. Dalam bahasa Minang, kata malala berarti ‘keluyuran’, atau ‘pergi ke mana-mana tanpa tujuan jelas’. Sebelum membahas “tema keluyuran” ini, saya tertarik mengajukan pertanyaan: siapakah sastrawan Indra Intisa, penyair yang menulis puisi perjalanan panjang ini?

/1/

Seperti Malala yang berupaya hadir sebagai terobosan puitis, Indra Intisa adalah sastrawan yang terus berupaya menembus batas. Karya-karyanya meliputi puisi, cerpen, novel, dan kritik sastra. Ia mengelola laman sastra web https://ompiompi.com. Khusus di bidang puisi, ia adalah penyair dengan kreativitas yang deras serta inovasi mengejutkan, dan telah menerbitkan tujuh buku antologi puisi tunggal: Nasihat Lebah (2015), Panggung Demokrasi (2015), Ketika Fajar (2015), Dialog Waktu (2016), Sang Pengintai (2017), kuberi kau nama: tuan. bukan fulan (2018), dan SuperZizi: Mata Bulan Sabit (2020). Malala (segera terbit, 2023) adalah buku puisi tunggalnya yang kedelapan. Dari satu antologi ke antologi berikutnya, Indra Intisa berupaya hadir sebagai ‘penyair baru’. Maksudnya, setiap antologi mencoba tampil sebagai himpunan genre puisi yang unik dan khas. Berdasarkan genre puisi, karya-karyanya sangat variatif, meliputi puisi lama (yang mencakup syair, gurindam, pantun, seloka, karmina, talibun, dan mantra), puisi mbeling, puisi imajis, dan puisi religi. Beberapa sajaknya layak kita cermati. Simaklah bait ketiga dari “Pantun Sahabat Bunga”.

Akar melilit di samping buah
Bunga melati hidup di taman
Walaupun sulit takkan berubah
Begitulah arti seorang teman

Bait ini enak dibaca. Jumlah suku kata terjaga dengan baik, sehingga ketukan ritme terdengar rampak. Dari sampiran masuk ke isi, rima internal maupun akhir bertaut sempurna: melilit – sulit, buah – berubah, melati – arti, taman – teman. Makna sampiran dan makna isi mengalir seiring sejalan. Ini ‘nasihat lebah’ yang bernas dan indah: kesetiaan dalam bersahabat hendaknya kokoh dan utuh, takkan berubah apa pun yang terjadi.

Panggung Demokrasi (2015) adalah koleksi puisi mbeling. Sajak “Tentang Tata Bahasa” meledek demokrasi yang tega melahap anak-anaknya sendiri.

Sejak ubah 
menjadi rubah
tata hukum negara
menjadi bertaring
dan memangsa rakyat
yang dikatakan domba

Puisi ini bertolak dari kesalahan umum penutur bahasa Indonesia. Bentuk morfologis yang benar mengubah sering terpeleset menjadi merubah—yang berarti ‘menjadi rubah’. Janji politik per-ubah-an berbelok menjadi pe-rubah-an. Negara pun bertaring dan memangsa rakyat. Ini puisi mbeling yang serius.

Puisi mbeling yang nakal nampak pada bagian /2/ dari puisi “Beberapa Lagu Anak”, sebuah puisi dalam SuperZizi (2020)—antologi yang akan dibahas kemudian.

balonku ada lima
rupa-rupa warna tingkahmu. pintamu.
tawamu. tangismu. inginmu. bantahmu.
takkan kubiarkan meletus, nak.

Ini cara jenaka mempermainkan lagu anak-anak “Balonku”. Kenakalan terbaca pada rupa-rupa warna tingkahmu dan takkan kubiarkan meletus, nak. Pembaca kaget oleh pelesetan lingual yang cantik, dengan makna tersirat: betapa besar perhatian dan kasih sayang ayah kepada putrinya.

Indra Intisa juga menulis puisi-puisi imagis. Sebagai antitesis puisi romantis yang berbunga-bunga, puisi imagis hadir dengan imaji yang kuat—bisa imaji visual, auditif, atau taktif. Dalam sastra Inggris, contoh yang terkenal adalah “In a Station of the Metro”, karya Ezra Pound  (1885-1972).

The apparition of these faces in the crowd

Petals on a wet, black bough

Puisi visual dua baris ini hadir dengan metafora impresif: ratusan wajah yang bergerak dalam kerumunan di stasiun kereta api adalah kelopak-kelopak bunga yang bertengger pada dahan hitam yang basah.

Contoh lebih tua dari puisi imagis adalah haiku—puisi Jepang tiga baris, 17 suku kata: baris pertama 5 suku kata, baris kedua 7 suku kata, dan baris ketiga 5 suku kata. Pencinta puisi lazimnya tahu bahwa haiku paling terkenal adalah “Furu Ike Ya” atau “Kolam Tua”, karya Matsuo Basho (1644-1694), penyair Jepang abad ke-17.

Furu ike ya kawazu tobikomu mizu no otoOld pond a frog jumps in water’s soundKolam tua seekor katak meloncat kecipak air

Pola suku kata 5 – 7 – 5 hanya muncul pada haiku versi asli dalam bahasa Jepang. Ia tidak muncul pada kedua terjemahannya, karena “poetry by definition is untranslatable” (Jakobson 1959). Dalam haiku “Kolam Tua” ini, imaji visual (kolam tua dan katak meloncat) tergambar jelas; dan imaji auditif (kecipak air) terdengar tegas. Ini karena haiku hadir telanjang, tanpa bunga kata-kata.

Dalam konteks ini, puisi imajis “Ketika Melihat Nisan”saya pungut dari antologi Ketika Fajar (2015),

ada nama yang menarik mataku
melihat batas. Engkau berkata: lihatlah!
kemudian mentari berjalan dengan cepat
buru-buru kuluruskan kepala 	

Puisi ini lebih mirip karya Ezra Pound yang metaforis daripada karya Matsuo Basho yang literer sugestif. Secara simbolik, melihat batas bermakna ‘melihat nisan’. Ini memunculkan kesadaran spiritual: lihatlah! kata Tuhan. Dan sisanya adalah gerak alam yang bergegas dan sikap tubuh yang tanggap terhadap isyarat itu.

Lewat Sang Pengintai (2017), Indra Intisa mengajak pembaca menyimak hakikat kematian. Sang maut hadir tenang sepanjang alur hidup kita, seperti sunyi di luar diri, seperti garis yang tiba-tiba memotong, dan semuanya habis. Dalam sajak “Bercermin”, kematian hadir sangat lembut: coba engkau bercermin / lalu tiupkan nafasmu pada kaca / kelak akan tertutup wajahmu oleh kabut-kabut // dan engkau akan mengusap kaca / untuk menghapus kabut-kabut / dan wajahmu kembali // cermin telah basah //. Oleh tangis? Karena wajahmu tak ada lagi di sana? Ini potret asing tentang maut yang membuat bulu kuduk berdiri.

Di antara tujuh buku puisi yang telah terbit, saya menyukai kuberi kau nama: tuan. bukan fulan (2018). Judul antologi ini dicetak dengan huruf kecil. Ia himpunan dari puisi-puisi religi yang bersambung, kata penyairnya, dengan dua tokoh antagonistis: tuan versus fulan. Tipografi sajak “Liburan” dibelah jadi dua, sebelah kiri puisi pendek tiga bait dan sebelah kanan dialog singkat. Bait terakhir puisi pendek itu: dunia adalah makanan / tanpa puasa / tak tersisa //. Ini teguran keras: kamu manusia, selalu lapar. Dunia membuatmu haus dan rakus. Tak ada puasa, tak ada kekang bagi nafsu. Apakah akan kau telan semuanya? Teguran ini diikuti percakapan kecil dengan ujung tajam yang memangkas.

Fulan	: Liburan?
Tuan	: Hiburan
Fulan	: Liburan?
Tuan	: Hiburan
Fulan	: Kuburan!
Tuan	: !

Ini dialog imajiner yang menyentak. Manusia sedang berfoya-foya menikmati dunia. Tiba-tiba semuanya berakhir, direnggut maut.

Siapakah tuan dan fulan, dua tokoh berseberangan karakter itu? Puisi panjang di ujung risalah ini, dengan judul “Pada Akhirnya”, memberi jawaban.

sebelum batas tiba:
fulan dan tuan adalah pohon
mereka adalah kita

Tentu, di antara kita umat manusia ada tuan yang cenderung hitam dan fulan yang cenderung putih. Namun, tak ada manusia yang sempurna. Jika dikristalkan, maka kedua pohon itu, tuan dan fulan, tumbuh dalam diriku, juga dalam dirimu.

Permainan puitika Indra Intisa menarik untuk terus diikuti. Kini, lihatlah! Terobosan besar nampak mencolok pada antologi puisi SuperZizi:Mata Bulan Sabit (2020). Zizi, tokoh utama dalam antologi ini, adalah putri pertama Indra Intisa, lahir tanggal 27 September 2014. Ini bukan antologi biasa, karena ia membalik sudut pandang sastrawi. Puisi-puisi dalam antologi ini digubah dari sudut pandang Zizi. Maka ayah, sang penyair, memandang dunia lewat mata putrinya; dan lahirlah innocent poems, puisi-puisi lugu yang diolah dengan cerdik, semisal separoh akhir dari puisi “Si Buah Hati”.

“Ayah, ini buat Ibu, ya?”
“Bukan, Anakku. Tetapi ini buatmu.”

“Lalu buat Ibu, mana? Buat Ayah, mana?”

     Kusisipkan telunjuk
yang berisi harap
yang berisi kasih
yang berisi petuah
pada dadanya yang mungil
     “Di sini, Anakku.”

Simaklah, tiga baris pertama itu percakapan biasa. Setelah ungkapan Kusisipkan telunjuk, baru muncul baris-baris puitis; dan diakhiri dengan kalimat “Di sini, Anakku”, yang menimbulkan haru di hati pembaca.

Pada halaman 40 – 41, ada contoh lain yang impresif. Pada halaman kiri terpampang potret Zizi bersedekap, shalat dengan khusyuk; dan pada halaman kanan tercantum puisi “Doa Zizi”.

Tuhan …
Tebalkanlah dompet ayah
Ganti kertasnya menjadi duit
Biar saat terjepit kami tak sakit
Atau saat kaya kami merdeka
Saat tinggi kami berisi
Saat rendah kami tak resah
Saat jauh kami tak runtuh
Saat dekat kami menguat

Tiga baris pertama terdengar pinta anak yang lugu. Enam baris sisanya mengalir ringan dengan rima internal pada setiap baris, tanpa simbolisme yang rumit. Sebagai contoh terakhir dari SuperZizi, mari kita simak sajak “Kereta Kencana”.

Kau tak tahu, tadi malam
ada kereta kencana menjemputmu, Zi
ia ingin mengajakmu keliling samudra
dan kau jadi putrinya
ayah tak mau kau terpedaya

Tapi tenanglah
ayah juga punya kereta
nanti kau sendiri yang jadi kusirnya
kau mau, kan?
ayah jadi penumpangnya
kau bisa bawa ke mana saja
hingga uisa renta

Yang hadir dalam puisi ini tetap larik-larik sederhana, khas percakapan ayah kepada anak. Pada bait pertama, rujukannya dunia mimpi, yang diakhiri dengan kekhawatiran sang ayah terhadap putrinya. Pada bait kedua, rujukannya harapan masa depan. Semoga putri terkasih tetap mencintai ayah sampai hari tua.

Dalam percakapan pribadi dengan saya, Mas Ompi, panggilan akrab Indra Intisa, juga bermaksud merambah batas lain. Kenapa tak kita coba menulis puisi-puisi sains? Bagi saya, ini pertanyaan yang mengejutkan. Dalam kancah nasional maupun internasional, masih jarang sekali kita temui puisi dengan aroma sains yang kental. Di laman OmpiOmpi.com ia menyajikan puisi sains dengan judul panjang “kita adalah semesta tanpa tepi lahirkan anak-anak bumi dalam galaksi”.

purba, sebelum big bang
13,7 miliar tahun yang lalu
kita mengelana di ruang hampa
kita yang panas, kita yang padat
oleh sepi meraja

kun fayakun!

di pertemuan
ledakan adalah mawar yang mekar
diksi-diksi atom berjumpalitan
larik-larik membentuk planet dan bintang
bait-bait menjadi galaksi
menjadi sajak-sajak kehidupan

kita adalah semesta yang mengembang

Berdasarkan bukti-bukti empirik berupa unsur-unsur cahaya dan radiasi gelombang-mikro di alam semesta, para ahli kosmologi memperkirakan alam semesta ini bermula 13,7 miliar tahun yang lalu. Pada baris keempat dari bait pertama puisi di atas, ungkapan kita yang panas, kita yang padat menyiratkan makna: alam semesta bermula dari titik tunggal yang sangat padat dan panas (diperkirakan panasnya mencapai 5,5 miliar derajat celsius), lalu terjadilah ledakan besar, the big bang. Dari ledakan ini muncul ribuan galaksi, yang masing-masing terdiri dari jutaan atau milyaran bintang, dan setiap bintang dikelilingi oleh planet-planet. Bumi kita adalah sebuah planet yang mengelilingi sebuah bintang: matahari. Dalam bait ketiga dinyatakan: larik-larik membentuk planet dan bintang / bait-bait menjadi galaksi / menjadi sajak-sajak kehidupan.

Saat ini, telah selesaikah proses penciptaan alam semesta? Belum, atau tidak. Semesta adalah mawar yang mekar. Alam maha luas yang kita huni ini adalah ruang yang terus membentang tak terhingga: kita adalah semesta yang mengembang.

Inilah sketsa kepenyairan Indra Intisa, penyair yang tak henti bereksperimen dan terus merambah batas. Ia membaca: dalam semesta bahasa, bertebaran ratusan ribu kata—berlaksa tanda Saussurean yang menunggu untuk di-indah-kan menjadi puisi. Sebagai narasi puitis, Malala merupakan proyeksi dari puisi ‘big bang’ di atas. Ini puisi perjalanan panjang yang didominasi oleh kekaguman dan sekaligus kritik terhadap sains. Malala mencoba memadukan tiga unsur: presisi ilmiah, religiositas, dan estetika bahasa.

/2/

Ada disiplin kecil relatif baru: etnoputika, yang muncul di Amerika Serikat pada awal 1970an, diprakarsai antara lain oleh Jerome Rothenberg, Dennis Tedlock, dan Dell Hymes. Prefiks etno– dalam etnoputika menyarankan puitika yang terkait erat dengan kelompok etnis; ia menelaah puitika lokal sebagai teks dan pentas sastrawi, dan bagaimana kaitannya dengan kepercayaan setempat. Dalam Malala sebagai teks, di akhir Bab 1 kita jumpai nasihat dalam bahasa Minang.

“o Buyuang, malala ka malala juo. 
kama se waang pai alah sampai sanjo 
umua ang masih mudo
balaja la ka tampuo.”

(O Buyung, keluyuran keluyuran saja
ke mana saja kamu pergi, telah sampai senja
umur kau masih muda
belajarlah ke tempua) 

Nasihat ini gubahan Indra Intisa. Kata tempua di ujung baris terakhir berarti ‘burung manyar’. Ada yang menarik untuk dicermati. Kenapa judul antologi ini bukan Keluyuran, kata yang maknanya langsung dipahami oleh penutur bahasa Indonesia? Jawabnya: meskipun secara denotative keluyuran merupakan padanan malala, secara konotatif nuansa artinya berbeda. Keluyuran menyiratkan makna negatif, sedangkan malala menyiratkan ‘pergi tanpa tujuan dengan niat menjelajah’. Secara fonologis, kata malala lebih enak didengar, dan karena itu lebih puitis.

Pergi merantau dalam budaya Minang juga telah menjadi tradisi yang mengakar. Rumah makan Minang atau Padang tersebar hampir di semua kota di Indonesia. Kelakarnya, ketika Neil Armstrong mendarat di bulan tahun 1969, yang pertama dijumpai di sana adalah Restoran Minang. Perhatikan pula nasihat: belajarlah ke tempua. Ini mengingatkan kita pada novel Burung-burung Manyar, karya Y. B. Mangunwijaya (1929-1999). Pasangan burung manyar adalah pasangan setia, pasangan seumur hidup. Burung ini juga burung pekerja keras yang tangguh. Lihatlah sarangnya. Sarang burung manyar menyarankan keamanan, kenyamanan, dan kehangatan.

Jadi, apakah yang tersirat dari Malala? Ada dua hal penting: nilai lokal yang diproyeksikan menjadi nilai universal, dan semangat menjelajah yang menjadi tema utama risalah puisi ini. Tokoh Buyung dalam buku puisi ini adalah penjelajah yang cuek, pemberani, selalu ingin tahu, dan tak mau berhenti. Tokoh Buyung adalah representasi Indra Intisa sebagai penyair, yang terus mencoba menggubah puisi-puisi baru—dalam bentuk dan isi. Buku puisi ini dibuka dengan:

Buyung pergi sejak daun masih muda 
kuncup bunga mau semerbak
sisa embun belum habis dijilat hari 
akan menetes ke tangkai
berjalan di antara dahan dan ranting 
menguatkan akar. belum.

Petualangan dimulai pada usia dini, ketika daun masih muda. Kemudian berjalan di antara dahan dan ranting / menguatkan akar. Tujuan mengembara tak lain adalah menguatkan diri sendiri, mengukuhkan identitas sebagai penyair.

Dalam catatan dewan juri dinyatakan, sebagai puisi perjalanan Malala mengingatkan kita pada wiracarita Odysseia karya Homeros, yang diduga ditulis pada abad ke-8 sebelum Masehi. Dalam sastra Indonesia kita ingat puisi naratif, antara lain, Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG (1951-1999) dan Blues untuk Bonny karya W. S. Rendra (1935-2009). Pengakuan Pariyem adalah prosa liris, yang dapat dinikmati tanpa mengerutkan dahi. Blues untuk Bonny kisah khutbah gereja yang berubah menjadi orgy yang ganas—para jemaat berubah jadi buas, dan berakhir dengan memangsa bapa pendeta yang lembut dan tampan.

Dalam konteks ini Malala berbeda. Antologi ini berisi hanya satu puisi super-panjang, sepanjang 102 halaman, dan terbagi menjadi 12 bab. Petualangan Buyung, sang tokoh, melintasi ruang dan waktu. Ini petualangan surealistis, mirip film seri Time Tunnel, yang populer pada dasawarsa 1980an. Ia berjumpa dengan orang-orang biasa, dan juga dengan tokoh-tokoh hebat (yang telah meninggal maupun yang masih hidup) di ranah sains, agama (Islam), dan sastra.

Bab 1, halaman 4-31, adalah bab yang paling panjang. Buyung yang masih ingusan meninggalkan rumah untuk keluyuran. Ia menuju pasar, yang dilukiskan sebagai tempat yang hingar-bingar. Surealisme muncul ketika Buyung bertemu dengan tiga tokoh musik: Louis Armstrong, Kurt Cobain, dan B. B. King. Perjumpaan ini berawal dengan burung berceloteh / di kabel listrik / bagai senar gitar bergetar membawa irama / rock, jazz, dan blues. Ketiga musisi itu berebut mencari perhatian Buyung, dan berakhir dengan Buyung ditarik oleh tiga legenda / bagai lomba tarik tambang. Buyung adalah tokoh utama yang diperebutkan.

Gerak dinamis antara puitika lokal dan universal nampak pada selang-seling bentuk pantun (tanpa sampiran, dan selalu dicetak miring) yang banyak muncul di antara puisi bebas yang amat panjang.

pasar sedang bersenda gurau
di langit beterbangan burung bangau
tak sudi hinggap barang sebentar
menengok pasar sekedar menawar

Meninggalkan keruwetan perdagangan di pasar, Buyung menuju rumah sakit, yang ternyata tak kalah centang-perenang. Potret muram ini boleh ditebak sebagai refleksi kegelisahan puitis si tokoh. Sesampai di rumah sakit, bisa diduga, ia berjumpa dengan Ibnu Sina (980-1037). Filosof muslim abad ke-10 ini terkenal dengan karyanya di bidang kedokteran Al-Qānūn fi al-Tibb, atau Undang-undang Ilmu Kedokteran. Potret muram di rumah sakit terbaca pada larik-larik berikut: di sebuah dinding / Ibnu Sina menangis / ilmunya tiba-tiba terbelah /  terburai, berdarah-darah. Dalam sajak kusam, rumah sakit digambarkan sebagai ‘rumah yang sakit’.

Bab 2 sampai dengan Bab 11 menghadirkan “puisi sains ala Indra Intisa”, yang saya rujuk (pada judul esai) sebagai “Big Bang dan Sajadah Terbang”. Dalam wacana ilmiah Barat yang sekuler, teori big bang atau ledakan besar dijelaskan sepenuhnya secara empirik, dengan argumentasi logis yang merujuk pada hukum-hukum astrofisika, rumus kimia, berbagai temuan astronomi, dan kaidah kosmologi. Apakah ilmuwan Barat merujuk pada ayat-ayat al-Kitab (atau kitab suci agama lain) untuk menjelaskan big bang? Jawabannya: tidak.

Mungkin Albert Einstein (1879-1953) adalah satu-satunya ilmuwan yang sering dikutip pendapatnya: Sicence without religion is blind. Religion without science is lame. (Sains tanpa agama buta. Agama tanpa sains lumpuh.) Yang tak disadari pengutipnya: agama menurut Einstein adalah cosmic religion, bukan revealed religion, atau agama kesadaran-semesta, bukan agama wahyu. Agama kesadaran-semesta muncul pada ilmuwan yang mempelajari alam (termasuk manusia), memahami betapa rumitnya hukum-hukum alam, dan kemudian merasa kagum dan takzim. Yang sempat dipahami dan diurai oleh manusia hanya sepotong kecil dari wujud alam semesta. Bagi Einstein, Tuhan bukan Wujud Personal, yang mengganjar dan menghukum. Ia adalah Kesadaran Spiritual-Intelektual terhadap keagungan kosmos, yang menggetarkan pribadi ilmuwan sehingga ia menjadi makhluk yang bermoral.

Manusia religius adalah manusia yang tahu diri: di depan kosmos tak terhingga ia hanya makhluk kecil yang daif. Tentu, religiositas ala Einstein ini senada dan senafas dengan lā haula wa lā quwwatu illā billāh dalam Islam, yang berarti ‘tiada daya dan tiada kekuatan kecuali (seizin) Allah’. Maka sains yang bertebaran di bab-bab puisi panjang Malala adalah sains yang berpadu apik dengan ayat-ayat al-Qur’an. Bab 7 diawali dengan kutipan terjemahan surah al-Anbiyā’ ayat 30, dan disusul dengan bait-bait berikut:

“kun fayakun!” perintah-Nya. 
dan kita ada. kita semesta.

“ini big bang!” seru Fred Hoyle 
1949. suaranya mengalun. 
mereka angguk-angguk 
seantero dunia gelegar
mengikuti irama Georges Lemaître.

Einstein tertawa mengikat relativitas.
“kita terus mengembang!”

Ujung surah Yasin ayat 82, kun fayakun! (yang muncul pada sajak ‘big bang’ di akhir bagian /1/) muncul lagi di Malala Bab 7.Jelas sekali Indra Intisa menggabungkan religi dan sains dalam satu tarikan napas puitika. Dalam tiga bait di atas muncul tiga nama ilmuwan masyhur: Fred Hoyle (1915-2001), Georges Lemaître (1894-1966), dan Albert Einstein (1879-1953). Einstein, fisikawan tersohor pengembang teori relativitas, telah dibahas secara singkat sebelumnya. Yang layak dipertanyakan, baris pertama dari bait kedua: “ini big bag!”seru Fred Hoyle. Kenapa? Karena Hoyle, astronom Inggris, menolak teori big bang, dan lebih mempercayai hipotesis steady state sebagai titik awal perluasan jagad raya. Seperti Einstein, Lemaître adalah fisikawan Belgia, yang dihurmati sebagai bapak teori big bang. Di sini, pelajaran apa yang bisa kita petik? Ketika puitika memasuki wilayah sains, presisi ilmiah perlu dijaga. Karena puitika mirip gema; yang layak dikumandangkan adalah gema suara ilmiah yang benar.

Sepanjang Bab 2 sampai Bab 11, nama-nama ilmuwan dan tokoh (tokoh baik maupun jahat) dalam al-Qur’an, Hadits, atau sejarah Islam muncul silih berganti. Bahkan di Bab 1 telah muncul nama Bahlul & Harun al-Rasyid, Umar bin Khatab, Jalaluddin Rumi, dan Ibnu Sina (yang terakhir ini telah disinggung sepintas di atas). Di Bab 2 si Buyung bertemu dengan Firaun dan jejak kehadiran Nabi Musa, termaruk tongkatnya yang dahsyat. Kejutannya, Firaun dipandang serupa dengan Darwin—maksudnya, Charles Darwin (1809-1882), bapak teori evolusi itu.

..........  
manusia berasal dari monyet. 
pada dasarnya mereka pencuri.”
“hanya untuk Darwin.”
 “Darwin juga Firaun.”

Atas dasar apa mengatakan “Darwin juga Firaun”? Teori Evolusi Darwin memang antitesis bagi Teori Kreasi dalam al-Kitab dan al-Qur’an. Namun, apakah sanggahan intelektual terhadap doktrin agama sama buruknya dengan sanggahan teologis si raja kafir? Ini pertanyaan yang perlu direnungkan.

Tokoh lain yang muncul adalah Isaac Newton (1642-1727). Si Buyung hadir di sini, dan diajak berekreasi oleh Einstein:

Einstein mengajaknya menunggangi waktu 
mengelilingi bumi 
mengitari matahari 
Newton bersedih di kejauhan 
ia kehilangan gravitasi 
yang dilompati Einstain

Ada tiga hal penting dalam potongan sajak ini. Teori heliosentris Nicolaus Copernicus (1473-1543) benar, bahwa matahari mengelilingi bumi. Newton adalah penemu teori gravitasi. Dan fisika Einstain dipandang telah melompat lebih jauh dari fisika Newton.

Apa yang dapat disarikan? Untuk mengapresiasi pusi sains ini, pembaca perlu memiliki latar belakang pengetahuan yang memadai tentang fisika. Kita tentu ingat inti apresiasi sastra: enjoyment and understanding, menikmati dan memahami. Kenikmatan membaca karya sastra, termasuk puisi, bisa terjadi jika ada pemahaman. Tanpa pemahaman yang cukup, pembaca akan kebingungan: apa ya maksudnya ini?

Di Bab 9 nama Nabi Musa muncul lagi, disertai kehadiran Dajjal baru: titah Dajjal tumbuh menjadi antena / di kepala orang-orang / memberi sinyal kepada pembangkang.

Ini larik-larik yang indah. Titah Dajjal, puncak tokoh jahat di akhir zaman menurut teologi Islam, tumbuh sebagai antena di kepala orang ateis atau agnostik. Antena ini memberi sinyal kepada pembangkang—siapa pun dia, yang berpotensi bertindak amoral.

Masih banyak nama ilmuwan lain bertebaran dalam puisi panjang Malala. Saya ingin mengakhiri bagian /2/ ini dengan menyebut dua nama sohor yang sangat berpengaruh di dunia teknologi komputer dan komunikasi saat ini: Bill Gates dan Mark Zuckerberg.

“kalian hanya perlu jendela. 
bagai ilmu yang terus menyala!”
Bill Gates menenteng OS Windows 
mulut terus nyerocos.
....................
“kita adalah zombi 
yang saling benci.”

Dajjal tersenyum sambil berayun.

Ada sikap ambigu pada diri penyair. Nama Bill Gates dikutip karena dikagumi. Operating System Windows adalah jendela / bagai ilmu yang terus menyala! Tapi pada saat yang sama pemilik Microsoft itu ‘dituduh’ sebagai pembawa degradasi moral, sehingga manusia modern tak lebih dari zombi yang saling membenci. Maka tokoh kejahatan pun merasa senang: Dajjal tersenyum sambil berayun.

“Metaverse!” seru Mark Zuckerberg
ia mengajak orang berbondong-bondong 
jadi berondong saling gonggong 
menyongsong abad surga.

“kau jadi tuhan di sana!”

Sikap ambigu penyair juga ditujukan kepada Marck Zuckerberg, pencipta Facebook yang terpilih sebagai Person of the Year versi majalah Time tahun 2021. Seperti Gates yang menyesatkan manusia jadi zombi, Zuckerberg membuat manusia jadi berondong (yang) saling menggonggong. Mereka adalah segerombolan ‘anjing’ lapar, yang menyongsong abad surga. Yang mengejutkan adalah bait satu baris berikutnya: “kau jadi tuhan di sana”. Kata tuhan dengan t huruf kecil berarti: manusia jadi maha kuasa. Inilah dunia sekuler, karena, seperti dikatakan oleh filosof Jerman Friedrich Nietzche (1844-1900) “God is dead”. Dalam wacana filsafat, sastra, dan keilmuan di Barat, Tuhan telah mati. Suara atau gema firman-Nya telah tergusur habis; dan hidup ini sepenuhnya ada dalam genggaman tangan manusia.

/3/

Seperti akhir sebuah esai, Bab 12 bisa dibaca sebagai kesimpulan yang mengakhiri puisi panjang Malala. Setelah keluyuran ala Time Tunnel yang surealistis dan berhasil meneropong dunia bing bang dari sajadah terbang, Buyung kembali ke rumah sastra. Ia merenung resah atas apa yang telah ia saksikan di layar kehidupan sains.

ia melihat sisa-sisa
masa lalu berkabut.
bangkai-bangkai pikiran
mengapung bersama angan.

Dalam kegundahannya, ia dengar seruan: “mari belajar sastra!” ajak mereka. Kemudian yang dirujuk adalah baris yang akrab bagi kita: “aku ingin mencintaimu dengan sederhana!” Dilanjutkan dengan: (begitulah) joged mereka / anak-anak muda belajar bercinta.

gelak tawa membahana.
Gibran tumbuh dari tubuh Sapardi
memeluk erat mereka.
“ini puisiku,” bisiknya.
teks-teks betebaran di udara
menjadi debu.

koran-koran yang lapuk
berubah menjadi portal elektronik.
puisi-puisi berenang bagai ikan
di lautan internet.

“ini zaman modern.
abad yang berlari!”

Di abad yang berlari, abad digital, nama-nama penyair besar masa lalu tetap dikenang, dihurmati, dan dikutip dengan khidmat pada teks Malala: Sapardi Djoko Damono (1940-1920 ), Gibran Khalil Gibran (1883-1931), Pablo Neruda (1904-1973), Octavio Paz (1914-1998 ), dan Homeros (abad 8 SM).

Dunia persajakan masa kini, saya rujuk (pada judul pengantar) sebagai “Puisi Senja Hari”. Menurut kacamata Malala, ini bukan senja yang tenang dan teduh, tapi ujung hari yang kisruh: di sinilah sejarah berdarah / sajak-sajak berlagak dalam pikiran / penyair sibuk berdendang di panggung / mereka membantai satu sama lain / “siapa paling betul?” / upin ipin? betul, betul, betul?

pergi sana pergi sini
cicip ikan urut leher
rasa diri paling pemuisi
buku lapuk buat pamer

Kemudian dihadirkan: Remy Sylado terkekeh / puisi diletakkan di telapak kakinya / “inikah dewa yang kalian sembah?” ejeknya.

Kutipan-kutipan dari Malala di atas terasa begitu telanjang. Tak memerlukan penjelasan. Juga tak menimbulkan multi-interpretablity, atau multitafsir, yang lazim muncul pada puisi dengan makna dalam sehingga ambigu. Maka kelanjutannya bisa dicermati sendiri oleh pembaca. Tahun 1977 Yudhistira A.N.M. Massardi menerbitkan antologi puisi Sajak Sikat Gigi, yang diremehkan oleh Abdul Hadi W.M. dan Sutardji Calzoum Bachri. Serupa dengan itu, panggung pentas puisi mantra Sutardji juga dikritik oleh Afrizal Malna, “ah kuno!” Di ujungnya, Joko Pinurbo tertegun / memutar ember: berayun-ayun / tak lupa memasang celana. Begitulah akhir Malala, akhir kisah keluyuran sastrawi, yang ditutup dengan dua bait kecil.

Buyung melompat dari zaman ke zaman.
puisi keluar dari pikiran.
lahir dari AI dan coding-coding modern.

“ibu-bapaknya telah mati?” heran Buyung.
ke mana para penyair?
atau tak guna?”

Merasa capek dan agak mengantuk, Buyung melihat lantai ruang tamu rumah sastra. Ada yang berserakan. Sajadah terbang itu ia lipat. Foto-foto dari dunia big bang dan catatan tentang senjakala puisi Indonesia ia masukkan ke dalam laci ingatan. Kapan saja para pembaca bisa membuka laci itu, untuk ikut menikmati petualangan Buyung dan mengapresiasi keluyuran puitis penyair Indra Intisa.

Catatan:

*) Tulisan ini adalah pengantar dalam buku Malala, 2023.

Effendi Kadarisman
Latest posts by Effendi Kadarisman (see all)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *