Oleh: Abdul Kadir Ibrahim, Sastrawan, Kadis Kominfo Tanjungpinang
Pembuka Kisah
SEINGAT saya—sudah jauh bejalan, sudah lama juga menghirup udara, sudah banyak pula yang dilihat dan ditemui—belum ada lagi terdengar ketika seseorang bertemu dengan seseorang yang sebelumnya pernah kenal lama, dan kemudian berpisah lama juga, dan tanpa sengaja berjumpa—bukan harta kekayaan, kemewahan, kedudukan, jabatan ataupun isteri yang ditanyakan, melainkan yang ditanya pertama adalah “Apa kabar?” Selepas itu, terjadi obrolan ringan, dan akhirnya bertanya sampai pada pertanyaan yang sangat istimewa, “Sudah berapa anak kamu atau Anda sekarang?” Dan selanjutnya saling menyebutkan jumlah anak, jenis kelamin anak, lalu berapa yang masih bersekolah dan sebagainya. Pokoknya, berbual tentang anak adalah hal yang paling menarik dan menyentuh kedekatan antara dua teman atau sahabat yang lama terpisah kemudian bersua lagi.
Anak adalah titipan, dan amanah dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tak sedikit sepasang manusia sudah menikah secara sah menurut agama dan negara, dengan dirayakan secara meriah ataupun hanya dalam syukuran keluarga yang sangat sederhana, tetapi setelah melewati hari, bulan, dan tahun sehingga bertahun-tahun tak jua dikaruniai anak. Tak cukup sampai di situ, ada yang sudah menyentuh angka sepuluh tahun pernikahan sekalipun, barulah dikarunia anak. Ada yang paling “berasa di hati” kesedihan dan entah apalagi— sehingga sampai tua—tetap juga tidak memperoleh anak. Inilah yang tak sedikit juga kita temui di tengah masyarakat, dari sejak menikah sehingga satu di antara kedua suami isteri, tiba saatnya dipanggil Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam, atau mati. Tidak adakah kita bertemu dengan sepasang suami isteri semacam itu?! Pasti. Pasti! Karena itu, bagi kita yang mempunyai anak, maka bersyukurlah dengan sebaik-baiknya, dan jangan sekali-kali diabadikan sebagaimana layaknya suatu benda atau barang.
Indra Intisa—seorang penyair yang punya nama dalam kepenyairan dari tanah Sumatera—menyampaikan hajatnya meminta saya membuat sederet goresan berkenaan dengan bukunya ini, yang pada intinya adalah kesyukuran, kebanggaan, kebahagiaan dan harapan terhadap anaknya. Sehingga, dari waktu ke waktu dalam perjalanan usia, dan tingkahlaku si anak semasa balita, direkam sedemikian rupa dan diabadikan dalam untaian- untaian kata-kata “ajaib” indah dan menyentuh qalbu bagi sesiapa membacanya. Seolah-olah ketika membaca buku ini, seperti membaca—dan bahkan lebih dari itu, sedemikian membuncahkan ingatan dan perasaan tentang masa setiap kita dengan anak-anak sewaktu masih kecil dulunya—apa yang kita alami sendiri dengan buah hati kita sejak balita sehingga kanak-kanak dan seterusnya.
Ketika membaca selengkap tulisan dari “permata hati” Indra Intisa saya agak beberapa hari merenungkan diri. Saya berpikir keras. Bahkan ketika sudah saya baca, dan sewaktu Indra menanyakan melalui whatsApp, saya mengatakan sudah melihat sepintas lalu. Padahal saya sudah membacanya dengan seksama dan sehingga khatam, bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali. Saya beberapa kali pula menarik nafas, dalam, dalam sekali. Lalu menghelanya. Itu terjadi, bukan kerana saya tidak berkenan dengan tulisan Indra Intisa yang sedemikian “membunga” dengan “buah hati” atau “permata hati”, melainkan saya pernah mengalami ‘ujian dari Allah’ sehingga dalam kecemasan dan ketakutan yang tiada terkira,berkaitan dengan zuriat atau keturuan ini. Saya benar-benar hilang kepercayaan diri, dan semangat untuk mempunyai anak, ketika saya dan isteri belum dikaruniai anak.
Bung Indra Intisa—maaf sedikit berkisah, tentang saya dengan buah hati atau permata hati ini—yang sampai mati baru terlupakan. Ceritanya, beberapa bulan setelah saya dengan isteri menikah di Sumatra dan kemudian saya bersama isteri tinggal di sebuah pulau di Laut Cina Selatan, yakni di Pulau Midai, Kepulauan Riau sebagai abdi negara di sana. Masih sebagai pengantin baru. Kami “berbulan madu” di pulau yang terpencil dan terisolir dari hiruk-pikuk kota dan betapa jauh dengan kota. Berada di laut lepas. Debur ombak di pantai dan desau angin menyambar daun kelapa menjadi “nyanyian” pangasuh tidur. Apalagi musim utara.
Dan suatu hari—setelah hampir setahun kami di pulau itu—ketika saya pulang dari tempat kerja, isteri saya menyampaikan bahwa dia sudah periksa kandungan ke bidan di puskesmas kecamatan, dan positif hamil. Sungguh kabar itu sangat menggembirakan saya dengan isteri. Kami berdua minta kepada Allah, Tuhan Yang Menjadikan Segala Makhluk, agar calon bayi kami diberi keberkahan dan keselamatan. Baik-baik saja, sehat wal’afiat di dalam kandungan. Tentu untuk mengurangi resiko hal-hal yang tidak baik terhadap kandungan isteri saya, maka segala aktivitasnya, dikurangi. Betapa saya dengan isteri hati- hatinya agar anak kami dalam kandungan isteri saya itu dapat terlindungi dan tidak ditimpa “sesuatu” dengan isteriku.
Dan, hari itu saya ke tempat kerja. Di sekolah untuk mengajar. Belum begitu lama, tiba-tiba ada yang datang memberi tahu, bahwa isteri saya di rumah sedang sakit perut. Saya berbegas pulang. Dan, dengan berurai air mata, isrti saya mengatakan, bahwa dia sudah mengalami keguguran. Akhirnya saya menjemput bidan. Cabang bayi yang sudah berusia lebih tiga bulan itu, akhirnya dikebumikan di samping rumah di mana tempat kami tinggal. Isteri saya berobat dengan bidan puskesmas dan urut bidan kampung yang bersertifikat. Tahun keempat pernikahan kami, isteri saya hamil lagi dan kami pindah ke Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Dan singkat kisah, saya dan isteri ke Riau, dan kemudian isteri tinggal bersama orangtuanya di sana. Saya kembali ke Tanjungpinang. Ya, Allah, belum sebulan berada di Tanjungpinang, sudah mendapat kabar dari isteri melalui telepon, bahwa dia mengalami keguguran lagi. Usia kandungannya ketika itu sama juga seperti di Midai sebelumnya. Dan, mendengar kabar itu, saya sempat lebih dua hari tidak balik ke rumah. Saya “mengembara” di seputar kota Tanjungpinang dan singgah numpang tidur rumah saudara atau teman. Dalam pikiran saya hanya satu: “Aku dan isteri tidak akan mendapatkan anak lagi!”
Singkat kisah isteri pulang. Kami berobat dengan dokter ahli kandungan. Setiap minggu kami berkonsultasi, sehingga hampir setahun. Dan alhamdulillah, pada tahun kelima pernikahan kami, dikarunia anak perempuan, lalu tahun kedelapan dikaruniai anak lelaki, dan pada tahun kesebelas saya dan isteri dikarunia lagi anak perempuan, yang ini sebagai si si bungsu. Alhamdulillah, ketiganya menjadi anak-anak yang menyenangkan dan membangggakan saya dan isteri. Ketiga anak-anak saya itu saya abadikan dalam beberapa puisi, pada beberapa kumpulan puisi yang sudah terbit ataupun belum.
Abak Lebih Indah dari Apapun
“Zizi adalah tokoh utama di dalam puisi. Sebagai balita, Zizi mempunyai sifat yang polos, lugu dan lucu. Terkadang ketidaktahuannya tentang banyak hal bisa berubah menjadi sebuah sentilan. Lahir tanggal 27 September 2014.” Begitu Indra Intisa memulai “kisah” putrinya sebagai permata hati di dalam untaian indah kata-kata puisi. Saya, ingin mengatakan dengan jujur, bahwa saya “iri” dengan apa yang dilakukan Indra Intisa terhadap putrinyayang dia “kitabkan” dalam untaian puisi. Kenapa “iri”? karena saya hanya menulis puisi tentang anak-anak saya hanya dalam beberapa puisi dan tidak dalam sebuah buku yang “khatam”. Tetapi inilah yang terbukti, ini yang hadir di tengah kepenyairan kita, suatu kumpulan puisi yang “merekam” segala jejak-langkah kemolekan dan kelucuan bayi dan balita Zizi. Batapa, bahasa “bunga” dipakaikan oleh Indra, sebagaimana dapat dipahami dan dinikmati dalam puisi “Kau yang Lahir”.
Puisi di atas, bila dibaca lengkap maka pahamlah kita bagaimana kesyukuran, kebahagiaan dan harapan sang orangtua kepada anaknya. Sekaligus juga sang ayah mengingatkan kepada anaknya bahwa hidup ini bukan seperti “memetik buah anggur dari tangkainya yang sudah tergeletak di dalam ceper”, tetapi penuh tantangan, ujian, dan bahkan kehinaan. Namun semuanya itu bila dengan akal-budi yang tertata dan teruji, niscayalah akan dengan sabar dan memang dihadapi.
Masa yang paling tidak terlupakan bagi seorang ibu-ayah kepada anaknya, ketika mulai hendak membalikkan badan, merangkak dan seterusnya. Paling seru lagi ketika dia mulai bicara, semuanya yang dikatakannya menjadi indah, lucu, dan menyenangkan. Mendengar segala cakap atau ucapannya—seperti kembiraan bagi kedua orangtua melampaui puncak gunung tertinggi di dunia. Pada intinya sedemikian dilukiskan, dan sebenarnya tidak mudah untuk dituliskan. Bagaimana tidak, kata-kata yang lazim disebut oleh orang dewasa atau seusia anak-anak, tetapi oleh balita seutuhnya tidak tepat. Misalnya menyebut kata “kakak” menjadi “tatak”, dsb., yang dapat kita lihat dalam puisi yang berjudul “Belajar Berbicara”. Dan inilah nikmat, rahmat, karunia yang tiada terkira dari Tuhan, Allah SWT., untuk sepasang manusia yang dikarunia anak-anak, yang sekaligus dapat kita merasakan bagaimana rasanya “pedih” hati bagi pasangan yang tidak dikaruniai anak kandung. Anak lebih indah dan berfaedah dari apapun jua.
Belajar Berbicara Mobil jadi mobim Motor jadi motom Gatal jadi gatam Kucing jadi kucim Anjing jadi anjim Pulang jadi pulam Makan jadi makam
Karena anak lebih indah dan berfaedah dari apapun juga, maka sejak dari kandungan, balita, kanak-kanak, remaja hingga memasuki dewasa mesti “dinena-bobo” dengan kasih- sayang dalam takaran tuntunan agama Allah. Bila tidak demikian, maka sulit bagi sepasang manusia akan mendapatkan anak yang berbakti kepada kedua orangtua, dan malahansebaliknya jadi anak yang durhaka. Pembiasaan dalam kiat “nena-bobok” yang molek itulah anak-anak tahu diri, mengenai jatidiri, berbudi pekerti terhadap Tuhan, Allah SWT., yang mencptakannya dan kepada ayah-bundanya. Dia akan menjadi anak yang direstui segala doa di bumi dan di langit, sehingga dia menjadi anak shaleh, yang memberi kebahagiaan kepada ayah-bundanya dunia akhirat. Tentang ini, antara lain dapat dimaknai dari puisi “Sebelum Tidur”, yang sedemikian padu-padat hubugan batin antara ayah dan anaknya.
Sebelum Tidur Sebelum tidur, kecup dulu cita-citamu, Nak! Di jidat biar manis. Di pipi, di lesung pipit yang berlubang itu. Jangan lupa mimpikan bambu yang menjulang. Mimpikan kelapa yang lebat. Dan simpan urat-uratmu dengan kokoh. Kelak di pagi hari jangan lagi cari ayah. Ayah telah hidup dalam mimpimu. Menyimpan sekotak emas di sana. Di sini. 2016
Pemungkas
Banyak hal yang bisa diungkit dan diungkap dari puisi ayah kepada “buah hati” sebagaimana yang dilakukan Indra Intisa ini. Tapi karena terbatasnya halaman, maka saya cukup demikian sebagai Pemungkas tulisan ini. Hal yang ingin saya tegaskan, bahwa tulisan saya: mutar-mutar, berpilin-pilin, bahkan mungkin kusut-masai, tanggang-langgang, bolak- balik, yang saya mohon maklum dan maaf. Sebab, saya menulisnya tidak berdasarkan teori apapun, melainkan apa yang menjadi “buah pikiran” saya semata—saya tidak punya keahlian yang memadai tentang kajian sastra—itulah yang saya tulis. Semoga saja Indra Intisa tidak kecewa, dan dapat memakluminya, dan berharap kepada sesiapa pun pembaca buku puisi yang alangkah patut untuk dibaca dan dipetik keistimewaannya ini.
Indra Intisa benar. Dia telah menulis dalam sejumlah puisi bagi buah hatinya, yakni “Surat dari Masa Depan: Buat Zizi dam Ziyo”. Benar sekali. Dia berharap kepada anaknya bukan berpikir sebagaimana yang dipikirkan pada zamannya (kini), tetapi bagaimana memikirkan masa depan. Masa depan tersebut, bukan Indra Intisa dan isterinya yang mengalaminya lagi, tetapi buah hatinya yang sudah menjadi dewasa dan selanjutnya tua. Entah bagaimana tantangan dan tuntutan zaman, mereka “sekeras” apapun mesti dengan sukses menghadapi, melalui dan menakluknya. Indra Itntisa telah membiasakan kebaikan dan kemuliaan kepada anaknya, yang dapadatkan dalam puisi berikut, sungguh dahsyat!
Surat dari Masa Depan : Buat Zizi dan Ziyo suatu hari nanti kau kan temui jalan berliku jangan ragu ada mataku yang manyala membakar dada suatu hari nanti ada jalan tanpa pembatas jangan cemas mulutku berkicau di antara langit dan cuaca suatu hari nanti jalan-jalan menjadi dendang jangan lancang simpan telingaku yang tuli biar kau tak peduli suatu hari nanti melati di sepanjang jalan jangan hiraukan hidungmu masih mentah mencium tanah basah suatu hari nanti jalan mulus kan berbatu jangan tunggu tubuhmu hanyut oleh takut biarkan menjadi surut suatu hari nanti kau temui jalan-jalan mati janganterhenti ambil kenangan di matamu dari aku yang telah tiada 2018
Demikianlah. Niscaya banyak kekurangan daripada kelebihannya. Boleh juga tidak patut. Tapi, inilah yang saya punya pendapat sebagaimana yang keluar dari “tabung lurus” pribadi sebagai orang yang tidak pernah mendapat secara resmi pendidikan di fakultas sastra. Secara belajar dengan alam, dan alam itulah yang mebuat saya menjadi tahu diri, tahu diuntung, dan bersukur kepada Allah. Sebagaimana pesan orang tua-tua masa lampau, yang saya menyebutnya “Suluh Hati”, misalnya: “Melihat anak orang lain jadi sukses/ Awak sendiri yang ikut bahagia”. Sebaliknya: “Melihat anak sendiri berhasil dalam hidupnya/ Melihat anak orang lain ikut mendoakannya sukses”. Pada ntinya manusia mati meninggalkan nama.
Pada akhirnya, saya mohon maaf, dan semoga tulisan “rampai-rampai” ini dapatlah sedikit memenuhi apa yang
menjadi harapan sang Ayahanda, Indra Intisa. Sekian dan terimakasih. Syabas! Tahniah!
Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 2 Agustus 2020/ 12 Zulhijjah 1441 H.
- Buah Hati, Menanam Budi: SuperZizi Mata Bulan Sabit - 23 November 2023