Tangisan Sungai, Sumpah Plastik: Membaca Safri Naldi lewat Ekokritik dan Marxisme

Tangisan Sungai, Sumpah Plastik: Membaca Safri Naldi lewat Ekokritik dan Marxisme

Di tepi sebuah sungai, seorang manusia melahirkan plastik. Dari kantongnya keluar kulit sabun, popok, dan kisah-kisah usang. “Ia akan larut sendiri,” katanya, seperti orang bijak yang baru selesai bersabda. Tapi sungai tidak menyerap sabda. Ia hanya menelan, menangis, dan mendiam. Puisi “Sungai dan Kelahiran Kedua” karya Safri Naldi seolah ingin membawa kita menyaksikan kelahiran dan kematian sekaligus kelahiran limbah, kematian sungai.

Sungai dan Kelahiran Kedua

Seseorang
melahirkan plastik
dari tepi sungai

Dari kantongnya
keluar kulit-kulit sabun
popok
dan kisah-kisah yang sudah tak dibutuhkan lagi

“Ia akan larut sendiri,” katanya
sambil menutup mata
dan menceburkan benih-benih plastik
dengan tangan yang masih basah oleh sabda

Sungai pun menelan
sambil menangis
tangisan yang hanya dimengerti
oleh ikan-ikan mati

Lalu kota-kota beraroma menyengat
busuk
seperti perut yang dipaksa menelan
kotorannya sendiri

Dan mereka yang paling lantang
mengutuk air
tak pernah mencuci mulutnya sendiri

Kemudian
sungai berhenti bicara
dan yang tertinggal hanya satu peringatan

“Maaf, aku sudah tak bisa menerima mayat.”

Bandung, 2025

Puisi “Sungai dan Kelahiran Kedua” membuka dirinya dengan sebuah adegan ganjil sekaligus kuat secara simbolik: “Seseorang melahirkan plastik dari tepi sungai.” Dalam baris pembuka ini, Safri Naldi tidak sedang mendeskripsikan sampah biasa, tetapi sedang mengritik lahirnya dunia baru: sebuah “kelahiran kedua” yang bukan organik, melainkan buatan, lahir dari peradaban industri dan kapitalisme. Plastik menjadi simbol utama dari segala sesuatu yang tidak bisa diurai, secara biologis maupun sosial.

Sebagaimana Sapardi Djoko Damono yang menyihir pembaca lewat puisi-puisi imajis dan lirisnya yang tampak sederhana namun penuh kedalaman makna, seperti “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana” yang menyimpan ironi keintiman dalam keterbatasan bahasa—puisi Safri juga menampilkan kesederhanaan yang menipu. Puisi ini berbicara dengan bahasa sederhana, tapi menyimpan lapisan makna yang menggugah. Kita seolah membaca puisi ekologi. Tapi ini lebih dari sekadar jeritan alam. Ini adalah kesaksian tentang hipokrisi manusia modern, yang membungkus perusakan dengan moralitas, membungkus dosa dengan sabda. Dalam puisi ini, sungai tidak hanya tercemar oleh plastik, tetapi juga oleh ideologi yang busuk.

Safri Naldi, penyair yang tumbuh dari komunitas maya sejak 2014 dan ikut membesarkan puisi pola tuang Putika bersama Indra Intisa, dikenal dengan perpaduan antara eksperimentasi bentuk dan kedalaman tema. Ia tidak menulis untuk bermain-main. Meski sering dikenal juga dengan tulisan-tulisan humor-horor yang khas, dalam puisi ini ia tampil serius, nyaris profetik. Ia menulis bukan untuk memotret, tetapi untuk menyayat dan memperingatkan.

Perhatikan bait ini:

“Ia akan larut sendiri,” katanya
sambil menutup mata
dan menceburkan benih-benih plastik
dengan tangan yang masih basah oleh sabda

Kalimat “Ia akan larut sendiri” adalah bentuk rasionalisasi yang sangat khas dalam perilaku ekologis manusia modern. Kita tahu bahwa plastik tidak mudah larut, tetapi kita berpura-pura sebaliknya. Inilah yang disebut Jean Baudrillard sebagai simulakra: kita menciptakan realitas palsu yang kita percayai sebagai kebenaran. Menutup mata adalah penolakan sadar terhadap konsekuensi. Sedangkan tangan yang masih “basah oleh sabda” menunjukkan ironi tajam: perusakan dilakukan oleh tangan yang baru saja mengucapkan moralitas atau doa. Di sinilah terlihat bagaimana agama dan moral bisa diselewengkan sebagai legitimasi kerusakan.

Dalam perspektif ekokritik, seperti yang dikembangkan oleh Lawrence Buell dan Cheryll Glotfelty, puisi ini mengandung peringatan bahwa alam bukanlah objek netral yang bisa terus kita eksploitasi. Sungai dalam puisi ini menangis, namun “hanya dimengerti oleh ikan-ikan mati.” Tangisan yang tak terdengar manusia ini menggambarkan dominasi epistemik: manusia hanya mengerti kesedihan jika ia bisa mengukurnya dalam ukuran bahasa, statistik, atau kerugian ekonomi. Alam menangis dengan bahasa lain. Bahasa yang perlahan mulai membusukkan kota.

Lalu datang baris ini:

Dan mereka yang paling lantang
mengutuk air
tak pernah mencuci mulutnya sendiri

Ini bukan sekadar satire. Ini tuduhan langsung pada lapisan masyarakat yang merasa suci, merasa berhak mengutuk “pencemaran” sambil menjadi bagian darinya. Dalam kacamata Marxis, khususnya melalui konsep false consciousness, mereka tak sadar bahwa mereka adalah bagian dari mesin yang menghasilkan pencemaran itu sendiri. Mereka mencaci krisis, tetapi hidup dari keuntungan krisis. Mereka berseru tentang moralitas, sambil tak membersihkan busuk dalam dirinya.

Dan akhirnya, puisi ini mencapai klimaks penuh amarah dan penolakan:

“Maaf, aku sudah tak bisa menerima mayat.”

Di sinilah suara alam berubah dari pasif menjadi aktif. Sungai, simbol purba kehidupan dan pemurnian, kini mengangkat suara. Ia tak lagi ingin menjadi kuburan. Ini semacam pernyataan alam bahwa ia sudah cukup sabar. Kini ia menolak menjadi wadah limbah, baik limbah industri maupun limbah ideologi. Penolakan ini adalah akhir sekaligus peringatan. Kita telah membuat sungai kehilangan fungsinya dan ketika itu terjadi, kita kehilangan kemungkinan untuk disucikan.


Puisi ini menunjukkan bahwa perusakan bukan hanya peristiwa ekologis, tetapi juga moral dan struktural. Dengan struktur puitik yang padat, diksi yang ekonomis namun tajam, serta kritik ideologis yang tersirat, Safri Naldi membuktikan bahwa puisi bisa menjadi alat gugatan sekaligus medium renungan. Sebagaimana Sapardi menjadikan puisi sebagai alat pengendapan makna, Safri menjadikannya alat perlawanan terhadap kemunafikan ekologis zaman ini.

Dan jika sungai tak lagi bisa menerima mayat, barangkali satu-satunya tempat pembuangan terakhir adalah hati nurani kita sendiri.

Referensi Puisi: Safri Naldi . “Sungai dan Kelahiran Kedua.” Ompiompi, 2025, https://ompiom pi.com/sungai-dan-kelahiran-kedua/

Indra Intisa
Ikuti saya
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *