Dan Dunia Berubah
Cerita sebelumnya: Pemilihan Kepala Desa – Episode 02
Hari penghitungan suara. Yuzet dan Ompi ngendon di pos ronda. Udara malam dingin, tapi tangan Yuzet basah keringat.
“Gue kalah, gue pasti kalah,” gumam Yuzet sambil mengunyah keripik.
Ompi cuma makan santai. “Tenang. Kalo kalah, bilang aja: ini semua bagian dari rencana besar. Misi spiritual. Tapi gue yakin, kamu pasti menang.”
“Kok bisa seyakin itu, Pi?”
“Lah iya, ya.”
“Hei?” Yuzet melotot seperti burung hantu yang tidak pernah tidur malam. Ompi cuma cekikikan. Untung saja tidak dituduh kuntilanak.
Beberapa menit kemudian, ketua panitia pemilihan datang sambil membawa tumpukan kertas. “Pemenang pemilihan… Yuzet! 73% suara!”
Yuzet terdiam. Seperti mimpi. Ompi malah nelan keripik sambil batuk-batuk.
“Sumpah, Pi… ini… serius?”
“Serius,” kata Ompi, “Masyarakat itu butuh hiburan.”

Malam itu, warga berbondong-bondong ke rumah Yuzet, nuntut kucing gratis. Yuzet bersembunyi di belakang pintu. “Pi… kucing, gue kagak punya!”
Ompi santai saja. “Gampang. Kita kasih balon bentuk kucing. Kucing digital. Ramah lingkungan. Gue udah siapin balonnya. Kamu bantu ngebentuknya.”
Beberapa waktu kemudian, “Bapak Ibu. Yuzet punya ide yang visioner. Kucingnya kami kasih dalam bentuk digital. Nanti Bapak ibu bisa download dari rumah, gimana?”
Warga bisik-bisik, dan mulai heboh. Salah satu emak-emak teriak, “Kami kagak ngerti cara download. Jangankan download, internet aja masih kelelepan.”
“Nah, Yuzet sudah mengantisipasi hal ini,” kibul Ompi penuh percaya diri. “Demi warga, kami sudah menyiapkan balon bentuk kucing. Silakan ambil satu-satu. Untuk sementara, kami kasih beberapa dulu. Selebihnya menyusul.”
Ompi, sok-sokan jadi juru bicara resmi, merasa yakin warga bakal nerima.
Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari kerumunan.
“Loh, bukannya kucing beneran?” teriak Mang Yadi, tokoh kampung yang kalau ngomong selalu bikin kuping gatal.
Warga mulai ricuh lagi. Yuzet keringatan. Ompi melirik sekilas, lalu dengan gercep ngeluarin ide baru.
“Begini…,” kata Ompi, nadanya berubah formal. “Kucing beneran itu kan repot. Mesti makan. Mesti dikuburin kalau mati. Kalau ini, kucing balon! Bebas pajak, bebas ribet. Dan…,” Ompi sengaja tarik napas dramatis,
“Kalau Bapak Ibu mau, kucing balon ini bisa dipelihara cukup dengan… senyuman.”
Warga bengong.
“Kalo nggak senyum, kucingnya ilang?” celetuk Pak Haji.
“Iya, Pak. Inilah inovasi terbaru abad ini: kucing berbasis keikhlasan!” sahut Ompi mantap.
Suasana mendadak cair. Beberapa orang mulai tertawa. Anak-anak kecil teriak, “Aku mau kucing ketawa!” sambil rebutan balon.
Mang Yadi mendecak, tapi akhirnya ambil satu balon juga sambil ngomel,
“Dasar dunia ini udah kebanyakan gaya.”
Dan malam itu, warga pulang sambil nenteng balon bentuk kucing. Ada yang bawa di kepala, ada yang dikalungin ke leher, ada yang ditarik-tarik sambil pura-pura diajak jalan.
Mereka tertawa sepanjang jalan, sebagian sambil bergumam dalam hati,
“Mungkin… ini perubahan yang kita butuhkan.”
TAMAT.
- Lima Sajak Tentang Rumah, Waktu, dan Kenangan yang Pelan-Pelan Menjauh - 9 Agustus 2025
- Tangisan Sungai, Sumpah Plastik: Membaca Safri Naldi lewat Ekokritik dan Marxisme - 20 Mei 2025
- Kesunyian Literasi - 15 Mei 2025