Pagi itu terasa hangat. Inaya mengerjapkan mata saat sinar mentari menembus tirai tipis kamarnya, membuatnya menyipit dan menutupi wajah dengan tangan. Perlahan ia bangkit dari ranjang, membiarkan semilir angin pagi menyapu kulitnya dengan lembut. Dari kejauhan, kicau burung berpadu dengan gemerisik dedaunan, seakan alam tengah menyambutnya memasuki hari baru. Dengan langkah pelan, ia mendekati jendela lalu menyingkap tirai, dan seketika senyum merekah di wajahnya. Halaman rumah tampak bagai taman penuh warna, dihiasi bunga-bunga segar yang berkilau oleh embun pagi. Inaya menghirup dalam-dalam aroma itu, dadanya terasa lapang, seolah setiap kelopak yang bermekaran menyapanya hangat.
Langkahnya kemudian membawanya keluar. Telapak kakinya menyentuh dinginnya lantai teras yang masih basah oleh sisa embun. Ia berjongkok, lalu mulai membersihkan pot-pot bunga, mengusap daun-daun yang masih dipenuhi butir air semalam. Suasana pagi itu begitu tenang, seakan dunia sengaja melambat untuk memberinya waktu menikmati kedamaian kecil yang sederhana.
Saat sedang asyik merapikan tanaman, mata Inaya menangkap sosok Zaida, kakaknya, yang keluar dari rumah dengan sebuah ransel besar di punggung. Ia berhenti sejenak, memperhatikan dengan rasa penasaran.
“Kak, mau ke mana?” tanyanya penuh ragu
Mendengar pertanyaan sang adik, Zaida menoleh seraya tersenyum tipis,
“Ada tugas kuliah. Kami akan eksplorasi ke Taman Nasional Gunung Leuser.”
Mendengar itu, hati Inaya langsung bergejolak. Matanya berbinar, rasa kagum bercampur dengan kegembiraan yang sulit disembunyikan. Taman Nasional Gunung Leuser, terkenal dengan kekayaan flora dan faunanya yang sangat beragam, termasuk spesies langka, Ia membayangkan ribuan tanaman yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Bolehkah aku ikut, Kak?” tanyanya dengan nada ragu, namun jelas terdengar
antusias.
Zaida terdiam sejenak, menatap adiknya lekat-lekat. Ada keraguan yang berputar di kepalanya, tapi juga rasa sayang yang besar. Ia tahu betul bagaimana Inaya selalu tertarik pada tanaman. Setiap kali melihat bunga baru mekar, Inaya bisa bersemangat bercerita. Kecintaannya pada tanaman seolah sudah menjadi bagian dari dirinya, sesuatu yang tak pernah pudar seiring waktu. Karena itulah, Zaida sulit menolak. Ia tahu, jika dilarang ikut, adiknya pasti akan sangat sedih.
Zaida menghela nafas panjang seraya berkata, “Baiklah kamu boleh ikut” ujar sang kakak yang jeda beberapa waktu, lalu berkata,“Tapi, gak boleh lasak dan ikut peraturan kakak,”
“Siap, Kak! Aku janji!” seru Inaya penuh semangat, hampir seperti teriakan. Senyumnya lebar, matanya berbinar, dan tubuhnya tak bisa diam menahan kegembiraan. Tanpa menunggu lama, ia berlari masuk ke dalam rumah, langkahnya tergesa-gesa membuka laci dan lemari, mencari perlengkapan yang dibutuhkan, siap memulai petualangan barunya.
Tak lama kemudian, Zia, teman Zaida, datang dengan mobil yang sudah diparkir rapi di halaman.
Zaida menoleh ke Zia dan berkata singkat, “Adikku ikut ya.”
Zia tersenyum senang dan mengangguk mantap, Inaya hampir melompat kegirangan, matanya berbinar penuh suka cita, tubuhnya tak bisa diam menahan antusiasme. Begitu roda mobil mulai berputar, perjalanan menuju Taman Nasional Gunung Leuser, yang membentang di dua provinsi, Aceh dan Sumatra Utara, pun dipenuhi tawa hangat serta perbincangan ringan.
Sesampainya di tujuan, hutan menyambut mereka dengan udara lembab sejuk dan aroma tanah basah yang khas. Cahaya matahari menembus celah pepohonan, memperlihatkan berbagai macam tanaman yang tumbuh subur di sekitarnya.
Zaida melangkah di depan, sesekali berhenti mencatat tanaman yang ditemui, sementara Zia fokus dengan tugas kuliahnya, menandai lokasi dan membuat sketsa cepat. Berbeda dengan mereka, Inaya larut dalam keindahan hutan, matanya berkilau saat menemukan bunga liar, jemarinya menuliskan kesannya di buku kecil.
Mereka tertegun ketika melihat bunga bangkai raksasa terbuka lebar, Inaya menatapnya dengan mata berbinar, jantungnya berdegup cepat, Zaida memandang serius sekaligus takjub, dan Zia tersenyum kagum meski aroma tajam bunga itu menusuk hidung.
Mereka pun melanjutkan perjalanan, Zaida dan Zia tetap fokus mencatat setiap tumbuhan yang ditemui sambil memastikan jalur aman, berjalan beriringan tanpa menoleh ke belakang. Sementara itu, Inaya masih diliputi rasa kagum, matanya terpaku melihat macam-macam bunga, berjalan sambil menoleh ke sana-sini, dan tak sadar ia mulai tertinggal dengan kakaknya.
Terlalu asyik, Inaya akhirnya membuat kesalahan. Tangannya spontan meraih bunga berwarna ungu pekat yang tumbuh di pinggir jalan setapak. Ia memetiknya tanpa berpikir panjang, hanya karena keindahannya yang memikat. lalu menaruh bunga itu di kantong bajunya, tanpa ia sadari dia telah merusak tanaman itu. karena saat mengambilnya ia memijak tanaman itu.
Inaya baru menyadari bahwa ia tertinggal cukup jauh dari kakaknya. Dengan tergesa-gesa ia berlari mengejar, napasnya tersengal-sengal, namun langkahnya terhenti ketika kakinya tersandung akar pohon besar. Tubuhnya jatuh menghantam tanah, rasa perih menjalar di lututnya. Seketika Inaya berteriak keras, memanggil kakaknya dengan suara penuh panik dan rasa sakit. Suara tangisnya bergema di antara pepohonan.
Mendengar jeritan itu, Zaida dan Zia langsung berhenti, menoleh dengan wajah pucat panik, lalu tanpa pikir panjang berlari kembali ke arah Inaya. Begitu melihat lutut adiknya berdarah, Zaida segera membuka tas, mengeluarkan obat serta peralatan pertolongan pertama, lalu membersihkan luka itu dengan hati-hati. Setelah selesai membalutnya, ia menatap Inaya dengan sorot cemas.
“Sudah, kita pulang saja… jangan dilanjutkan,” ucap Zaida akhirnya, suaranya serak namun tegas.
Dengan hati-hati, mereka membantu Inaya berdiri. Gadis itu masih meringis, mereka berjalan pelan, langkah kaki berat menyusuri jalan setapak yang tadi mereka lalui. Suasana hutan yang awalnya terasa indah kini berubah udara terasa lebih dingin.
Di tengah perjalanan, mereka mendengar suara yang mengaum sangat dekat. Zaida, yang mendengar suara itu, sontak berteriak, “Lari! Lari yang kencang!”
Ketiganya meloncat dari jalan setapak dan berlari sekuat tenaga. Karena harus memapah Inaya yang masih meringis karena lututnya, mereka memutuskan untuk meninggalkan tas, agar langkah mereka lebih ringan dan bisa bergerak cepat. Keselamatan mereka kini jauh lebih penting daripada barang-barang itu.
Setelah auman itu tidak dengar lagi, mereka berhenti di antara pepohonan lebat, dengan tubuh lemas napas yang tersengal-sengal. Mereka melihat sebuah gubuk kecil. Seorang kakek tua duduk di depan gubuk itu, membelakangi mereka, tampak tenang di tengah kekacauan hutan.
“Maaf, kami tidak bermaksud mengganggu,” kata Zaida, suaranya bergetar.
Kakek itu mendongak, menatap mereka dengan tajam. “Tersesat?” ia bertanya, nada suaranya penuh selidik.
“Iya, Kek,” jawab Zaida, berusaha menenangkan diri. “Tadi kami tidak melihat jalur karena mendengar suara auman macan.”
Mendengar kata-kata Zaida, ekspresi kakek itu berubah. Kerutan di dahinya semakin dalam, dan matanya memancarkan kemarahan. Ia bangkit berdiri, tubuhnya yang tua tampak tegak dan penuh wibawa. Matanya menatap tajam ke arah Inaya, lalu berkata
“Aha do, napa do na so tuham tu tanaman i!”
(“Kenapa kamu merusak tanaman itu!”)
Inaya, Zaida, dan Zia terpaku, ketakutan, tak berani menjawab karena sama sekali tidak mengerti arti kata-kata itu. Hutan terasa sunyi, hanya terdengar napas mereka yang tercekat, sementara mata kakek tua itu terus menatap tajam.
Tiba-tiba, cahaya terang menyelimuti tubuh kakek itu. Tubuhnya membesar dan berubah drastis. Kulitnya menjadi bulu hitam legam, rahang menganga dengan taring mengilat, dan cakar panjang mencakar tanah. Sosoknya kini menjadi siluman macan hitam yang mengaum keras, mereka menyadari sedang menghadapi makhluk penjaga hutan yang legendaris itu.
“Cepat… lari ke sana!” teriak Zaida dengan sisa tenaganya.
Mereka terus berlari di antara pepohonan yang lebat, napas tersengal-sengal. Tak lama dari kejauhan, terlihat bangunan pos kayu sederhana, menandakan mereka sudah tiba di gerbang masuk hutan. Hati mereka sedikit lega, setidaknya sekarang ada orang yang bisa membantu. Dengan langkah tertatih, mereka mendekat, dan seorang pria paruh baya dengan wajah keras dan tatapan tajam segera keluar begitu mendengar keributan.
“Kalian kenapa?” suara pria paruh baya itu lantang, namun ada nada khawatir yang terselip. Ia segera mengambil botol air dari meja kayu di pos, membuka tutupnya, dan menyerahkan minum kepada mereka bertiga. Inaya meneguk perlahan, masih terengah-engah, sementara Zaida dan Zia ikut meneguk sedikit air untuk menenangkan diri.
Zaida menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menjelaskan bahwa tadi mereka melakukan eksplorasi hutan untuk tugas kuliah. Inaya tertinggal cukup jauh dan terjatuh, kemudian mereka mendengar suara auman yang mengerikan. Panik, mereka berlari sambil meninggalkan tas karena berat, berusaha memapah Inaya yang terluka, hingga tersesat di tengah hutan karena tidak melihat jalur. Akhirnya, mereka bertemu seorang kakek tua yang tampak marah dan berbicara menggunakan bahasa Batak yang sama sekali tidak mereka mengerti. Tiba-tiba, kakek itu berubah menjadi macan hitam yang menakutkan, dengan taring mengilat dan cakar panjang mencakar tanah. Ketiganya berhasil melarikan diri dan akhirnya sampai di pos ini, napas tersengal dan tubuh masih gemetar karena ketakutan.
Pak pos menatap mereka serius dan bertanya, “Apa yang sudah kalian lakukan?”
Inaya menunduk, lalu mengeluarkan bunga ungu dari kantongnya. “Tadi saya mengambil ini, Pak.
“Pantas saja,” jawab pak pos tegas, lalu menyuruh mereka mengembalikan bunga itu sebelum petang agar hutan tetap terjaga. Mereka pun diajak kembali ke hutan, ternyata beberapa tanaman memang rusak karena terpijak. Dengan hati-hati, mereka memperbaiki dan mengembalikan bunga itu ke tempatnya, sambil meminta maaf. Tas yang sempat mereka tinggalkan pun diambil, dan setelah semuanya beres, pak pos mengantar mereka pulang ke rumah dengan peringatan agar lebih menghormati alam di lain waktu.
Kelas Aksara Dalis, 30 Agustus 2025
- Rahasia Gunung Leuser - 29 September 2025