Gema yang Terkuak

Gema yang Terkuak

Tempat ini terlalu tenang untuk disebut damai, terlalu diam untuk disebut hidup. Desa itu bernama Lemah Wening, tersembunyi di balik perbukitan sunyi yang dipeluk kabut sejak mentari masih enggan menyapa. Jalur tanah melintasi hamparan sawah yang memudar-hijau, deretan pohon jati menjulang diam seolah enggan bersuara. Di pelataran rumah-rumah panggung, suara ayam dan kambing terdengar lirih, seolah mengerti bahwa ketenangan di tempat ini tak boleh diusik. Lemah Wening bukan sekadar desa, ia seperti ruang sunyi yang terlepas dari hiruk-pikuk waktu, mengikuti langkah lembut mereka yang tak terbiasa tergesa. Angin seakan membisu, sementara daun-daun jati perlahan gugur, menyiratkan pesan tak terucap.

     Bagi para sesepuh desa, suara paling mengguncang jiwa bukanlah gelegar petir atau auman serigala. Justru, kicauan dari arah barat, bersumber dari pohon ketapang tua yang telah lama berdiri.

 “Jika tiga kali suara burung itu terdengar, maka satu jiwa akan direnggut sebelum hamparan sawah berubah keemasan.” tutur Mbah Darmi, tetua perempuan paling sepuh di desa. Matanya mungkin tak berfungsi, tapi bisikan jiwanya dipercaya mampu menyingkap hal-hal yang tersembunyi di balik cakrawala.

        Bagi Galang, remaja desa berusia tujuh belas tahun, semua itu terdengar seperti dongeng muram yang kerap kali dikisahkan berulang kali. Ia lebih percaya pada sinyal radio dan berita yang mengalir lewat ponsel murahnya, alih-alih mempercayai mitos yang diwariskan secara lisan dalam senyap malam.

      Namun pagi itu berbeda. Burung itu berkicau—nyaring, tiga kali. Tak lama setelah itu, kabut turun lebih cepat dari biasanya. Seluruh desa mendadak diam. Galang berdiri di ambang rumah panggung kayunya. Suara itu masih menggema di telinganya. Ibunya keluar dengan wajah cemas dan mengusap pundaknya pelan.

“Kamu dengar?” bisik ibunya.

          Galang mengangguk, walau mulutnya enggan membenarkan.

       Malam itu, suasana lebih sunyi dari biasanya. Tak ada obrolan di pos ronda, tak ada senda gurau anak kecil. Yang terdengar hanya desir angin dan sesekali suara daun kering disapu ke tepi.

        Besoknya, berita duka datang. Pak Tamin, kepala dusun yang selama ini tampak kuat dan tak terkalahkan, ditemukan tak bernyawa di kolam belakang rumahnya. Tubuhnya kaku, tak ada luka, tak ada tanda-tanda perkelahian. Seperti orang tidur yang lupa bangun. Desa gempar. Tapi bagi para tetua, ini hanya penegasan dari apa yang sudah dijanjikan.

 “Itu bukan burung sembarangan, itu penjaga batas hidup,” gumam Mbah Darmi sambil meraba-raba lantai bambunya

          Galang tak bisa tidur malam itu. Matanya lekat menatap langit-langit kamar, pikirannya penuh pertanyaan. Ia ingat betul suara kicauan burung itu. Tak seperti biasanya. Ada semacam kesedihan. Anehnya, malam itu, burung itu kembali. Ia melihatnya bertengger di atap pos ronda. Burung gagak, hitam pekat, matanya seperti bara yang mengintip dari neraka. Kali ini hanya berkicau sekali. Lalu diam. Galang menatapnya. Burung itu pun menatap balik, seolah mengenalnya.

         Keesokan harinya, berita kedua datang. Pak Surya, penjaga sekolah desa, terjatuh dari tangga saat sedang memperbaiki genteng. Meninggal seketika. Galang mulai merasa janggal. Ia mulai memperhatikan pola yang tak disadari orang lain. Burung itu muncul malam hari, selalu menjelang kematian. Setiap kali muncul, jumlah kicauannya seperti menghitung mundur. Galang merasa gelisah, dan mulai memburu jawaban. Ia mendatangi Mbah Darmi.

 “Mbah, mengapa burung itu bisa tahu siapa yang akan mati?” Galang menatap ke arah burung gagak yang bertengger di lengan Mbah Darmi.

         Mbah Darmi terdiam lama. Hening menyelimuti mereka, hanya suara detik jam dinding dari ruang tengah yang terdengar.

 “Itu bukan tentang tahu atau tidak tahu, Galang. Itu tentang jiwa yang belum siap. Burung gagak itu bukan pembawa kematian. Ia hanya pembisik. Ia mengabarkan bahwa hidup akan meninggalkan seseorang,” Mbah Darmi mengusap pelan bulu-bulu gagak itu.

 “Kalau begitu, kenapa cuma orang-orang tertentu yang mati setelah ia muncul?” selidik Galang, sambil memperhatikan Mbah Darmi.

 “Karena hanya mereka yang jiwanya rapuh dan tak lagi punya pegangan. Gagak hanya datang kepada mereka yang sudah diam-diam ingin pergi.” desis Mbah Darmi pelan, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan, namun terlalu nyata untuk di sangkal.

        Malam berikutnya, Galang menanti dengan cemas. Ia duduk di serambi, diterangi sinar lampu yang samar. Benar saja, gagak itu hadir kembali. Bertengger di pagar bambu depan rumah. Tiga kali kicauannya terdengar nyaring, lambat, dan menggema. Kali ini ada yang berbeda. Gagak itu tak segera pergi. Ia tetap diam, menatap Galang lama, seakan menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar firasat. Tepat saat itu, Galang dikejutkan bunyi jatuh dari dalam rumah. Ibunya tergeletak tak sadarkan diri di dapur.

      Hari itu terasa panjang dan berat. Ibu Galang selamat. Hanya tekanan darahnya yang turun drastis. Namun yang lebih berat dari itu adalah kenyataan bahwa Galang mulai mengerti sesuatu: kali ini, suara gagak itu tak sedang menunjuk orang lain. Ia datang sebagai tanda untuk dirinya sendiri.

    Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Desa kembali diguncang kabar yang meresahkan. Anak-anak mulai jatuh sakit: demam tinggi, muntah, pusing, tubuh lemas seolah kehilangan tenaga. Dalam seminggu, beberapa warga menyusul Pak Tamin dan Pak Surya. Ketakutan menebal. Orang-orang berbisik bahwa gagak telah kembali menagih jiwa.

        Tapi Galang merasa ada sesuatu yang ganjil. Seperti ada benang halus yang tak pernah disentuh warga, karena terlalu sibuk mengaitkannya dengan mitos gagak. Ia mulai memperhatikan sumber air di dekat sawah yang biasa dipakai warga. Air itu berbau anyir, warnanya keruh kehijauan. Seperti ada sesuatu yang busuk, meski tidak terlihat mata.

        Dengan langkah gelisah, Galang membawa sampel air itu ke kota. Ia ditemani seorang guru muda yang baru ditempatkan di desa. Dari laboratorium kecil di puskesmas, jawaban terkuak: air mereka tercemar. Limbah pestisida dari ladang meresap, mengalir ke sungai bawah tanah, lalu masuk ke sumur-sumur yang dipakai sehari-hari. Bukan gagak yang merenggut jiwa. Racun itu yang perlahan-lahan menyusup, diam, tak tercium, menunggu tubuh manusia menyerah.

         Galang pulang dengan hati yang bergemuruh. Malam itu, di bawah cahaya bulan pucat, ia kembali melihat seekor gagak bertengger di pohon ketapang tua. Kicauannya hanya terdengar sekali, lalu sunyi. Tapi kali ini Galang mengerti: gagak bukanlah pertanda maut. Ia hanyalah gema dari rasa takut dalam hati manusia sendiri. Yang membunuh bukan mitos, melainkan kelalaian mereka menjaga air kehidupan.

        Esok harinya, Galang berdiri di hadapan warga. Untuk pertama kalinya, suaranya tidak bergetar meski puluhan mata menatapnya. Ia menunjukkan hasil uji air, menjelaskan tentang racun yang masuk perlahan, tentang bagaimana tanah dan sungai telah menelan racun dari tangan mereka sendiri. Warga terdiam, beberapa menunduk, sebagian lain meneteskan air mata.

      Dari serambi rumahnya, Mbah Darmi ikut mendengarkan. Perempuan tua itu mengangguk perlahan, lalu berbisik lirih, “Mungkin gagak memang bukan penjaga batas hidup. Ia hanya menyuarakan resah yang tak kita dengar.”

        Sejak hari itu, Lemah Wening mulai berbenah. Saluran irigasi dibersihkan. Sumur-sumur lama ditutup dan digali ulang. Para petani berhenti menumpahkan pestisida berlebihan. Burung gagak masih kadang terdengar, tapi suaranya tak lagi menyulut ketakutan. Ia menjadi penanda, pengingat, bahwa hidup bisa direnggut bukan oleh mitos, melainkan oleh kelalaian manusia sendiri.

      Mitos itu mungkin telah patah. Namun gema kebenaran akhirnya terkuak: yang merenggut jiwa bukanlah suara gagak, melainkan racun yang dibiarkan mengalir dalam air kehidupan.       

Kelas Aksara Dalis, 29 Agustus 2025

Lidya Anggraini
Latest posts by Lidya Anggraini (see all)
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *