Kesunyian Literasi

Kesunyian Literasi

Membaca adalah percakapan sunyi antara pikiran kita dan pikiran para pemikir besar.” — Terinspirasi dari pandangan Leo Tolstoy.

Membaca sejatinya adalah sebuah bentuk dialog batin antara diri kita dan para pemikir besar. Ia bukan hanya aktivitas teknis untuk menyerap informasi atau menambah pengetahuan semata, melainkan sebuah proses kontemplatif yang menyentuh ranah kesadaran. Membaca membuka ruang sunyi bagi kita untuk merenung, berdialog secara mendalam, dan memperkaya jiwa melalui gagasan, nilai, dan pertanyaan-pertanyaan yang ditinggalkan oleh para pemikir terdahulu. Maka, membaca seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai alat untuk mencapai tujuan praktis, tetapi juga sebagai jembatan spiritual dan intelektual yang membentuk watak dan cara kita memandang kehidupan.

Sayangnya, di zaman digital ini, melimpahnya informasi di internet justru membuat banyak orang menjadi malas membaca secara serius. Arus informasi yang berlebihan sering kali tidak diiringi dengan pendalaman, sehingga pesan-pesan yang diterima menjadi kabur, terpenggal, dan bahkan keabsahannya sering kali perlu diuji lebih lanjut. Bagi mereka yang kurang terbiasa memahami literasi, informasi sekilas bisa dengan mudah dipercaya tanpa ditelaah ulang. Kecepatan dan keluasan informasi memang mempermudah akses, tetapi di saat yang sama, bisa menghilangkan keheningan reflektif yang seharusnya hadir dalam proses membaca. Inilah yang disebut sebagai kesunyian literasi—bukan karena tidak ada bacaan, tetapi karena ruang batin untuk menyelami makna semakin terpinggirkan.

Masalah lain yang muncul adalah pandangan umum yang meremehkan nilai literasi yang dalam, terutama dalam kaitannya dengan dunia kerja. Banyak yang menganggap bahwa kemampuan berpikir reflektif dan wawasan mendalam tidak begitu relevan untuk mencapai kesuksesan profesional. Kenyataannya, tidak sedikit orang yang kurang melek literasi tapi berhasil secara karier, menjabat posisi tinggi, memiliki kekayaan, atau menjadi populer. Hal ini menciptakan kesan bahwa orang yang berilmu hanya berjalan di dunia sunyi yang terpisah, seolah mereka hidup dalam bayangan idealisme tanpa keterhubungan langsung dengan realitas praktis. Kecuali mereka menguasai cabang lain seperti komunikasi atau strategi sosial, jika tidak, suara mereka akan cenderung diabaikan. Bahkan ada pendapat sinis yang mengatakan, orang berilmu bila bukan siapa-siapa (bukan pejabat, bukan kaya, bukan tenar), maka semua ucapannya dianggap angin lalu; sebaliknya, jika seseorang punya kuasa atau nama besar, maka bahkan “kentutnya” bisa dianggap sebagai hikmah yang tinggi. Dunia ini kadang memang belum adil bagi kesunyian pikiran yang dalam. Tapi begitulah hidup.

Kita bisa melihat si jenius Tesla diabaikan, hidup miskin di hari tua, meskipun gagasan dan penemuannya menjadi fondasi bagi kemajuan teknologi modern. Salah satu penemuan terbesarnya—arus bolak-balik (AC)—telah merevolusi cara umat manusia memanfaatkan listrik, memungkinkan distribusi energi secara luas dan efisien ke seluruh penjuru dunia. Namun, meski sumbangsihnya luar biasa, Tesla justru tak dihargai sebagaimana mestinya di masa hidupnya. Ia adalah contoh nyata bagaimana kejernihan pikiran dan kecemerlangan ilmiah tidak selalu sejalan dengan pengakuan sosial atau kesejahteraan materi. Dunia lebih sering memuliakan keberhasilan yang tampak, bukan kedalaman yang tersembunyi. Dalam konteks ini, orang-orang yang memilih jalan sunyi—membaca, berpikir, dan mencipta dalam keheningan—sering kali dipinggirkan oleh gemerlap dunia yang sibuk berlari. Namun justru dari kesunyian itulah lahir percikan besar yang mengubah peradaban, meski tak selalu disambut oleh zaman tempat mereka hidup.

Indra Intisa
Ikuti saya
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *