Tragedi Kehidupan

Tragedi Kehidupan
Kampusku di Jakarta, tapi tidak di pusat kota. Biarpun tidak berada pusat kota, jalan utama di daerah kampusku ke bagian penyakit macet. Penyakit yang tidak mempan meski diberi antibiotik. Pembangunan yang membuat jalanan radang. Lalu, klakson kendaraan yang bunyinya seperti memaki satu dan lainnya membuat jantung jalanan berdetak cepat,  dan ditambah gerimis yang membuat jalanan pilek. Beginilah kondisi jalan utama di daerah kampusku.  Berlendir. Lengket. Dan ketika klakson saling memaki, keluarlah riak berwarna hijau di jalanan tersebut. 

“Ih,” ucapku sambil bergidik ngeri dan membuat cangkir kopi yang kupegang terlepas. Beruntungnya setelah jatuh meja aku sempat mengambilnya. “Alhamdulillah, untung tidak jatuh ke lantai,” ucapku lirih. Namun itu belum selesai, air Americano membasahi kemeja putihku, tempat di bagian dada. Tempat di mana satu-satunya kesunyian berada di sekitarku. Di sini, di rooftop berisik sekali, orang berbicara kencang dan tertawa terbahak-bahak. Aku ingin mereka diam.

“Gantian aku yang bicara dong! Bahkan berteriak-teriak seperti keadaan jalanan di bawahku,” pekikku dalam hati. Aku sudah bosan mendengar, sedangkan aku sendiri tidak pernah didengarkan. Setidaknya kalau aku tidak didengarkan, mereka tidak perlu banyak bicara. Karena itu, aku berpikir bagaimana agar mereka berhenti bicara kencang dan tertawa terbahak-bahak.

Kubakar esse sebatang, sembari minum kawa-kawa basian sore tadi yang kumasukkan ke dalam tupperware. Kemudian ada dorongan kuat dalam diriku, yang mendorongku hingga jatuh dari rooftop ini. Dalam keadaan masih melayang-layang, aku tersenyum ketika mengetahui rohku sudah lepas dari tubuhku, sebelum tubuhku jatuh ke aspal.

Terdengarlah suara gedebuk ketika tubuhku jatuh ke aspal.

Orang-orang yang berada di jalanan mulai mengerubungi mayatku. Mereka berbisik pelan-pelan, memfoto dan merekam mayatku, serta satu orang perwakilan menelepon ke kantor polisi setempat.

Sedangkan, mereka yang berada di rooftop mulai melongok. Mereka mulai berbisik-bisik pelan, memfoto dan merekam mayatku. Dan, beberapa menit kemudian mereka kembali tertawa. Mereka menertawakan kembali dunia ini, dan berarti mereka juga menertawai kematianku sebagai bagian dari tragedi kehidupan.
Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Latest posts by Muhammad Ridwan Tri Wibowo (see all)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *