Dewasa ini, nama Titan Sadewo menjadi salah satu penyair muda yang patut diperhatikan. Lahir pada tahun 1999, Titan tidak hanya dikenal sebagai penyair, tetapi juga sebagai guru Bahasa Indonesia dan pengajar creative writing untuk jenjang SD hingga SMA. Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media lokal dan nasional, serta mengantarkannya ke berbagai ajang sastra bergengsi, seperti Temu Penyair Nusantara (2018), Hari Puisi Indonesia (2019), Baca Puisi Pasaman (2019), hingga meraih penghargaan Cipta Puisi Distopia di Payakumbuh Poetry Festival (2023). Ia juga terpilih sebagai Emerging Writer di Balige Writers Festival (2023) dan peserta Peta Sastra Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara (2024).
Dengan sederet pengalaman dan prestasi tersebut, Titan terus menunjukkan produktivitasnya dalam menulis dan menerbitkan buku. Ia kerap berbagi pengalaman tentang dunia menulis dan pengajaran sastra di sekolah-sekolah. Kali ini, Redaksi Ompiompi.com berkesempatan berbincang dengan Titan Sadewo seputar buku terbarunya yang dijadwalkan terbit pada awal tahun 2025.
“Halo, selamat Malam Mas Titan. Kabarnya Anda sedang menggarap buku baru. Kami melihat ada beberapa promosi yang Anda sampaikan melalui IG dan Fb. Sepertinya menarik. Benar begitu?”
“Selamat gelap, Om Indra. betul, Om.”
“Apakah Anda merasa media sosial bisa menjadi medium yang efektif untuk membantu pembaca terhubung dengan pesan-pesan reflektif dalam puisi Anda?”
“… media sosial seperti wajan raksasa. Menjawab pertanyaan Anda: ya. Pada media sosial, citra dibangun, konteks bergerak, Om.”
“Berdasarkan beberapa bocoran yang Anda bagikan di media sosial, tampaknya tema kematian memang menjadi benang merah dalam buku ini. Apakah benar demikian? Saya juga melihat ada penggalan hadis yang Anda sertakan. Apakah itu memiliki kaitan khusus dengan pesan yang ingin Anda sampaikan?”
“… kematian adalah kepastian sekaligus ‘godaan’ untuk saya, Om. Saya membayangkan afterlife, … ah, ya, saya tumbuh besar (sewaktu SD) dengan komik Surga Neraka, Majalah Hidayah, Majalah Misteri … semuanya realisme magis untuk saya. saya membayangkan: bagaimana saya wafat nanti, dengan peristiwa apa & kapan. Oleh karena itu saya terus mengingat ‘mati’ (& agama saya menganjurkan saya untuk terus mengingat mati). Saya terpental-pental antara: pasti & godaan semacam itu. hadis jadi rujukan saya, hadis yang sangat ‘filmis’ (tusukan 300 pedang, misalnya), misalnya, membantu saya untuk membayangkan ‘cara mati’ tersebut.”
“Jadi, dapat dikatakan bahwa buku ini berfokus pada tema kematian dengan nuansa Islami, benar begitu? Apakah semua puisinya mengikuti tema tersebut, atau ada beberapa yang keluar dari bingkai itu?”
“… saya teringat sampul majalah hidayah: ular keluar dari mulut jenazah / jenazah bangun lagi dari kematiannya / lain-lain. Apakah itu islami? saya tak tahu. Tapi ‘peristiwa-peristiwa’ semacam itu sedikit-banyak tergambar dalam buku kedua saya ini. Yang sudah pasti, saya ngomongin kematian. Mulai dari simbol hewan-hewan sebagai penderitaan, kemarahan, putus asa, distopia, kehancuran & teman-temannya sampai ‘cara mati’ yang paling ‘tidak enak’ untuk dialami/dilihat/dibayangkan.”
“Biasanya, tema kematian sering diangkat oleh penyair yang sudah matang atau berada di usia senja. Namun, sebagai penyair muda dan bujang, pilihan ini terasa unik dan menarik. Apa yang sebenarnya memotivasi Anda untuk menulis tema ini, selain alasan yang sudah Anda ceritakan sebelumnya?”
“… hahaha. terlalu subjektif itu, Om. Semua orang memikirkan mati setiap detik. Entah dia masih muda atau sudah tua, menurut saya. Semua orang memikirkan dosanya, pahalanya … bahkan ketika Anda mewawancarai saya ini, saya sedang memikirkan kematian. Saya lupa, entah Camus atau siapa: ketika memasuki umur 27 tahun, manusia lebih intens memikirkan mati (ingat kutukan 27, kan?) beberapa hari lalu, umurku 25 tahun, berarti 2 tahun lagi saya intens mikirin mati, ah, saya rasa ndak, sejak dulu saya sudah memikirkannya. Alasan lain: mati adalah puncak dari segalanya, Om, bertemu dengan yang menciptakan saya, yang menciptakan Anda.
Saya ingat ending ‘Dan Kematian Makin Akrab’ Anda tahu siapa penyairnya, atau seluruh isi ‘Segalanya’ & saya pikir Anda juga tahu siapa yang menulisnya. Ya, Subagio & Sapardi.
… sejak dulu sampai hari ini, ‘kematian’ begitu mudahnya. Perang, misalnya … manusia membunuh manusia, begitu mudahnya nyawa lepas dari badan. Saya merinding melihatnya. Saya terganggu (alam bawah sadar saya kuat sekali, mimpi saya belakangan menjadi aneh karena terpapar darah & nanah dari mana-mana) dalam artian tertentu. antroposen? Hm … jika manusia sebagai pusat, mungkin ia memperkosa dunia, memperkosa ibunya sendiri.”
“Sebagai seorang guru dan penyair muda, bagaimana kedua peran ini memengaruhi pandangan Anda tentang kematian?”
“… sebagai guru, saya merasa harus belajar terus menerus: iqra … dengan belajar itu saya tahu di mana muaranya, di mana ujungnya. Untuk mempermudah saya ‘ngobrol’ dengan pencipta saya & memperkuat-menyebarkan sesuatu ke sesama. Hubungan dengan pencipta & manusia. Saya mau keduanya, saya mau terus belajar untuk keduanya. Kematian menjadi ‘titik’ untuk kedua hubungan tersebut.
Sebagai penyair muda, saya membaca banyak puisi tentang mati. Salah duanya sudah saya sebutkan. Orang macam Chairil & Subagio & Sapardi, memandangan kematian sangat berbeda. Apalagi orang macam Ahda & Acep & Afrizal, juga berbeda. Saya banyak terpapar oleh pandangan kematian dari orang-orang ini: Dali, Kahlo, Carrington, Ernst, Breton & lainnya. pandangan-pandangan itu yang saya olah, saya resapi & saya ‘kontekstualkan’ dengan diri saya.”
“Apakah ada tantangan tertentu dalam menulis tema yang begitu kompleks dan universal seperti kematian?”
“… pertama, saya menulis dengan automatic writing, alam bawah sadar mengendalikan saya. Semua puisi ditulis sekali jadi & saya memproduksi teks dalam karya saya (rujukan: blackout poetry, visual poetry, dll … saya mengolah teknik-teknik ini) untuk menjadi sesuatu yang lain, ya, makna bukan pusat dalam buku ini (juga dalam buku pertama saya). Kedua, saya hanya takut sekaligus gugup mengulang apa yang sudah dikerjakan oleh nama-nama yang sudah saya sebutkan. Karena itulah saya membaca mereka dengan pembacaan dekat & pembacaan lebar.”
“Jadi, selain rasa gugup yang Anda sebutkan sebelumnya, apakah ada tantangan khusus yang Anda hadapi saat menyusun puisi-puisi dalam buku ini? Lalu, dari semua puisi yang ada, adakah satu yang paling Anda banggakan? Jika iya, apa alasannya?”
“Tantangan khusus: apa yang jadi respon orang tua saya ketika membaca buku kedua ini. Hahaha. Serta respon pembaca. Tantangan sekaligus hadiah mungkin, ya. Tidak ada puisi yang saya banggakan, Om. Puisi-puisi saya seperti X-Men atau pokemon dengan keahliannya masing-masing. Saya tak ingin pilih kasih, nanti kasihan, pada nangis & cemberut. Hahaha.”
“Haha. Menurut Anda, bagaimana puisi dapat membantu pembaca menghadapi atau memahami kematian?”
“… pertanyaan yang praktis. Saya percaya: seni membuat Anda berhenti sebentar. Duduk dulu, tarik napas & renungkan. Anda pasti mendapatkan sesuatu, Anda mulai berpikir tentang apa yang dikatakan seniman, yang dikatakan penyair. Itu sudut pandang, itu cara kerja yang lain, itu semacam tawaran berpikir yang, alih-alih mengubah cara Anda berpikir, namun InsyaAllah dapat memperkaya Anda untuk memandang, dalam hal ini, ya, ‘kematian’. POV dari penyair seperti ular yang melingkari tubuh Anda, Anda tidak dililit, hanya dilingkari, Anda boleh melepasnya, bahkan Anda boleh tidak peduli. itu seni, itu puisi, bagi saya. Karena saya percaya bahwa Anda, sebagai pembaca, punya ular sendiri.”
“Sebagai seorang guru, apakah Anda merasa ada tanggung jawab untuk mendidik atau memberikan wawasan kepada pembaca muda tentang kematian melalui puisi Anda?”
“Tidak ada. Saya bukan ustaz. Saya bukan ingin ceramah. Hahaha. Saya ingin bercerita pada teman-teman saya, saya ingin membagikan sesuatu untuk dibicarakan bersama.”
“Bagaimana para siswa Anda merespons ketika mengetahui Anda menulis puisi bertema seperti ini? Atau mereka tidak dikasih tahu? Hehe.”
“Buku ini tidak direkomendasikan untuk para siswa. Kebetulan saya mengajar SMP. Ya, buku ini tidak cocok untuk mereka. Alasannya: … begitulah. Hahaha.”
“Berarti untuk 17+? Haha. Dalam dunia sastra saat ini, tema kematian sering kali dianggap “berat.” Bagaimana Anda membuatnya relevan untuk pembaca modern?”
“… mungkin saja, atau 21+, hahaha … berat atau tidak, soal kemampuan membaca, Om. Tapi buku saya tidak tebal kok, tidak seperti Dunia Sophie, nah itu baru buku berat. Coba saja timbang.”
“Berapa jumlah puisi yang terdapat dalam buku ini? Kapan rencana peluncurannya? Atau, pernah terpikirkan untuk menyertakan buku ini dalam sayembara penulisan, seperti yang diadakan DKJ pada tahun 2025, misalnya?”
“… ada 42 puisi. Peluncuran belum, terbit (mungkin) tanggal 20-an Januari 2025. DKJ? Oh, ndak. Sayembara lain juga ndak.”
“Sebagai penutup, apa harapan Anda terhadap buku ini dan dampaknya bagi para pembaca? Selain itu, bagaimana cara pandang Anda terhadap perkembangan puisi di masa depan, terutama dalam menghadapi tantangan zaman dan minat generasi muda?”
“… pertama, semoga pembaca dapat lebih kaya (cara) ‘membaca’ puisi. Kedua, semoga buku kedua ini dapat menemani Anda sekalian dalam keadaan apa pun. Masa depan? Duh, berat nian. Saya bukan peramal, Om. Tapi saya yakin: puisi tetap ditulis & dibaca, puisi adalah dunia yang menyenangkan sekaligus menawarkan hal-hal yang sifatnya ‘sakaratul maut’ … hehehe.”
“Terakhir, bolehkah Anda membocorkan beberapa penggalan puisi dari buku ini? Mungkin ada kutipan yang menurut Anda paling mewakili isi atau pesan utama yang ingin disampaikan?”
“Ini nukilannya …”
“Terima kasih banyak atas waktu dan cerita yang telah Anda bagikan. Diskusi ini benar-benar membuka wawasan tentang proses kreatif dan makna di balik buku puisi Anda. Kami sangat menantikan peluncuran buku ini dan berharap karya Anda dapat memberikan inspirasi mendalam bagi para pembaca. Semoga sukses untuk proyek ini dan karya-karya Anda selanjutnya! Salam BABI. Eh …”
- Titan Sadewo: Menulis Kematian, Menghidupkan Puisi - 14 Desember 2024
- Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-79 - 6 Agustus 2024
- Sastrawan dan Penulis Payakumbuh Tolak Masuknya “Satu Pena” ke Payakumbuh - 14 Juli 2024