Tinjauan Psikologis atas Puisi “Adegan Film yang Belum Pernah Kau Tonton” Karya Titan Sadewo

Tinjauan Psikologis atas Puisi “Adegan Film yang Belum Pernah Kau Tonton” Karya Titan Sadewo

Titan Sadewo (1999) adalah penyair, guru bahasa Indonesia, dan pengajar creative writing (SD-SMA). Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Ia pernah diundang ke beberapa festival sastra seperti Temu Penyair Nusantara (2018), Hari Puisi Indonesia (2019), dan Baca Puisi Pasaman (2019). Titan juga terpilih sebagai pemenang Cipta Puisi Distopia Payakumbuh Poetry Festival (2023), Emerging Writers Balige Writers Festival (2023), serta peserta Peta Sastra Kebangsaan Komunitas Salihara (2024). Puisi “Adegan Film yang Belum Pernah Kau Tonton” merupakan salah satu karyanya yang mendapatkan penghargaan dalam Sayembara Puisi Payakumbuh Poetry Festival (PPF) 2023.

Adegan Film yang Belum Pernah Kau Tonton
(Titan Sadewo)

I.

ini makan malam kita: nasi penuh belatung, kepala rangkong goreng & jus liur komodo.
hujan di luar menggonggong tak henti, kau membuka kulkas & mengeluarkan nanah beku. “jangan lupakan yang ini,” mulutmu bergerak. aku telah duduk, tapi bokongku terasa perih. meja ini seperti kebun binatang paling kotor. kau juga telah duduk, meraih sendok-garpu & meletakkannya di atas piring. “ini untukmu” mulutmu bergerak lagi.
petir memanggil-manggil nama musuhnya. aku mengambil sedikit nasi penuh belatung & kepala rangkong yang masih hangat. mata elangmu mengitari wajahku. “mengapa kau tak ikut makan?” mulutku gantian bergerak. kau tersenyum & kejanggalan mendarat di kepalaku.

II.

telepon berdering seperti lintah menggelepar. “akan kubawa sore ini juga,” suara lelaki (mirip suara hiena yang jelek) itu masuk ke telinga perempuan itu. “jangan ingkar, sebab malam ini dia pulang…” suara perempuan itu menusuk (mirip suara burung paruh sepatu yang mengganggu) ke telinga lelaki itu. lelaki & perempuan pada bagian ini paham—apa itu cinta & dendam namun mereka telah sepakat: jangan mengamininya.
sebelum lelaki itu menelepon, kita akan melihat: sebuah hutan penuh tanda tanya, sebatang pohon agak raksasa & seekor rangkong jantan bertengger tenang di atasnya. ketika kita pindah fokus & agak memperdiki maka kita sama-sama tahu: sepasang mata elang lelaki itu fokus membidik leher rangkong jantan & telunjuk lelaki itu segera menarik pelatuk. kita sama mengerti apa yang terjadi selanjutnya pada bagian ini.

III.

“mengapa kau tak menjawab pertanyaanku? kalau begitu, aku juga tak makan…” mulutku melanjutkan kalimat yang terpotong karena senyumanmu yang janggal. “makanlah, aku sudah makan sebelum kau pulang,” sementara angin di luar seperti tak sudah-sudah mengaum. & nanah beku itu telah meleleh di hadapan kita umpama air mata busuk yang kau berikan untukku. juga masih menggelijat belatung-belatung ini di piringku, juga masih mengeluarkan asap kepala rangkong ini di piringku. tapi kau hanya menatapku & mulut jam seakan dijahit, tak kedengaran karena hujan di luar menggonggong tak henti. “simpan saja jus liur komodo itu di dalam kulkas, daripada tak diminum & kurang segar lagi…” semakin kesal mulutku mengucapkan kalimat itu. lalu tangan kau mengambil botolnya & beranjak dari kursi, tepat ketika ketukan pintu terdengar.

IV.

perjanjian perempuan & lelaki itu jelas:
setelah semuanya selesai, mereka berdua tak akan ke mana-mana. tetap di situ, namun tak memakai sehelai benang pun & jangan mengucapkan huruf vokal maupun huruf konsonan.

V.

aku ingin membuka pintu, tapi kau buru-buru mengatakan “jangan, biar aku saja” suara kakimu, hujan di luar menggonggong & kata hatiku yang hitam “siapa yang bertamu di malam yang brengsek & kelam ini…” ketika suara gagang pintu sampai di telingaku, ketika kau menatap lelaki itu (kalian berbicara sejenak, tapi aku lupa kalimat apa yang kau ucapkan padanya) & sepasang mata elang lelaki itu fokus membidik leherku & telunjuk lelaki itu segera menekan pelatuk. kita benar-benar mengerti apa yang terjadi selanjutnya pada bagian ini.
ini makan malam kalian: nasi penuh belatung, kepala seorang suami & jus darah manusia.

Medan, 2023

Menurut juri, puisi yang masuk lima besar ini dipilih berdasarkan empat kriteria utama: orisinalitas, relevansi tematik, daya ungkap puitik, dan kedalaman gagasan. Pada tahun 2023, PPF mengangkat tema Distopia yang diikuti oleh 450 penyair. Dalam puisi ini, Titan menghadirkan sebuah narasi yang gelap, absurdis, serta penuh ketegangan, menjadikannya salah satu karya yang berhasil mewujudkan tema distopia secara kuat.

Secara gaya, puisi Titan Sadewo sekilas mengingatkan kita pada puisi-puisi Afrizal Malna yang sering kali berkarakter gelap, patah-patah, horor, serta menyerang psikologis pembaca. Afrizal Malna dikenal sebagai penyair yang membangun dunia puitik yang kacau, penuh fragmen, serta menghadirkan absurditas yang memicu perasaan tidak nyaman. Titan, dalam puisinya, juga menggunakan teknik serupa untuk menciptakan atmosfer keterasingan dan ketidakstabilan yang menghantui. Namun, Titan memiliki pendekatan yang lebih naratif dibandingkan Afrizal, di mana puisinya lebih menyerupai potongan adegan dalam film surealis dengan kesinambungan yang tetap dijaga dalam absurditasnya.

Dalam kajian psikologi sastra, teks sastra sering kali dipahami sebagai refleksi dari kondisi psikologis penciptanya atau sebagai alat untuk menyingkap aspek psikologis pembaca. Menurut Wellek dan Warren (1949), ada tiga pendekatan utama dalam psikologi sastra, yaitu menganalisis teks sebagai representasi kejiwaan pengarang, menelaah tokoh atau suasana dalam karya dengan perspektif psikologi, serta melihat bagaimana teks sastra memengaruhi psikologi pembaca. Jika kita menerapkan pendekatan ini pada puisi Titan Sadewo, maka puisi ini dapat dilihat sebagai manifestasi dari kecemasan eksistensial, trauma, dan absurditas kehidupan. Imaji-imaji mengerikan seperti nasi penuh belatung, kepala rangkong goreng, dan jus liur komodo menciptakan efek psikologis yang kuat, seolah menggiring pembaca ke dalam dunia mimpi buruk yang menyerang ketidaksadaran mereka.

Dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud, karya sastra sering kali merupakan ekspresi dari ketidaksadaran. Dalam “Adegan Film yang Belum Pernah Kau Tonton”, ketidaksadaran ini tampak dalam bentuk representasi mimpi buruk dan simbol-simbol kematian. Atmosfer grotesk dalam puisi ini bisa dikaitkan dengan konsep uncanny (ketidaknyamanan yang familiar) dalam teori Freud. Sementara itu, teori eksistensialisme dari Jean-Paul Sartre dan Albert Camus juga relevan dalam menelaah puisi ini. Eksistensialisme menyoroti absurditas kehidupan dan kecemasan manusia dalam menghadapi realitas yang tidak bisa dikendalikan. Dalam puisi ini, tokoh “aku” seolah berada dalam situasi yang tidak dapat ia pahami sepenuhnya—makanan menjijikkan, atmosfer menyeramkan, dan ancaman kematian yang samar menciptakan pengalaman eksistensial yang menekan kesadarannya tentang absurditas kehidupan.

Psikologi teror dan distopia juga menjadi pendekatan yang sesuai dalam membaca puisi ini. Bruce F. Kawin dalam kajiannya tentang horor dan distopia menekankan bagaimana teks dapat memicu anxiety atau kecemasan mendalam pada pembaca. Dalam puisi Titan, kecemasan ini muncul melalui gambaran makanan menjijikkan dan suasana yang penuh ancaman, yang akhirnya mencapai puncaknya pada bagian terakhir ketika kepala seorang suami menjadi santapan. Ini memperlihatkan betapa Titan tidak sekadar menggunakan estetika kekacauan, tetapi juga menekankan aspek psikologis yang mendalam dalam membentuk ketakutan dan horor eksistensial.

Selain itu, puisi ini juga memberikan dampak psikologis terhadap pembaca. Dengan penggunaan imaji yang ekstrem dan tidak biasa, puisi ini membangun pengalaman afektif yang mengguncang emosi pembaca. Konsep “makanan menjijikkan” dan “suasana mencekam” dapat memicu disgust (rasa jijik) dan fear (ketakutan) yang merupakan bagian dari respon psikologis manusia terhadap ancaman yang tidak lazim. Titan menggunakan strategi ini untuk menciptakan keterlibatan emosional yang intens, membuat pembaca tidak sekadar memahami makna puisi, tetapi juga merasakannya secara langsung. Hal ini sejalan dengan konsep embodied cognition dalam psikologi sastra, di mana pengalaman membaca tidak hanya terjadi dalam ranah intelektual, tetapi juga melibatkan respon tubuh dan emosi.

Jika dibandingkan dengan penyair luar, puisi Titan Sadewo memiliki unsur yang mirip dengan Charles Simic dalam hal absurditas dan surealisme yang gelap. Simic sering kali menggunakan imaji yang menyeramkan dan mengguncang, yang berfungsi untuk membongkar absurditas eksistensi manusia. Selain itu, Titan juga memiliki kemiripan dengan Russell Edson dalam hal narasi yang terasa seperti mimpi buruk. Edson dikenal dengan puisi prosa yang surealis dan mengganggu, sering kali menghadirkan adegan-adegan yang tampak absurd tetapi menyimpan makna eksistensial yang dalam. Dalam “Adegan Film yang Belum Pernah Kau Tonton”, efek mimpi buruk ini hadir melalui imaji-imaji yang tidak biasa dan dialog yang menyerang psikologi pembaca.

Di sisi lain, pendekatan Titan dalam membangun dunia puitik yang kacau dan terasa tak masuk akal mengingatkan kita pada Daniil Kharms, seorang penulis avant-garde Rusia yang karyanya sering menampilkan absurditas ekstrem dan peristiwa-peristiwa tak terduga. Seperti Kharms, Titan menggunakan elemen-elemen ini untuk mempermainkan persepsi realitas, menciptakan sebuah dunia yang hampir seperti teater absurditas yang menguji logika dan persepsi pembaca. Terakhir, ada juga kesamaan dengan Paul Celan dalam penggunaan bahasa yang padat, penuh simbolisme, dan sering kali melibatkan kegelapan yang bersifat metaforis. Celan, yang puisinya banyak menggambarkan trauma dan absurditas eksistensi, memiliki kesan yang sama dengan puisi Titan dalam menciptakan ruang puitik yang penuh ketegangan.

Puisi “Adegan Film yang Belum Pernah Kau Tonton” adalah sebuah eksperimen puitik yang kuat dalam membangun atmosfer psikologis yang menghantui. Titan Sadewo berhasil menciptakan dunia yang menyeramkan, penuh absurditas, dan mengajak pembaca untuk merenungkan ketakutan-ketakutan bawah sadar mereka.

Dalam keseluruhan analisis ini, puisi Adegan Film yang Belum Pernah Kau Tonton karya Titan Sadewo memperlihatkan bagaimana sastra dapat menjadi medium eksplorasi psikologis yang mendalam. Dengan pendekatan psikoanalisis, eksistensialisme, dan psikologi teror, kita dapat memahami bahwa puisi ini tidak hanya menghadirkan ketegangan melalui absurditas dan horor, tetapi juga menggambarkan kegelisahan eksistensial yang mengakar pada ketidaksadaran manusia. Imaji-imaji grotesk yang digunakan Titan mampu mengguncang persepsi pembaca dan mengundang refleksi terhadap absurditas kehidupan serta ketakutan mendasar manusia terhadap ketidakpastian dan kehancuran. Dengan demikian, puisi ini tidak sekadar menjadi karya puitik yang estetis, tetapi juga sebuah pengalaman psikologis yang menyusup ke alam bawah sadar pembaca, menjadikannya contoh kuat bagaimana puisi dapat membentuk dan memengaruhi kondisi psikologis manusia.

Indra Intisa
Ikuti saya
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *