Judul : Tiang Garam Penulis : Royyan Julian Penerbit : Pelangi Sastra Tahun : Oktober, 2023 Tebal : vii + 198 halaman ISBN : 978-623-6937-61-7
Ilustrasi sampul novel Tiang Garam karya Royyan Julian akan mengingatkan kita pada komik Siksa Neraka, sebuah bacaan nostalgik sejuta umat karya M.B. Rahimsyah dan Ema Wardhana. Gambar perempuan berbaju merah berlatar nyala api yang disertai dua sosok gelap barangkali memang akan membuat kita membayangkan visi azab neraka. Tetapi, novel ini tidak sedang mengisahkan penderitaan tersebut. Novel ini bukan menasikan kisah neraka eskatologis agama-agama Ibrahimi. Tiang Garam adalah kisah tentang perempuan yang disiksa neraka dunia.
Sosok perempuan yang terpotret pada sampul itu merupakan protagonis Tiang Garam: Kana, si anak sulung Zahri. Novel ini dibuka oleh sakaratul maut yang mendera Zahri. Lelaki itu tak kunjung mati meski telah diburdah berkali-kali. Burdah Al-Bushiri, tukas sang narator. Kembalinya Kana ke kampung halamannya, Kotasek, menjadi mukadimah konflik novel ini.
Persoalan yang berlatar lokalitas Madura ini terjadi ketika Kana mendapati tanah kuburan keluarga berpindah ke tangan seorang juragan tambak udang, Haji Badawi. Tanah sangkolan, warisan, yang diperdagangkan dengan sembrono dianggap akan mengundang mala. “Kana tidak mengerti, tetapi ia suka kata-kata neneknya. Ia baru memahami itu suatu saat nanti, ketika sudah menjadi remaja, ketika kakek-neneknya telah tiada. Dan ibunya melakukan hal-hal yang telah diceritakan neneknya ketika masih hidup: berdoa dan membakar dupa pada malam Jumat.”
Masyarakat Madura, pada novel ini digambarkan sebagai orang-orang yang percaya pada hal-hal yang tidak tampak, magis. Seperti Kana, teringat pada pesan neneknya: Bahwa dirinya setiap malam Jumat akan mengunjungi taneyan untuk menjenguk cucu-cucunya. Cemas akan pesan neneknya membuat Kana berhasrat merebut kembali tanah warisan yang telah beralih kepemilikan itu. Namun, negosiasi pertama Kana ditolak mentah-mentah oleh Haji Badawi yang berambisi menguasai seluruh tanah di Kotasek dan dapat memperluas usahanya, tambak udang.
Kegeraman Kana tidak cukup di situ saja. Karena merasa telah dipermalukan dan cemas atas bencana yang akan menimpa keluarganya, Kana mulai berpikir menghalalkan segala cara untuk merebut kembali tanah tersebut dengan bekerja sama dengan seorang bajing, bandit. Ia bersekongkol dengan pemuda bernama Lubet yang memiliki dendam kepada Haji Badawi. “Saya punya teman seorang bajing. Kita datangi kembali rumah Haji Badawi dengan mengajak teman saya itu. Kita ancam dia untuk mengembalikan tanah sampean,” tawar Lubet kepada Kana.
Dendam itu harus dituntaskan karena Haji Badawi telah menolak hubungan Lubet dengan Frida, putrinya. Alasan Haji Badawi menolak lamaran Lubet bukan tanpa alasan. Penolakan itu bukan karena Lubet anak orang miskin, melainkan karena pemuda itu merupakan anak haram hasil hubungan rahasia antara Miryam—ibu kandung Lubet—dengan Haji Badawi. Persetubuhan gelap itu digambarkan begitu liar dalam novel ini dan terjadi di gudang garam. “Mereka saling melucuti pakaian, saling meraba, mengecup, mencupang, mengulum, memasuki. Keduanya merintih dan mendesah. Lelaki itu meluapkan seluruh beban yang dipendam, sedangkan perempuan itu menikmati persetubuhan sambil membayangkan kedua orang tuanya berputar-putar mengelilingi Kakbah.” Jika Lubet dan Frida menikah, suami-istri tersebut menjadi pasangan inses yang dianggap tabu dan bakal mengundang bala bencana. Itulah mengapa Haji Badawi menolak dengan lugas dan keras asmara muda-mudi itu.
Ide-ide kapitalisme pun diusung Tiang Garam. Tipe karakter kapitalis menjelma tokoh Haji Badawi yang merupakan orang terkaya di Kotasek. Ia memiliki berbagai usaha, pemilik tambak udang terbesar di desa itu. Petani garam di sana dituntut menjual garam kepada Haji Badawi. Namun, bayaran yang diberikan kepada para petani garam tidak sesuai dengan jerih payah mereka—sebuah realisme sosial tentang kehancuran petani garam di Madura.
Ide-ide kapitalisme inilah yang ditolak Tiang Garam. Perlawanan terhadap kapitalisme terlihat ketika Lubet dan Kana berencana menghambat petani garam yang ingin menjual hasil taninya kepada Haji Badawi.“Sebentar lagi panen garam. Kita berlima—harus berlima—akan mendatangi rumah para petani garam. Kita cegah mereka menjual hasil panen kepada Haji Badawi. Kita akan menghubungi para pengepul dari luar untuk membeli garam- garam itu dengan harga layak. Lubet bisa menghubungi para tengkulak itu. Tenang saja. Pukara sudah mati. Sekarang ada Bibib di pihak kita. Dia pasti mau membantu kita. Reputasinya sudah melejit. Kita dapat memberi jaminan keamanan kepada para petani garam ….”
Perlawanan tokoh perempuan atas nama hak dan keadilan membuat novel ini juga mengusung spirit feminisme—kalau bukan ekofeminisme. Gerak Kana melawan cukong besar di Kotasek mendorong warga desa mengakui eksistensinya yang pada awalnya dieksklusi karena tak mampu menggenapi takdir seorang perempuan: berketurunan. Isu perempuan, properti, dan kapital yang bergolak dalam struktur tradisi Madura menjadi penting, bahkan bisa dikatakan pokok masalah novel ini.
Hal menarik dalam novel ini tidak hanya bagaimana pengarang mengangkat latar budaya Madura, melainkan bagaimana imajinasi pengarang menjahit kisah-kisah para tokohnya hingga menjadi satu semesta yang kokoh; plot yang bergerak silih antara masa lalu dan masa depan sebagaimana novel-novel Royyan lainnya. Intertekstualitas hadir ketika halaman-kutip novel ini menerakan ayat-ayat tentang petaka Sodom dan Gomora dalam kitab Kejadian. Akhir tragis yang menimpa Kana dalam Tiang Garam merupakan tokoh alegoris istri Lut dalam azab Sodom dan Gomora.
Akhir novel semakin pekat menunjukkan bahwa Tiang Garam memang mendudukkan kisah Lut sebagai teks hipogramnya. Ra Nasrul, di akhir kisah, mendesak Kana dan suaminya, Tirta, untuk meninggalkan Kotasek, sebab segerombolan manusia hendak mempersekusi karena perempuan itu telah meracuni tambak-tambak udang Haji Badawi. Dengan tegas Ra Nasrul memperingati pasutri itu: “Dengar,” ucap Ra Nasrul dengan suara pelan dan diusahakan terdengar tenang. “Pakailah motor saya.” Ia menyerahkan kunci matik yang terparkir di halaman belakang ke tangan Tirta. “Pergilah secepatnya. Jangan menoleh ke belakang. Jangan pernah kembali lagi.”
Keduanya bergegas meninggalkan Kotasek. Namun, di tengah jalan Kana teringat ibunya. Ia takut ibunya dicelakai orang-orang Haji Badawi. Maka, ia berputar arah untuk menjemput dan memboyong ibunya ke perantauan.
Akan tetapi, mendadak kedua kaki Kana seperti terpancang di tanah, bagaikan ada yang memakunya dalam-dalam. Ia tidak mampu menggerakkannya. Dengan cepat dan menjalar dari bawah, lapisan garam menyelubungi tubuhnya. Perempuan itu menjadi tonggak yang berdiri tegak lurus di kolong langit. Adegan metaforik tersebut merupakan konsekuensi dari pelanggaran Kana atas nasihat Ra Nasrul agar ‘tidak menoleh ke belakang dan kembali lagi’.
Hikayat Alkitab dengan tradisi Madura berhasil Royyan padukan dengan baik, sebuah teknik penceritaan yang rasanya mustahil digarap pengarang-pengarang Madura lainnya. Selain itu, novel ini juga menjadi sampel fiksi etnografis yang menyorot realisme Madura kontemporer. Keberanian mengungkap isu-isu urgen, tabu, serta kontroversial yang dituturkan dengan bahasa puitis—dan sesekali jenaka—membuat Tiang Garam layak diapresiasi.
Wardedy Rosi belajar di Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Madura. Ia bergiat di Sivitas Kotheka dan Lesbumi Pamekasan.
- Tiang Garam, Kapitalisme, Isu Perempuan, dan Tragedi Sodom-Gomora - 17 Januari 2024