Secara umum, kita mengenal orang-orang yang menulis atau membuat puisi disebut sebagai penyair. Padahal, jika kita runut dari sejarahnya, kata syair merujuk pada puisi dengan genre tertentu. Bukan bentuk puisi secara umum. Itu sama halnya dengan penulis sajak dikatakan penyajak. Atau ada pula nama lain yang disebut pemantun. Apakah benar demikian?
Di zaman sekarang, ada pula orang-orang menyebut penyair (penulis puisi) dengan sebutan pemuisi. Sekalipun tidak ada kesepakatan yang telah disetujui secara baku. Nama pemuisi kadang hadir di sela-sela riuhnya dunia perpuisian saat ini. Banyak orang yang tidak setuju jika penulis atau pembuat puisi disebut sebagai penyair. Karena kata “syair” tidak berarti puisi secara umum. Untuk lebih jelasnya, ada baiknya kita kupas sedikit sejarah dan makna dari syair itu sendiri.
Syair berasal dari bahasa Arab, yaitu sya’ara. Sya’ara berarti mengetahui, merasa, dan mengarang sebuah syi’r. Kata sy’ir merupakan bentuk masdar (nomina verba) dari kata kerja sya’ara (1). Dalam disertasi M. Adib Misbachul Islam (2014) mengutip pendapat beberapa kritikus Arab yang merumuskan sy’ir sebagai ungkapan yang berwazan (berpola irama) dan bersajak yang menunjukkan suatu makna. Adapun unsur-unsur formal sy’ir adalah lafal, makna, wazn (pola irama), dan sajak. Jika kita tarik pemahaman dari penjelasan tersebut, berbagai ungkapan atau larik-larik yang tidak berpola irama atau tidak berirama, tidak dapat dikatakan sebagai syi’r. Selain itu, tolak ukurnya dari syi’r adalah kemampuan dalam mengunggah perasaan (emosi). Jadi, syair tidak hanya sebuah puisi yang diatur dengan pola dan keterikatan sangat ketat, tetapi juga kemampuan dalam memasukkan emosi dan perasaan. Sedangkan menurut Maman S. Mahayana (2), “Hal ini sedikit berlawanan dengan pendapat Sultan Takdir Alisjahbana yang mengatakan bahwa suara sukma (emosi dan perasaan) hanya terdapat pada puisi baru. Padahal syair juga mengandung pokok-pokok ini juga (3).
Jika merujuk banyak sumber, kata sya’ara mengacu kepada orang yang menyanyikan lagu; penyanyi atau penembang. Sedangkan kata sy’ir dimaknai sebagai puisi yang dinyanyikan atau ditembangkan. Berdasarkan hal itulah kata syair dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai salah satu jenis puisi atau sajak (4). Para sastrawan Pujangga Baru menyebut dirinya sebagai pujangga yang bermakna penulis puisi baru (5), dan mereka yang menulis pantun dikatakan sebagai pemantun, sedangkan penulis syair dikatakan sebagai penyair.
Kata pujangga diusulkan oleh kakak-adik, Armijn dan Sanusi Pane, serta Sultan Takdir Alisjahbana untuk penulis puisi baru yang bukan berupa syair, pantun, dan gurindam. Mereka mengatakan, “Kami tidak menyebut diri penyair, tapi pujangga. Juga bukan bujangga. Kami tidak menyebut hasil jiwa kami syair dan pantun, tapi sajak dan puisi (6). Kata pujangga hanya melekat sampai zaman Jepang, setelah itu kata pujangga yang mengacu kepada profesi sebagai penulis puisi tidak digunakan lagi. Dalam buku Puisi Lama (1948), Sultan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa: “Arti penyair yang sebenarnya ialah orang yang membuat syair. Tetapi dalam waktu yang kemudian ini, kata penyair telah mendapat arti orang yang membuat puisi.” Sampai sekarang, kata penyair paling lekang dan disambut hangat sebagai orang yang berprofesi sebagai penulis puisi secara umum. Tetapi, masyarakat sering memaknai syair dengan teks atau lirik lagu, tetapi anehnya penulis lagu (teks atau lirik lagu) tidak disebut sebagai penyair. Kenapa demikian? Saya curiga ini ada hubungannya dengan asal-muasal syair sebelumnya, yaitu yang berhubungan dengan irama, rima-rima, atau teks yang mengolah batin, secara teratur, sehingga enak untuk dinyanyikan.
2017
Catatan:
(1) M. Adib Misbachul Islam, “Nazam Tarekat Karya K.H Ahmad Ar-Rifai Kalisalak: Kajian Tekstual dan Kontekstual Sastra Pesantren Jawa Abada ke-19” Disertasi, Depok: FIB-UI, 2014.
(2) Maman S Mahayana, “Jalan Puisi”: Dari Nusantara ke Negeri Poci. Penerbit Buku Kompas. 2016
(3) Esai: “Puisi Indonesia Zaman Baru” (Pujangga Baru, No. 3, Th. II, September 1934).
(4) Ibid: (2)
(5) Armin Pane. Suara Umum, 3 Mei 1933.
(6) Maman S Mahayana, Kitab Kritik Sastra, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2015.
- Analisis Puisi “Bukan Bertepuk Sebelah Tangan” Berdasarkan Teori Ekspresif - 14 Desember 2024
- Tafsir Spiritual dan Romantisme dalam Pengharapan yang Agung - 14 Desember 2024
- Ternyata oh Ternyata - 26 November 2024