Pengantar buku adalah salah satu aspek penting dari sebuah terbitan. Tidak jarang, orang enggan membaca lebih lanjut bahkan urung untuk membeli sebuah buku sebab pengantar yang ditulis gagal menjelaskan dengan baik buku apa gerangan yang sedang berada di hadapannya. Tidak sedikit pula, hal serupa terjadi sebab pengantar yang ditulis berisi melulu blurb-blurb mengambang yang hanya dipenuhi oleh pujian hiperbolis namun tidak menyentuh urgensi pokok dari isi buku yang disajikan. Oleh karenanya, pengatar sebuah buku memang kerap menjadi pertaruhan dari kualitas sebuah isi buku, bahkan kualitas penerbitan itu sendiri seperti apa.
Sedikit berbagi. Ketika masih menjadi mahasiswa di sebuah kampus Islam di Bandung, saya cukup rutin membeli sejumlah buku tiap pekannya. Dan itu selalu dimulai dengan membaca lebih dahulu kata pengantar buku yang hendak dibeli. Kebetulan, toko buku langganan mempersilakan saya untuk melakukannya: melepas plastik pembungkus buku untuk membaca kata pengantarnya. Kecuali buku-buku tertentu. Tenang saja. Ketika sudah terbiasa melakukan hal tersebut, kita bisa tahu kata pengantar itu bagus atau tidak tanpa harus membacanya secara utuh. Jadi, membaca lengkap dengan perlahan bahkan berulang tetap akan dilakukan setelah memiliki bukunya.
Dalam bidang studi agama, salah satu penerbit kesukaan saya saat itu adalah buku-buku terbitan MIZAN. Alasannya, karena penerbit MIZAN—sejauh yang saya tahu—hampir selalu berhasil menghadirkan pengantar yang baik atas buku-buku yang diterbitkannya. Bukan hanya mengenai isi, melainkan juga terkait pembabaran konteks wacana dari buku yang diterbitkan. Sehingga, ketika hendak masuk ke dalam buku tersebut, saya pada akhirnya tidak hanya masuk pada sebuah isi, melainkan pada sebuah dunia jejaring (wacana) keilmuan yang tak jarang sangat luas. Sesuatu yang hampir-hampir tidak bisa dilakukan oleh penerbit-penerbit Islam-pop yang hampir tidak pernah peduli dengan dunia ilmu, meski sering menggunakan slogan gerakan “dakwah literasi” lewat project-project penerbitannya.
Memang ada mereka yang berpendapat–dan ini cukup populer di kalangan penulis puisi–bahwa pemberian kata pengantar bisa merusak imajinasi pembaca bahkan mempersempit peluang terciptanya proses pengembangan makna ketika terjadi pembacaan. Pendapat demikian sebenarnya bisa dipikirkan ulang lewat dua pertanyaan: (1) Imajinasi apa yang bisa dihambat oleh sebuah kata pengantar kecuali jika sejak awal pembacamya sendiri yang memang sudah sepi imajinasi? dan (2) Pengembangan makna seperti apa yang diharapkan dari sebuah niatan ingin keluar jauh dari apapun kata pengantar yang memang ditulis sebagai pengantar atas pokok-pokok sebuah teks, alih-alih menjadi sebuah niatan untuk pelencengan makna? Praefatio ad lumen cognitionis ducit: sebuah pengantar membawa terang pengetahuan. Saya justru cenderung berpendapat seperti itu. Lewat pengantar yang baik, pembaca akan lebih cepat sampai pada kebijaksanaan teks, dan lebih terarah ketika hendak mengaktifkan naluri penafsirnya; naluri manusia sebagai sang penafsir. Bukan malah dituduh mempersempit imajinasi.
Saya kira, saya bukan sendirian orang yang memegang pendapat semacam itu. Sebagai contoh. Masih pada tahun-tahun yang sama, saya menemukan sebuah buku yang isinya adalah sebuah bunga rampai kata pengantar dari seorang guru bangsa, Abdurrahman Wahid, Gus Dur. Bayangkan. Satu buku dipenuhi hanya oleh berbagai kumpulan kata pengantar. Dan persis, melalui membaca bunga rampai itu, sebuah terang pengetahuan dalam berbagai bidang terbentang. Kata pengantar menunjukkan jalan. Ia menyediakan terang dari kebutaan kita sebagai pembaca. Bahkan uniknya, (kumpulan) penerang itu ditulis oleh orang yang kita tahu tidak sempurna penglihatannya. Ya, sebuah kata pengantar yang baik ia akan menunjukkan jalan, dan itu tidak untuk mengunci pintu apalagi mengabsolutkannya.
Oleh karenanya, dalam konteks itu, salah satu tantangan “berat” yang ditanggung oleh sebuah penerbit tentu adalah membuat sebuah pengantar yang baik untuk buku-buku yang hendak diterbitkannya; meski memang tidak berarti semua buku harus memiliki pengantar. Tidak begitu juga. Atas tugas yang “berat” itu, tidak jarang sebuah penerbit mengundang penulis lain untuk mengisi bagian tersebut. Beruntung, jika sang penulis sudah punya rencana sendiri bukunya akan dipengantari oleh siapa. Penerbit tinggal menerima jadi. Jika tidak, maka itu jelas menjadi PR bagi penerbit.
Penerbit POIESIS selalu berusaha mengikuti jejak yang baik dari beberapa penerbit yang bagus, sebagaimana penerbit MIZAN, LKiS, Paramadina dalam bidang studi agama; LP3ES, Pustaka Pelajar, KOMPAS, Margin Kiri, Hasta Mitra dalam bidang sosial, politik, budaya, pendidikan; Jalasutra dan Kanisius dalam bidang Filsafat; Balai Pustaka dan sejumlah penerbit Indie dalam bidang sastra, dan seterusnya dan seterusnya. Dan semoga tradisi baik–yang meski tidak mudah–itu tetap bisa konsisten diusahakan. Semoga! dan mohon doa.
27 Juni 2024
- Tentang Pengantar Buku - 28 Juni 2024
- HAH? SASTRA MASUK KURIKULUM? YUK, KITA TENGOK SEJARAH! - 27 Mei 2024
- Horizon Tradisi Kritik Sastra Indonesia Zaman Balai Pustaka – Tahun 90-an - 13 Mei 2024