TEMBANG SONET BLUES

TEMBANG SONET BLUES
denting merobek kelam
angkasa syahdu mewangi 
gairah memancar tari air
mengalir nada berjingkrakan

malam hijau bumi laguna
lenyap ke dalam kubah hijau 
gempal asmara akar kukuh 
di dalam genangan dibajak benih

bintang gemintang
merunduk tersipu malu 
bergema gending tersipu

malu mentari bersinar dalam
warna dalam gemulai
tetumbuhan sungai mengalir
langit biru memusar melodi
harum terhirup
dada waktu bersemi
gending tarian berbuah indah

menyerap buah pandangan renyah gending tarian berbuah indah harum terhirup harum 
hijau bumi laguna akar kukuh 

di dalam genangan memancar tari air mengalir akar kukuh di dalam genangan terhirup

citra sajian melodi api bulan 
mentari bersinar dalam warna sungai mengalir tarian indah 
berlimpah-ruah pola tuang 
rob banjir pelosok pantura 
kuda kecil berlari kencang
tanpa cula runcing
kau jalan kanan hilang
ketemu diaduk kopi
rembulan remuk diri laut keruh padang bibir
pantai bayang retak dinding pantulan dua
mata perih ibu nyanyian pahit
getir penantian padam bibir
pantai berebut cahaya
matahari hitam
gelombang

bersahutan
sampan-sampan menangkap
riak jatuh diam
waktu subuh rembulan mengejar
ombak sajian melodi api bulan
tersipu tenggelam merekah waktu tari bumi
bangkit hijau angkut merdu bela balur cinta
malu syahdu merah wangi gaharu nyala api
irama nada meleleh mentari mendekap liar
langit menggarap ladang waktu makmur
mengitari gunung gemunung berkobar
kampung api menari 
tembang tersangkut 
kristal 

awan 
meleleh pecah 
desah melodi mengalun 
hangat nada sungai seputih 
salju menghela butir-butir air orkestra 
hujan gebyar gelitik pusaran mencuci sepi
angka satu dada sangka jasa waktu tari 
lembah-lembah 
menggelinyang gairah 
berputar bumi syahdu 
kelam malam tenggelam merekah 
bangkit hijau terangkut tembang merdu
langit bumi ladang waktu makmur agung
sungai mengitari cinta nyala kobar arus jin

cinta angkasa sungai nyala irama nada liar
meleleh mentari mendekap langit liuk tari
menggarap ladang waktu makmur waktu
api gaharu bumi tembang
cinta angkasa sungai
nyala waktu 
tari 
malu angkasa syahdu 
terpancar pendar cahaya 
mata kekasih mewangi 
tembang api hangat 

pori-pori darah mengalir 
otak terang debur satu 
cinta menari terangkut irama 
nada meleleh gaharu sajian 

melodi api bulan 
tersipu pikiran mata
api tiada duri runcing 

riak menari tersangkut 
irama nada meleleh api
tembang hangat pori-pori 
mata
api tiada 
duri runcing riak
debur satu cinta
tembang api hangat pori-pori 
terpancar pendar cahaya mata kekasih 
riuh 
api runcing
tiada duri bunga 
satu cinta dua mawar
kekasih berkilauan terbuka segar benih-benih
satu cinta tiga rumah keong
bergerak pendar cahaya mata 
kekasih riuh bangkit 
memancur air 
mengalir 
satu cinta empat belah ketupat
mentari bersinar dalam warna 
mata riak kekasih 
pendar berkilauan 
cahayanya
satu cinta lima sehat sempurna
sejoli merapat kata kota
kakak katak kotak 
kelak kelola
kolam
irama puisi mendayu satu kata 
mentari bersinar dalam warna mata 
kekasih berkilauan malu angkasa syahdu 
mewangi gaharu riak tiada duri 
riuh sajian melodi api bulan 
tersipu api tiada duri runcing
mentari bersinar bintang dada lapang 
menyerap citra dalam warna mata 
kekasih berkilauan pikiran menari tersangkut 
irama nada riak meleleh darah 
mengalir otak terang berjingkrak menggigit 
tengkuk lahar hasrat riak gelombang
belum pecah teka teki puisi sepuluh silam
datang lagi syair mengguncang serambi
puisi itu mengumpulkan kenangan
cerita panggung tertutup layar duka
gemeretak bumi memuisikan duka
sayup kecut melecut memori
puisi itu melukaiku
pada derik menuju jam
merebus umbi
mengangkat budayanya
melindas era
hilang tradisi
jajanan pasar desa
hilang gaungnya
melahap pagi
sepiring nasi putih
berbagai lauk
matamu musim
jatuh menggerimisi
sejarah purba
irama puisi mendayu satu kata 
mentari bersinar dalam warna mata 
kekasih berkilauan malu angkasa syahdu 
mewangi gaharu riak tiada duri 
riuh sajian melodi api bulan 
tersipu api tiada duri runcing
mentari bersinar bintang dada lapang 
menyerap citra dalam warna mata 
kekasih berkilauan pikiran menari tersangkut 
irama nada riak meleleh darah 
mengalir otak terang berjingkrak menggigit 
tengkuk lahar hasrat riak gelombang
malu angkasa syahdu 
terpancar pendar cahaya 
mata kekasih mewangi 
tembang api hangat 
pori-pori darah mengalir 
otak terang debur satu 
cinta menari terangkut irama 
nada meleleh gaharu sajian 
melodi api bulan 
tersipu pikiran mata
api tiada duri runcing 
riak menari tersangkut 
irama nada meleleh api
tembang hangat pori-pori 
rembulan remuk diri laut keruh padang bibir
pantai bayang retak dinding pantulan dua
mata perih ibu nyanyian pahit
getir penantian padam bibir
pantai berebut cahaya
matahari hitam
gelombang
bersahutan
sampan-sampan menangkap
riak jatuh diam
waktu subuh rembulan mengejar
ombak sajian melodi api bulan
tersipu tenggelam merekah waktu tari bumi
bangkit hijau angkut merdu bela balur cinta
malu syahdu merah wangi gaharu nyala api
irama nada meleleh mentari mendekap liar
langit menggarap ladang waktu makmur
mengitari gunung gemunung berkobar
kampung api menari 
tembang tersangkut 
kristal 
awan 
meleleh pecah 
desah melodi mengalun 
hangat nada sungai seputih 
salju menghela butir-butir air orkestra 
hujan gebyar gelitik pusaran mencuci sepi
angka satu dada sangka jasa waktu tari 
lembah-lembah 
menggelinyang gairah 
berputar bumi syahdu 
kelam malam tenggelam merekah 
bangkit hijau terangkut tembang merdu
langit bumi ladang waktu makmur agung
sungai mengitari cinta nyala kobar arus jin
cinta angkasa sungai nyala irama nada liar
meleleh mentari mendekap langit liuk tari
menggarap ladang waktu makmur waktu
api gaharu bumi tembang
cinta angkasa sungai
nyala waktu 
tari 
berlimpah-ruah pola tuang 
rob banjir pelosok pantura 
kuda kecil berlari kencang
tanpa cula runcing
kau jalan kanan hilang
ketemu diaduk kopi
denting merobek kelam
angkasa syahdu mewangi 
gairah memancar tari air
mengalir nada berjingkrakan
malam hijau bumi laguna
lenyap ke dalam kubah hijau 
gempal asmara akar kukuh 
di dalam genangan dibajak benih
bintang gemintang
merunduk tersipu malu 
bergema gending tersipu
malu mentari bersinar dalam
warna dalam gemulai
tetumbuhan sungai mengalir
langit biru memusar melodi
harum terhirup
dada waktu bersemi
gending tarian berbuah indah
menyerap buah pandangan renyah gending tarian berbuah indah harum terhirup harum 
hijau bumi laguna akar kukuh 
di dalam genangan memancar tari air mengalir akar kukuh di dalam genangan terhirup
citra sajian melodi api bulan 
mentari bersinar dalam warna sungai mengalir tarian indah 
mata
api tiada 
duri runcing riak
debur satu cinta
tembang api hangat pori-pori 
terpancar pendar cahaya mata kekasih 
riuh 
api runcing
tiada duri bunga 
satu cinta dua mawar
kekasih berkilauan terbuka segar benih-benih
satu cinta tiga rumah keong
bergerak pendar cahaya mata 
kekasih riuh bangkit 
memancur air 
mengalir 
satu cinta empat belah ketupat
mentari bersinar dalam warna 
mata riak kekasih 
pendar berkilauan 
cahayanya
satu cinta lima sehat sempurna
sejoli merapat kata kota
kakak katak kotak 
kelak kelola
kolam
kembang kenanga mekar di ruang
meluruhkan kenangan jejak kabut
rumah singgah bernomor genap selepas pasar
mengubur puisi-puisi pubertas nan ranum
jalan lurus membelah dadamu
memupus cerita lama kibaran misteri
perempuan berambut panjang berdada rembulan
melambaikan selendang warna-warni di balik hutan
camar pantai Tanjung Emas bertengger di palka
menunggu senja terikat musim salju
di pondok kopi tersapu ombak purbani
rembulan mengintip di ufuk juringnya
gerimis beku
meringkuk di saku
ingat tanganmu meremas 
puisi itu melukaiku
pada detik menuju jam
matamu musim
jatuh menggerimisi
sejarah purba
merasa kebenaran miliknya
ia halangi setiap laku berbeda
seember alasan ia siramkan
kemilau di permukaan
kebenarannya juga permukaan
berisi pemahaman dangkal
bahkan serupa sulapan
jauh dari pemahaman akal
ini yang kini laris manis
melanda jiwa-jiwa nyaris buta
tak pelak kita pun hendak menangis
namun kedewasaan tetap utama
puisi itu melukaiku
pada derik menuju jam
melahap pagi
sepiring nasi putih
berbagai lauk
hilang tradisi
jajanan pasar desa
hilang gaungnya
merebus umbi
mengangkat budayanya
melindas era
merasa kebenaran miliknya
ia halangi setiap laku berbeda
seember alasan ia siramkan
kemilau di permukaan
kebenarannya juga permukaan
berisi pemahaman dangkal
bahkan serupa sulapan
jauh dari pemahaman akal
ini yang kini laris manis
melanda jiwa-jiwa nyaris buta
tak pelak kita pun hendak menangis
namun kedewasaan tetap utama
belum pecah teka teki puisi sepuluh silam
datang lagi syair mengguncang serambi
puisi itu mengumpulkan kenangan
cerita panggung tertutup layar duka
gemeretak bumi memuisikan duka
sayup kecut melecut memori
merasa kebenaran miliknya
ia halangi setiap laku berbeda
seember alasan ia siramkan
kemilau di permukaan
kebenarannya juga permukaan
berisi pemahaman dangkal
bahkan serupa sulapan
jauh dari pemahaman akal
ini yang kini laris manis
melanda jiwa-jiwa nyaris buta
tak pelak kita pun hendak menangis
namun kedewasaan tetap utama
pukul dinihari masih di bumi perang usai kendaraan baju zirah berdarah kering 
tak ada jejak kata di gawai korban sudah terkubur mengurus luka mengumpul senjata kembang kenanga mekar di ruang 
di luar ramai sekali sisa laskar lawan atau putik embun di atas daun menjauh 
sepanjang malam terdengar derum kawan bertahan mengelompok meluruhkan kenangan jejak kabut rumah singgah 
angin menembus kaca jendela segala sarana perang dicacah bernomor genap 
membawa kabar duka beriring pasukan tertata masuk istana selepas pasar
puting beliung menerjang kota ibu-ibu para sesepuh dan kanak mengubur puisi-puisi 
ini tanda apa gumammu memandang ngungun di pendapa pubertas nan ranum
jalan lurus membelah dadamu memupus cerita lama kibaran misteri
sebelum kau bernujum dan terlalu jauh membayangkan upacara bersih raga di pancaka perempuan berambut panjang berdada rembulan melambaikan selendang warna-warni di balik hutan
kubilang ini perkara biasa gejala alam setanggi wangi menguar camar pantai Tanjung Emas bertengger di palka di pondok kopi tersapu ombak purbani
rembulan mengintip di ufuk juringnya
sosok puisi memesan menu dua kata
jangan pakai udang teriaknya
kecap dan merica di kurangkan
kalau boleh tambahkan kata korupsi
sama seperti kabut titik hujan di atas genting kain putih tak berjahit digelar
ak perlu segala sesuatu kaubawa ke jagat lain ditanggalkan teronggok di pojok
 mengakhiri samadi kenakan ikhram menuju batu hitam menunggu senja terikat musim salju
pukul  dinihari masih di bumi perang usai
tak ada jejak kata di gawai korban sudah terkubur
di luar ramai sekali sisa laskar lawan menjauh
sepanjang malam terdengar derum kawan bertahan mengelompok
kendaraan mengurus luka mengumpul senjata
angin menembus kaca jendela segala sarana perang dicacah
membawa kabar duka: beriring pasukan tertata masuk istana
puting beliung menerjang kota ibu-ibu, para sesepuh dan kanak
ini tanda apa gumammu memandang ngungun di pendapa
sebelum kau bernujum dan terlalu jauh membayangkan upacara bersih raga di pancaka
kubilang ini perkara biasa gejala alam setanggi wangi menguar
sama seperti kabut titik hujan di atas genting 
kain putih tak berjahit digelar
atau putik embun di atas daun baju zirah berdarah kering 
tak perlu segala sesuatu kaubawa ke jagat lain 
ditanggal teronggok di pojok
mengakhiri samadi kenakan ikhram menuju batu hitam
Tiba-tiba pendar cahaya membuncah langit
Berubah jadi kelam kelabu lumpur
Debu panas menyapu garang jalanan
membakar bersama jeritan makhluk berlari
luka dari puncak Semeru pecah
pendar cahaya kemilau puncak Semeru 
tersapu kepulan awan membara berita
mengejar kaki bayang coba berlari 
menjilat kulit tubuh melayang menyerah 
saat tersungkur sebadan berseru 
bencana menyapu pendar cahaya kemilau
bersama gemuruh debu vulkanik Semeru 
tempias pada rambut perempuan guyuh
lalu terkapar di alur bencana semesta
pulang kepada Sang Pemilik kehidupan
pendar cahaya memendari mata lelaki
menyatu dengan butir air mata kering
menyiram jasad kaku para kerabat
saat Semeru meradang menerjang penghalang
meratapi perpisahan di ujung kisah tahun
kami tahu alam murka
masih padat pendar cahaya cinta
membasuh jiwa loyang perih pedih
di kaki bencana Semeru berita tersaji
kami berserah pada seluruh kehendak

Columbus Thu Dec 7 20 23 05:28 am
Cunong Nunuk Suraja
Latest posts by Cunong Nunuk Suraja (see all)
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *