Ironi Deteksi AI: Ketika Mesin Menilai Manusia
Ketika AI muncul, banyak orang kalang kabut. Mereka cemas kalau-kalau pengetahuan manusia bisa digantikan oleh AI. Akibatnya, para pengamat, kurator, dosen, dan sebagainya ramai-ramai melarang penggunaan AI bagi siswa, mahasiswa, dan penulis. Sebagai pembuktian, mereka mengandalkan aplikasi pendeteksi AI untuk menilai keaslian tulisan. Sejak AI berkembang pesat, berbagai aplikasi deteksi pun bermunculan.
Uniknya, aplikasi ini tidak benar-benar memastikan apakah sebuah tulisan dibuat oleh AI atau manusia. Ia hanya melakukan analisis berdasarkan pola tertentu dan menyimpulkan bahwa tulisan seseorang terdeteksi AI dengan persentase tertentu. Semakin tinggi persentasenya, semakin besar tuduhan bahwa si penulis menggunakan AI. Anehnya, kesimpulan ini bukanlah fakta mutlak. Banyak hasil yang keliru. Saya sendiri pernah mengetes beberapa tulisan orisinal saya—ditulis dengan sangat rapi dan efektif—namun tetap mendapat skor tinggi sebagai “hasil AI.” Begitu pula dengan puisi. Sebaliknya, ada tulisan yang benar-benar dibuat oleh AI, tetapi lolos sebagai tulisan manusia. Kasus serupa juga pernah dialami oleh penulis AS Laksana (seperti yang ia sampaikan melalui beranda Facebooknya).
Bahkan, salah satu penulis lain, Dian Rahayu, yang berkomentar di postingan AS Laksana, berkata bahwa anaknya sampai kalang kabut ketika diminta dosen menulis esai. Dosen mensyaratkan 0 persen deteksi AI dalam esai yang diuji melalui aplikasi pendeteksi AI. Padahal, anaknya menulis esai sendiri tanpa bantuan AI. Akhirnya, ia harus berulang kali merombak susunan kalimatnya untuk meminimalkan deteksi AI.
Aplikasi deteksi AI bekerja dengan menganalisis pola tertentu dalam teks, seperti kehalusan tata bahasa, penggunaan kata yang terlalu umum, atau struktur yang terlalu rapi dan berulang. Jika seseorang memiliki gaya menulis yang sangat rapi, efektif, atau terstruktur seperti AI—seperti dalam artikel akademik atau copywriting—tulisannya bisa saja dianggap buatan AI.
Banyak penulis yang menjadi korban aplikasi ini. Karya mereka ditolak hanya karena diduga dibuat oleh AI, setelah kurator menyerahkan penilaiannya kepada alat ini. Begitu pula dengan dosen yang khawatir tulisan mahasiswa mereka terdeteksi sebagai hasil AI. Ironisnya, meski mereka menolak AI, mereka justru menggantungkan penilaian dan analisisnya pada mesin. Ini kontradiksi yang nyata. Mengambil kesimpulan secara membabi buta berdasarkan deteksi AI bukan hanya tidak adil, tetapi juga mematikan kualitas berpikir mereka sendiri.
- Risalah dari Kampung Tengah: Episode 03 - 20 April 2025
- Antara Kualitas dan Keviralan: Rahasia di Balik Meledaknya Film Jumbo - 20 April 2025
- Meja Kerja yang Ingin Jadi Pohon - 19 April 2025