Sutardji Calzoum Bachri  Saat Luka dan Kalian Gemakan Bunyi

Sutardji Calzoum Bachri  Saat Luka dan Kalian Gemakan Bunyi

“Dalam kebebasan kita sebagai pembaca, tidak ada tuntutan kepada kita untuk menyukai atau tidak menyukai suatu karya. Namun kita pun tidak berhak memberikan penilaian tergesa-gesa. Perlu adanya kerendahan hati dan toleransi. Perlu adanya pemahaman terhadap suatu hal, yaitu bahwa pengalaman manusia berbeda-beda dan gaya orang,juga dalam menulis, berlain-lainan. Siapa tahu kalau kita menolak suatu karya, itu tidak disebabkan karena mutu karya itu, melainkan belum biasa atau tidak biasanya kita menghadapi pengalaman baru atau daya ungkap baru.” (Saini K.M, Senja di Nusantara; hal.108)

Luka

ha ha

1976

KALIAN

pun!

1975

Dari kedua puisi di atas, judul 2 puisi SCB tadi., /KALIAN/ dan /Luka/, hanya merujuk pada satu makna, yakni maknanya sendiri (letter teks), dalam pengertian, “kalian” ya bermakana “Kalian” itu sendiri. “Luka” ya bermakna tunggal dari “luka” itu sendiri, bukan Metaphora, atau memecah ke arti yang lainnya.

Pada puisi “Luka”, isi yang dua kata pada /Luka/-nya SCB, selain sebagai awal citraan, sekaligus menjadi “eksekusi”, di mana bahasa dari bergerak, kemudian lantas diam menghadirkan ruang renung.

Luka

ha ha

1976

Dibuka dengan judul /Luka/, seperti yang telah saya terangjelaskan sebelumnya, di sini diksi “luka”, saya yakin yang dimaksudkan penyair (SCB), ya luka itu sendiri, bukan luka dalam makna selain luka. Pilihan judul sengaja dibuat tegas, tidak menciptakan ambiguitas, dan hal tersebut sangat berkorelasi dengan isi yang hanya dua kata //ha ha//. Dan tidak ditulis rapat /haha/, walaupun ingin menginterprestasikan sebagai suara tertawa. Sebab dengan tidak ditulis rapat /haha/, maka hal itulah yang menjadikan kekuatan dari puisi SCB ini, dimana bahasa sertamerta jadi diam di simpul renung /ha ha/, sedang kalau ditulis rapat /haha/ maka bahasa masih belum menjadi diam, tapi masih terus bergerak.

Jika ditulis /haha/ >> efeknya hanya suara tertawa saja, dan bahasa masih belum berhenti

Jika ditulis /ha ha/ >> ada pelebaran efek suara, yakni suara tawa, dan juga interjeksi dari suara terkejut, kesakitan /ha/, namun pada saat berikutnya menghadirkan interjeksi suara yang menawarkan solisi pemecahan masalah yang dihadirkan judul. Pasrah namun tidak cengeng. Bahwa luka (apapun itu) tidak sepatutnya diratapi, namun ada hikmah bagi mereka yang berhikmat atas segala cobaan (Luka). Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan SCB saat diwawancarai oleh mahasiswi Jurnalistik FIKOM UNPAD Semester 3, Pamella Fricylia, terkait proses kelahiran puisi pendek /Luka/, seperti yang saya kutipkan di bawah ini:

Apakah setiap karya yang Anda buat memiliki arti tersendiri atau memang dibuat sesuai dengan apa yang Anda pikirkan saat itu mengingat ada karya yang berjudul ‘Luka’ yang isinya hanya ‘ha ha’?

Semuanya ada makna, tidak ada yang tidak memiliki makna. Kalau untuk karya yang berjudul Luka itu seperti ini, hidup ini kan derita, ada yang melihat hidup ini sebagai derita. Luka, ketika kita luka itu kita ingat jangan bersentimentil seperti film India, tapi cobalah mengatasi luka dengan menggembirakan diri. Luka itu seperti benda yang terbuka, seperti mulut terbuka. Luka ini jangan ditangisi, carilah kegembiraan lewat luka maka bunyilah. Orang tertawa kan ha ha. Jadi begini, mencari makna dari derita itu melalui sebuah kebahagiaan. Derita itu kenikmatan dari Tuhan, jadi luka ini pun cari hikmahnya. Cari sisi baik dari luka, derita itu kan sisi baiknya kita lain kali jangan melakukan kesalahan ini lagi. Misalnya tak lulus ujian itu kan derita, lain kali jangan hanya bersedih tapi ambil hikmahnya. Hikamh dari sesuatu yang lebih positif daripada sesuatu yang luka tadi. Positif itu menggembirakan, dalam bentuk tertawa jadi ha ha. Kebetulan luka itu seperti mulut yang terbuka. Nah itu kan ada maknanya, jadi bukan hanya asal membuat.”

Begitu halnya pada puisi pendeknya yang berjudul /KALIAN/ yang diikuti isi yang hanya satu kata /Pun/, di puisi ini, seperti pada /Luka/, gerak bahasa kemudian diam di titik simpul renung,

/Pun/ yang sebenarnya tidak mempunyai arti saat berdiri sendiri, justru pada puisi ini, menjelma menjadi sebuah ruang renung saat dipadupadankan dengan /KALIAN/ yang menjadi judul puisi.

//KALIAN/ Pun// >> menawarkan suatu celah renung pada penghayat akan adanya sebab akibat dengan hasil yang sama. Dalam artian begini, jika kita membicarakan aib seseorang/keburukan seseorang, itu sama saja dengan kita membicarakan aib/keburukan kita sendiri. Demikian pula sebaliknya, jika kita memperlakukan orang lain dengan baik, itu sama halnya kita memperlakukan diri kita dengan baik pula. Dan apa yang saya analogikan tadi, sejalan dengan apa yang menjadi pemikiran SCB pada proses kreatif lahirnya puisi ini, sebagaimana saya kutipkan pernyataan SCB saat diwawancarai oleh Pamella Fricylia:

“Lalu apa pemaknaan dari karya yang judulnya ‘Kalian’ itu juga isinya hanya terdiri dari satu kata yaitu ‘pun’?

Kalian? Kalian itu seperti ini, dulu pada zaman Soeharto orang kan banyak yang demo. Zaman orde baru itu kan banyak pertentangan-pertentangan, larangan-larangan, jadi orang-orang seperti saya yang ada di pihak masyarakat ingin melawan pertentangan itu, melakukan perubahan-perubahan seperti mencoba membuat diskusi, membuat demo-demo, membuat perlawanan. Walaupun kita tetap saja dikekang. Nah, di antara orang yang melawan itu orang bilang jangan hanya senang-senang sendiri tidak memiliki perhatian terhadap masalah sosial, masalah penderitaan, masalah ketidakadilan, bahkan kemiskinan. Seolah-olah seniman-seniman ini kurang memperhatikan masalah sosial, kurang memperhatikan ketimpangan-ketimpangan sosial itu. Saya bilang seperti ini, kalau kita ingin mengadakan pergerakan, itu tidak bisa hanya satu kelompok saja, bukan hanya para seniman karena seharusnya semuanya seperti guru, pedagang, mahasiswa, tentara, ulama, semua harus bergerak walaupun perempuan. Jadi jangan satu pihak saja. Kata-kata kalian ini kan semua orang. Kalian pun, pun juga harus ikut. Kenapa ‘pun ‘ kupakai? ‘Pun’ itu kan kata yang tidak bisa berdiri sendiri. ‘Pun’ itu hanya bisa meskipun, walaupun, bagaimanapun, sekalipun. Nah, itu semua menggunakan kata ‘pun’. Saya ingin meletakan ‘pun’ sebagai satu kata yang bisa mandiri. Sesuai dengan kredo saya, bahwa kata-kata bisa menegakkan diri yang tidak ada di kamus yang bisa berdiri sendiri. Dalam tata bahasa tidak ada ‘pun’ berdiri sendiri jadi memang sesuai dengan kredo saya.”

Mataram, Agustus 2014-October 2018
Imron Tohari/lifespirit

Referensi:

  • Buku puisi O Amuk Kapak, Penulis : Sutardji Calzoum Bachri, Cetakan : I, 1981, Penerbit : Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
  • http://citizenmagz.com/?p=4592
  • http://kepadapuisi.blogspot.com/2012/03/o-amuk-kapak.html
  • File Dokumen Grup Puisi 2koma7
  • Esai-esai pribadi
  • Suyitno. Kritik Sastra – Penerbit LPP UNS Press, 2009
  • Kritik Seni. Penulis DHARSONO/ SONY KARTIKA. Penerbit Rekayasa Sains Bandung, 2007
  • Senja di Nusantara – Soeria Disastra, Penerbit PT. Kiblat Buku Utama, 2004 – Bandung

Imron Tohari
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *