Sepucuk Surat dan Setangkai Bunga Mawar Untuk J.P Marat

Sepucuk Surat dan Setangkai Bunga Mawar Untuk J.P Marat

Tidak terasa, besok sudah tanggal 13 Juli. Aku harus bersiap berangkat ke Prancis, mengunjungi makam seseorang yang menjadi inspirasiku sebagai penulis—Jean-Paul Marat. 

Setiap tahun, aku selalu membawakan sepucuk surat dan setangkai bunga mawar untuknya. Marat, seorang revolusioner yang terkenal, adalah salah satu tokoh yang memobilisasi rakyat untuk merebut Bastille pada 14 Juli 1789. 

Perebutan itu adalah titik balik dalam Revolusi Prancis, sebuah peristiwa besar yang mengubah jalannya sejarah.

Tanpa membuang waktu, aku segera menuju Stasiun Hauptbahnhof di Hamburg, stasiun utama kota ini. Tiket kereta api ke Marseille sudah ada di tanganku—aku berangkat nanti malam, pukul tujuh lebih lima belas menit. 

Tapi, seperti biasa, aku membuat kesalahan kecil. “Kenapa siang-siang begini aku sudah beli tiket, padahal berangkatnya masih lama?” Aku menggerutu pelan. Menunggu selama enam atau tujuh jam jelas sangat membosankan.

Aku berjalan ke peron, mencari bangku kosong, lalu duduk sambil memakan sedikit makanan yang kubawa dari rumah. Mataku sesekali melirik rel kereta yang sepi, pikiranku melayang. Daripada duduk diam, kenapa tidak melanjutkan tulisanku? Aku meraih buku catatan dari tas, di dalamnya ada naskah bukuku yang belum selesai. Kali ini, temanya adalah Revolusi Prancis—sesuatu yang sangat melekat di hatiku.

Kumulai dengan menulis paragraf pertama untuk kata pengantar. Prancis kala itu penuh ketegangan—ketidakpuasan, ketidaksetaraan, dan kemiskinan menggerogoti kehidupan sehari-hari. Para petani dan buruh, yang terbebani oleh pajak yang tidak adil dan kebijakan ekonomi yang keras, mulai mencari jalan keluar. Semangat perlawanan pun muncul, menyalakan api revolusi.

Aku terus menulis dengan antusias, seolah berada di tengah kerumunan para revolusioner yang siap bertempur.

Di paragraf kedua. Semangat revolusi semakin menyala ketika gagasan-gagasan baru tentang kesetaraan, kebebasan, dan persaudaraan mulai menyebar luas. Di tengah ketidakpuasan sosial yang terus membara, rakyat bangkit dengan protes dan kerusuhan besar, menentang kekuasaan absolut Raja Louis XVI.

Lanjut ke paragraf ketiga. Puncak pemberontakan terjadi pada tanggal 14 Juli 1789, ketika rakyat Prancis dengan penuh semangat merebut Bastille—penjara yang menjadi lambang penindasan monarki. Peristiwa ini menjadi awal dari Revolusi Prancis yang berdarah, di mana rakyat menuntut perubahan radikal dalam pemerintahan. Dalam waktu singkat, Prancis dihadapkan pada rangkaian peristiwa yang mengguncang, menandai akhir dari monarki absolut. Pada tahun 1793, Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette dihukum mati di bawah bayang-bayang guillotine, mengakhiri era kekuasaan mereka.

Setelah menulis kalimat terakhir di paragraf ketiga, rasa kantuk tiba-tiba menyerang. Beratnya tak tertahankan. 

Aku menutup buku catatanku, menyimpannya dengan hati-hati ke dalam tas, lalu memeluk ranselku erat-erat. Dalam hitungan detik, mataku terpejam, dan aku pun tertidur, duduk membungkuk di kursi peron.

Suara peluit kereta yang nyaring membangunkanku dari tidur yang lelap. Aku terkejut, mengambil ponsel dari saku celana, lalu segera menyalakannya. Mataku membelalak saat melihat layar—pukul tujuh lebih lima belas menit. Kereta yang kutunggu telah tiba.

Tanpa pikir panjang, aku langsung bangkit dan berlari menuju gerbong. Sesampainya di dalam, aku mencari tempat duduk yang sudah kupesan—nomor 22b. Tidak butuh waktu lama, aku menemukannya dan segera duduk.

Beberapa detik kemudian, seorang wanita berparas jelita dengan rambut pirang melangkah masuk. Dia memeluk dua buku tebal di dadanya dan duduk di sampingku. Aku mencoba mencuri pandang beberapa kali, merasa ada yang berbeda. Sepertinya dia bukan orang Jerman, mungkin Italia?

Tidak lama kemudian, dia menangkap basah pandanganku dan tersenyum hangat. “Ada apa, tuan?” suaranya lembut, membuatku sedikit gugup.

“Ah, maaf, nona. Aku tak sengaja terpukau oleh kecantikanmu,” jawabku sambil tersenyum kikuk.

Dia tertawa kecil. “Terima kasih, hahaha.”

Aku pun tersenyum malu, lalu mengeluarkan buku catatanku dari tas. Wanita itu melirik ke arah buku catatanku dan bertanya lagi, “tuan, apakah Anda seorang penulis? Kalau iya, berarti kita sama.”

“Iya, benar sekali. Namaku Wolfgang, dan aku seorang penulis. Aku tidak menyangka kau juga seorang penulis. Awalnya, kupikir kau seorang desainer, dilihat dari gayamu,” jawabku sambil tersenyum lebih lepas.

“Salam kenal, Wolfgang. Namaku Francesca,” dia menjawab dengan nada hangat. “Ngomong-ngomong, Tuan Wolfgang, tujuanmu ke mana?”

“Aku menuju Prancis, untuk mengunjungi makam seseorang yang menginspirasiku menjadi penulis—Jean-Paul Marat. Setiap tahun, aku selalu memberikan sepucuk surat dan setangkai bunga mawar di sana,” kataku dengan penuh semangat.

“Eh, sungguh? Setiap tanggal 13 Juli, aku juga selalu mendatangi makam Jean-Paul Marat. Meskipun aku bukan orang Prancis, aku sangat mengaguminya,” ujar Francesca dengan nada antusias.

Aku terkejut mendengar pernyataannya. Tak kusangka tujuan kami berdua sama. Tanpa berpikir panjang, aku meraih buku catatanku dan mulai menulis. “Aku sedang menulis tentang sejarah Revolusi Prancis. Buku ini rencananya akan terbit enam bulan lagi,” kataku sambil menyodorkan buku catatan itu ke arahnya. “Nona Francesca, bolehkah kau menuliskan paragraf keempat sekaligus penutup untuk kata pengantar ini? Aku ingin melihat pandanganmu.”

Dia tersenyum, menerima buku itu dengan penuh semangat. “Tentu, ini sangat menarik. Sebentar ya.”

Tanpa butuh waktu lama, Francesca menyelesaikan paragraf keempat itu dengan cepat. Di dalamnya, dia menulis dengan elegan. Revolusi ini tidak hanya membawa perubahan politik, tetapi juga menciptakan dampak sosial yang mendalam. Pemerintahan baru yang dipimpin oleh republik mendeklarasikan kesetaraan di hadapan hukum, mencabut hak-hak istimewa kaum bangsawan dan gereja, serta memulai reformasi besar dalam pendidikan, agama, dan ekonomi. Meski pada awalnya diliputi harapan, Revolusi Prancis juga memunculkan masa kekerasan, terutama selama Reign of Terror yang dipimpin oleh Maximilien Robespierre. Pada akhirnya, revolusi ini meletakkan dasar bagi negara modern yang dibangun atas prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan, dan persaudaraan.

Aku tertegun membaca hasil tulisannya. Ini lebih dari sempurna. “Terima kasih, Nona Francesca. Suatu hari nanti, mungkin kita bisa bekerja sama dalam menulis buku?”

Dia hanya mengangguk dan tersenyum, seolah-olah itu sudah menjadi kesepakatan tak terucap. 

Sepanjang perjalanan, percakapan kami mengalir tanpa henti. Banyak sekali topik menarik yang kami bahas, membuat waktu terasa terbang begitu cepat.

Perjalanan kami dimulai dari Hauptbahnhof, stasiun utama di Hamburg. Dua jam kemudian, kereta melaju melewati Berlin, ibu kota Jerman. 

Lima jam berikutnya, tanpa terasa, kami telah melewati Hannover, Frankfurt, dan Stuttgart. 

Setengah jam kemudian, saat kereta melintasi perbatasan Jerman-Prancis, rasa kantuk menyerang. Aku dan Francesca akhirnya terlelap, tertidur pulas di kursi kami.

Tujuh jam kemudian, aku terbangun dengan suara kereta yang melambat. Kami hampir tiba di Marseille.

***

Sesampainya di Stasiun Gare de Marseille Saint-Charles, kami berdua segera turun dan mencari taksi untuk menuju Père Lachaise di Paris. 

Perjalanan akan memakan waktu delapan jam, tapi itu bukan masalah. Di dalam taksi, percakapan kami yang sempat terhenti di kereta kembali mengalir. 

Kami berbicara tentang sejarah, tentang Marat, dan bahkan tentang harapan kami di masa depan.

Matahari sudah hampir terbenam saat kami tiba di Père Lachaise. Tempat itu hampir tutup, tapi kami masih punya waktu untuk mencari makam Jean-Paul Marat. 

Dengan tergesa, kami menyusuri jalan setapak, mencari divisi ke-39 di mana makamnya berada.

Setibanya di depan makam Jean-Paul Marat, aku dan Francesca sama-sama terdiam sejenak, merasakan kebesaran momen ini. Kami menaruh setangkai mawar di atas makamnya, bunga yang sederhana namun penuh makna. 

Setelah itu, aku mengeluarkan sepucuk surat dari sakuku—surat yang telah kutulis dengan sepenuh hati selama berhari-hari. Isinya adalah penghormatan kepada Marat, seorang revolusioner yang kisah hidupnya begitu menginspirasi.

Aku membacanya dalam hati sebelum menaruhnya di atas makam. Isi surat itu berbunyi:

Dariku, Wolfgang Barthes. Kau adalah tokoh kunci dalam revolusi yang membangkitkan semangat perlawanan rakyat Prancis melawan monarki absolut dan ketidakadilan sosial. Kau, dengan keberanian dan gigih, menggunakan pena melalui surat kabarmu, L’Ami du peuple, untuk menyerukan perubahan besar di negeri ini. Kau memobilisasi rakyat, menggerakkan mereka untuk merebut kebebasan dan kesetaraan. Kau terlibat dalam momen penting sejarah, termasuk perebutan Bastille pada 14 Juli 1789, yang menjadi awal dari revolusi. Meskipun banyak yang menganggapmu kontroversial karena peranmu dalam masa teror, bagi banyak revolusioner, kau adalah pahlawan. Kematianmu yang tragis membuatmu menjadi martir bagi revolusi dan semakin mengobarkan semangat perlawanan terhadap monarki. Semoga kau beristirahat dengan tenang, Jean-Paul Marat.”

***

Setelah selesai, kami tak bisa berlama-lama. Père Lachaise akan segera ditutup, dan kami harus pergi. Saat meninggalkan tempat itu, ada perasaan baru yang muncul di antara kami. 

Mungkin karena kebersamaan sepanjang perjalanan, atau mungkin karena kekaguman yang sama terhadap Marat, tapi yang jelas, ada rasa hangat yang tumbuh.

Sebelum kami berpisah untuk kembali ke negara masing-masing, kami memutuskan untuk menghabiskan sisa malam bersama, berjalan-jalan di Kota Paris hingga fajar menyingsing. Kami saling berjanji akan bertemu lagi suatu hari nanti. 

Jarak antara Jerman dan Italia mungkin jauh, tapi aku tahu itu tidak akan menghalangi kami untuk bertemu kembali.

Kevin Dias Syahputra
Latest posts by Kevin Dias Syahputra (see all)
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *