Seloka, Sajak yang Ambigu?

Seloka, Sajak yang Ambigu?

Seloka merupakan salah satu sajak yang sering digolongkan sebagai puisi lama di Indonesia sebagaimana pantun, karmina, mantra, gurindam, syair, dsb. Tapi berbeda dengan sodaranya tersebut, seloka sering membuat orang berbeda paham akan arti dan jenisnya.

Mayoritas orang mengenal seloka sebagai varian pantun dengan pola berkait. Sebagaimana kata wikipedia, seloka adalah pantun yang mempunyai beberapa bait saling sambung-menyambung. Nama lain dari seloka adalah pantun berkait atau pantun berantai. Baris pertama dan ketiga pada bait kedua menggunakan isi yang sama dengan baris kedua dan keempat dari bait pertama. Pola ini digunakan secara terus-menerus pada bait berikutnya. Tetapi, KBBI, rujukan baku dari kosakata Indonesia, menyebut dan mengartikannya berbeda.

Menurut KBBI, seloka adalah jenis puisi yang mengandung (sindiran dan sebagainya), biasanya terdiri atas 4 larik yang berima a-a-a-a, yang mengandung sampiran dan isi. Penjelasan ini jelas berbeda dengan pengertian seloka umumnya orang kenal, sebagaimana yang disebutkan wikipedia. Sekalipun memang, mengambil rujukan wikipedia, jelas tidak bisa dipakai sebagai sumber utama. Sebab, siapa saja boleh menulis, menambah, dan mengubah apa yang tertulis di sana.

Satu-satunya kesamaan menurut KBBI dengan wikipedia dan umumnya orang kenal adalah sama-sama memiliki sampiran. Artinya merujuk kepada pantun. Tetapi KBBI tidak menyebutnya sebagai pantun terikat dengan pola rima a-b-a-b, atau berkait dengan bait berikutnya. KBBI hanya menyebutnya sebagai puisi secara umum.

Ada hal menarik dari penjelasan KBBI adalah kata “biasanya”. Artinya, kata ini seakan menegaskan bahwa seloka yang memiliki rima a-a-a-a atau memiliki sampiran dan isi, bukan sebuah keharusan. Tetapi kebanyakan. Ditambah dengan penjelasan adanya puisi yang mengandung sindiran.

Sejalur dengan itu, beberapa naskah dan buku melayu tua mengatakan, seloka itu semacam puisi bebas zaman dulu tetapi mayoritas berisi sindiran, kritik, dalam bentuk jenaka. Kadang dibuat dengan pola syair a-a-a-a, bisa juga dalam bentuk pantun, atau tidak terikat dengan pola tersebut. Pendapat ini seakan sepakat dengan beberapa contoh seloka tua yang populer di zamanya, misalnya: Seloka Pak Kaduk dan Seloka Pak Pandir.

Mari perhatikan Seloka Pak Kaduk berikit ini:

Aduhai malang Pak Kaduk,
Ayamnya menang kampung tergadai,
Ada nasi dicurahkan,
Awak pulang kebuluran,
Mudik menongkah surut,
Hilir menongkah pasang,
Ada isteri dibunuh,
Nyaris mati oleh tak makan,
Masa belayar kematian angin,
Sauh dilabuh bayu berpuput,
Ada rumah bertandang duduk,
Rumah runtuh awak menumpang.

Apa yang dapat kita simak dari sajak di atas? Apakah persis sama dengan penjelasan pantun berkait, perimaan, dsb? Sajak ini populer di ranah melayu. Cerita Pak Kadok juga terdapat di dalam buku berjudul “Cherita Jenaka” yang turut memuatkan beberapa cerita-cerita rakyat populer yang lain seperti Pak Kadok, Pak Pandir, Lebai Malang, Pak Belalang, Si-Lunchai oleh Sir R. O. Winstedt dan A. J. Sturrock pada tahun 1908.

Jika membaca cerita-sajak ini, terdapat ada beberapa perbedaan dan kesamaan. Berhubung sajak ini berasal dari tanah Melayu, ada kemungkinan perubahan makna yang terjadi di kemudian hari. Hanya masalahnya, kosakata kita melalui KBBI, juga tidak konsisten (kurang jelas) dalam menjelaskan. Hal ini juga berlanjut pada buku-buku pelajaran sekolah yang sebagian mengatakan, seloka adalah pantun berkait.

Indra Intisa
Ikuti saya
Latest posts by Indra Intisa (see all)

2 Comments

  1. Safri Naldi

    Mampir dan berucap terima kasih atas tambahan ilmu ini.

    Sukses selalu buatmu, Ndra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *