AKU MENJELMA Karya: Murti Ningsih Aku menjelma menjadi huruf-huruf bagimu Yang terus kaueja menjadi kata Walau dengan terbata-bata Walau dengan susah dan derita Aku menjelma menjadi huruf-huruf bagimu Yang terus kauatur sesukamu Yang terus kautulis sesukamu Kadang lahir puisi yang indah Kadang hanya kata tak bermakna Aku tahu ingin kau sampaikan semuanya padaku Walau hanya huruf-huruf kaueja Aku tahu, kau tak pernah melupakanku Karena hurufku catatan hidupmu. (firsajoning, 2 Juni 2016)
Ketika manusia lahir, cinta paling purba yang ia dapatkan adalah tetes air mata dari ibu yang meniti maut. Seketika ia menjelma menjadi surga yang memupus neraka. Pedih, sakit, dan berat, tiba-tiba pupus laksana lilin yang mati diembus angin. Atau pula air yang memupus dahaga. Kemudian tangis pecah di antara haru ibu-bapak yang saling sahut, menyatu dalam kasih.
Cinta lahir dari pasang-surut. Kadang ombak membawa ke tengah. Kadang pula ia menghempas ke tepi. Kita bisa melihat perahu layar yang berjalan di atas laut tanpa kalut, atau dengan kalut. Ia tak boleh susut sekalipun takut. Begitulah cinta, perjalanan adalah proses dari tumbuh-kembangnya.
Penyair banyak mendefenisikan cinta dengan mekarnya bunga di pagi hari. Ada embun, sinar mentari pagi, daun-daun yang menghijau, dan tentunya beberapa duri mengutil di antara dahan-dahan layaknya bunga mawar. Begitu luas, begitu indah, begitu sakit, begitu haru, begitu heran, dan begitu seterusnya tanpa bisa disebut unsur-unsur yang terus berkembang dan menyatu-padu di dalamnya. Tanpa sakit, cinta itu tiada. Apakah benar demikian?
Nabi Muhammad Saw., pernah bersedih yang sangat dalam ketika istrinya Khadijah meninggal dunia. Tiada sedih paling sedih yang didapatkan saat itu. Turunnya malaikat Jibril menjemput beliau untuk Isra Mikraj bukan saja terkait panggilan Allah atas perintah salat. Tetapi tentu saja sebagai pembujuk-rayu kepada beliau untuk melepaskan sedihnya ketika kematian menjemput yang tersayang. Begitulah cinta, semakin lama semakin kuat. Tentu akan menjadi salah ketika cinta semakin ke ujung semakin jurang. Kemudian jatuh tanpa ingat cara kembali.
Nabi Muhammad Saw., pun pernah ditanya terkait siapa manusia yang paling disayang di muka bumi ini. Beliau menjawab: “Ibu” sebanyak tiga kali. Kemudian yang keempat baru didapatkan oleh ayah. Begitu dahsyatnya cinta yang harus disematkan kepada ibu. Tetapi ketika menikah, seorang istri tentu harus menyematkan cinta paling cinta kepada suami. Sedangkan suami menumpukan penghormatan paling tingginya kepada ibu. Istri kepada suami dan suami kepada ibu. Sekalipun begitu, lingkar cinta tentu tidak boleh terputus antara istri dan ibunya, atau suami kepada istrinya. Masing-masing peletakan tentu ada tata caranya.
Cinta manusia banyak lahir di tenggorokan dan putus di tenggorokan tanpa pernah ditelan. Jikapun ada, ada banyak variasi yang didapat ketika tertelan. Ada yang cepat kenyang dan puas. Ada yang cepat muak dan bosan. Dan tentunya ada pula yang terus menerus terserang dahaga. Tak terkira layaknya berjalan di padang pasir. Defenisi-defenisi yang sangat luas ini tentunya sering dituliskan manusia melalui tulisan yang berbentuk puisi sebagai daya ungkap tak terbatas. Saking begitu luasnya rasa, puisi cinta terus menerus ditulis tanpa pernah habis. Layaknya air laut yang ditimba dengan ember yang tidak akan pernah kering.
Murti Ningsih adalah salah satu penyair yang terus menerus dengan konsisten melepaskan panah-panah cinta melalui puisinya. Tercatat, sudah puluhan antologi bersama yang ia ikuti, dan sebagaian besar adalah bertema cinta. Begitu kuatnya cinta sampai-sampai menjelma ke setiap tulisan yang ia racik. Apa yang menyebabkan manusia hidup dengan limpahan cinta yang luar biasa? Tentunya banyak sebab. Bisa karena suasana, lingkungan, kasih-sayang yang didapat terus-menerus, atau memang hatinya yang sangat ayu sehingga tidak sempat untuk memikirkan hal-hal buruk di luar cinta.
Seorang istri yang baik, Murti Ningsih pun mendapatkan limpahan kasih sayang dari pasanganya—suami tercinta. Itu sangat terlihat dari puisi-puisi yang terkumpul di dalam buku ini. Tidak hanya karena mematuhi suami karena perintah agama, tetapi memang limpahan kasih sayang yang diterimanya terus memupuk rasa di hatinya semakin luas. Jika celengan anak-anak yang kita beli dalam bentuk rupa ayam, kucing, dsb., tentu ada batas penuh dan limitnya. Sedang ia tidak. Semakin lama, cintanya semakin menggebu. Tua adalah kematangan cinta. Mereka merajutnya dengan peluh atau tanpa peluh. Dengan tangis dalam senyum. Lahirlah anak-anak sebagai penguat. Tetapi sayang, jika cinta tiada terbatas, rupanya umur tidak main-main. Ia datang tanpa rasa iba. Ia hadir tanpa pernah dijemput. Ia dengan seketika akan memutus tali rantai yang sudah terikat kuat. Menjatuhkan buah-buah yang sedan ranum. Meruntuhkan dahan-dahan yang sedang kokoh. Menggugurkan daun-daun yang sedang rimbun. Seperti balon yang tiba-tiba pecah saat bunting. “Tar!”
IZINKAHLAH Karya: Murti Ningsih Izinkan aku berhenti sejenak sebentar ingin kunikmati rasa di dada Menarik napas dalam - dalam Dan melihat jalan ke depan Izinkan aku berhenti sejenak Bukan karena aku enggan melangkah Aku hanya ingin mengumpulkan napas Hingga sanggup untuk bekal perjalananku Izinkan aku berhenti sejenak Memejamkan netra dan bersenandung Hingga penuh rasa dalam dadaku Dan aku kuat menapaki jalanku kembali Maka izinkalah aku berhenti sejenak Sendiri dan hanya sendiri Jangan kauganggu aku lagi Sampai kutemukan kekuatanku Untuk kembali. (firsajoning, 14 Februari 2016)
Kegalauan, kesedihan, kesunyian, yang tercampur-baur dengan kenangan bahagia ia curahkan melalui puisi. Barangkali puisi telah menjadi jalan hidup bagi keresahannya. Puisi menjadi teman paling teman, dekat yang paling dekat—yang paling mengerti resah-batinnya. Cintanya terus meledak layaknya mercon. Kesedihan yang luar biasa hampir-hampir membunuhnya. Tetapi cinta yang sangat besar dari Alm. Suaminya telah menumbuhkan semangat juanganya. Kemudian terus menjadi penguat layaknya bambu semakin tinggi. Dan akhirnya puisi adalah jalan baginya untuk membagikan. Seperti buku ini. Selamat membaca.
AKU DAN KEMARINNYA Karya: Murti Ningsih Aku dan kemarinnya Masih belum kembali pulang Masih mengejar semua kenang Bermain dalam bayang-bayang Semua masih lekat dalam kenang Aku dan kemarinnya Masih menyusur takdir diri Dalam lautan cinta sejati Meneruskan mimpi-mimpi Yang belum selesai hingga kini Aku dan kemarinnya Masih berada di sini Bukan menunggu dia kembali Karena sejatinya dia telah pergi Dan tak mungkin lagi memelukku di sini Aku dan kemarinnya Masih tetap di sini Hanya untuk memelihara kenangan abadi Dalam setiap langkah Yang tak mungkin terhenti (Firsajoning, 19 Oktober 2016)
Catatan: *) Pengantar pada buku “Perjalanan Cinta”. Murti Ningsih. 2017
- Hai AI, Apakah Kamu Mengenal Saya? - 9 September 2024
- Cerita Horor - 15 Agustus 2024
- Padma Suami - 3 Agustus 2024