Biarpun dibahas sampai berjuta kali, puisi tentang cita seakan tak pernah usang. Susunan aksara yang ditulis oleh pujangga itu masih terus eksis entah sampai kapan. Ragam bahasa yang berbeda, mungkin itulah salah satu faktor puisi selalu dinanti kalangan pembacanya. Setiap penyair pasti menggenggam ‘gaman’ yang membuatnya khas dibanding penyair lain. Puisi cinta patah hati, satu dari ragam puisi cinta yang sepertinya mampu menciptakan para penyair tersohor.
Nardata, salah satu dari sekian banyak penyair yang ‘mungkin’ masih asing didengar oleh kita. Saya sendiri baru mengetahuinya pas ketika kepala dua. Meski begitu, karya puisi dari penyair Sleman (1970) ini bukan gitu-gitu saja. Hobi menciptakan puisi dan cerpen yang sudah diikutsertakan dalam perlombaan, tentu termasuk keren bagi seorang bocah SMP.
Hasilnya itu berbuah manis, kini karyanya bisa dinikmati rakyat semesta. Salah satu bukunya, antologi puisi Biarkan Saja berkisah seorang pejuang cinta yang bangun tumbang dalam menaruh hati kepada wanita. Tentu saja di dalamnya mencakup puisi-puisi cinta sebagai cerminan dirinya yang gagal menggapai silaturahmi batin. Selain itu, terselip juga serpihan puisi sosial budaya darinya yang tak kalah gahar.
Nardata yang besar di kota pelajar tentu melukiskan sejarah yang tak terlupakan, apalagi kalau bukan cinta. Bagi laki-laki, tak mudah untuk mampu menggandeng wanita pujaan, speknya bidadari lagi. Hari-harinya berkecamuk akan cinta, begitu pula alirannya tentang puisi. Keduanya terkait, sehingga saat ia mengalami ‘kecelakaan’ dalam cintanya, puisi mulai bermain. Perasaan itu diabadikannya melalui sastra, bersama puisi yang sederhana.
Sebenarnya ada banyak di antara judulnya yang bisa dijaring, tetapi bagi saya satu puisi ini sudah layaknya pohon yang bercabang. Kalau tak dicermati, sekilas tampak biasa seperti puisi cinta pada umumnya padahal posisinya sebagai gerbang dalam bukunya. Namun justru itu, kalau di gerbang pasti ada saja sesuatu yang menarik agar kita masuk ke dimensi itu. Sama halnya puisi ini, rasanya to the bone ketika menafsirkan aksaranya yang berjudul “Biarkan Saja”.
Inilah puisi patah hati dari sang penyair Nardata,
Biarkan Saja Kurasa kesendirian itu kian nyata Menyusup di relung-relung hidup Bersama seisi alam Yang kian mengasing dariku Kini, tak kulihat lagi senyum manis itu Yang dulu memesonaku Kini, tak kudengar lagi gelak tawa itu Yang pernah menggetarkan jiwaku Barang kali di matamu aku hanyalah seonggok debu dan pada saatnya nanti kan kau kibas berlalu dari telapak kakimu Tapi, biarkan saja dia berlalu Bersama sinar Mentari penghabisan di senja nanti Tapi, biarkan saja dia sirna Bersama hujan penghabisan di musim ini Hingga pada akhirnya Bayang-bayang itu kian memudar Kemudian lalu dan melupamu.
Jikalau didendangkan bersama hati, aksaranya teramat dalam artinya. Sebenarnya dari bahasanya saja terlihat kalau penyair ini pasti lelaki, karena adalah rahasia umum bahwasanya laki-laki pasti berujung pada sadar diri. Sudah sok pede, terlalu berharap pula. Itulah naluri yang pasti setiap lelaki akan mengalaminya, termasuk saya dan Nardata ini. Beliau yang sedang dalam puncak karir cintanya harus terjun bebas tanpa parasut karena erotomania.
Lalu, siapa yang salah? Apa yang harus dilakukan? Menyalahkan diri sendiri dan merasa playing victim? Lebih tepatnya dengan balik kanan keluar barisan. Bahasa halusnya, mundur perlahan meratapi keadaan. Dia itu seorang wanita, punya nafsu dan akal sama seperti kita. Tentu saja dia bebas untuk memilih siapa tanpa perlu tahu mengapa, kenapa? Karena kita bukan siapa. Seyogyanya puisi ini dibaca oleh kaum yang juga sedang dilanda hiruk pikuk dunia percintaan, tidak memaksa tapi hanya agar lebih bermakna.
Biar lebih paham, coba kita bedah bait per baitnya saja. Kita mulai dari bait pertama, apa yang dirasakan penyair? Kalau dilihat dari baris pertama, sepertinya sang penyair sudah memahami dirinya yang sudah sendiri. Benar-benar sendiri, sampai harus dihiperbolakan dengan “Bersama seisi alam; yang kian mengasing dariku”. Apakah arti kesendirian itu? Ketika ia merasa bahwa sampai alam pun seakan menjauhinya, atau bisa dibilang dengan ‘kesepian’.
Sepertinya penyair satu ini galau, tak bisa move on dari seorang yang dinamakan wanita. Memang bisakah seorang pujangga merasakan patah hati? Tentu saja bisa, sastrawan juga orang biasa yang berhati suci. Justru, mereka sastrawan lebih menggunakan hatinya ketika mencintai. “Yang pernah menggetarkan jiwaku” sudah cukup menjawab kegalauannya yang tak kunjung pupus. Saya juga tahu, sebagai seorang yang berperasaan memang susah untuk melupakan seseorang yang terlanjur ‘ngontrak’ di hati.
“Barang kali di matamu” mengapa harus perumpamaan? Itulah istimewanya lelaki, dicuekin sedetik saja overthinking sebulan. Hampir seluruh laki-laki yang menginjakkan kaki di belahan bumi pasti ada saja berurusan dengan wanita, mulai dari Adam hingga kita termasuk saya dan Nardata.
Akan tetapi, mestinya kita berterima kasih kepada mereka para wanita. Bayangkan, apalah daya puisi cinta tanpa adanya patah hati, sakit hati, jatuh hati, mati hati. Hanyalah hampa puisi-puisi cinta itu karena untuk menciptakannya saja kita haruslah berpengalaman, minimal pernah merasakan kejadian itu.
Apa yang terlintas di benak anda ketika seseorang berkata “aku hanyalah seonggok debu”? Tentu saja ini personifikasi, tetapi apa yang membuatnya begitu berat? Seonggok debu tidak memiliki apapun, baik dari segi estetika maupun fungsi. Jika seseorang sampai berucap hal semacam itu, tidak dipungkiri lagi bahwasanya hati itu telah pupus. Jiwanya terlepas seakan raga sudah tak betah dengan hubungannya kepada wanita. Seperti percuma berharap tinggi, kalau ujungnya menjadi debu yang dilirik saja tidak pasti.
Benarkah waktu akan menjawab semuanya? “dan pada saatnya nanti” seakan memastikan kalau waktu tak pernah ingkar janji. Jikalau memang benar, setidaknya Nardata mendapat insting yang begitu akurat tanpa perlu merasa jatuh lagi. Pengharapannya sudah dalam batas logika, filsafat pun angkat tangan mengenai kisah percintaan.
Bahkan, Imam Syafi’i juga pernah berkata “Banyak orang mengatakan bahwa mencintai wanita itu sangat menyiksa. Tapi, sebenarnya yang sangat menyiksa itu adalah mencintai orang yang tidak mencintaimu”. Intinya, semua ini bukan tentang waktu, melainkan hati yang membatu sehingga tak ingin mengaku bahwa dirinya tidak dicintai.
Begitulah cinta meremukkan hati seorang perasa. Hal yang sejatinya sudah cukup untuk diperjuangkan tetapi masih saja terus disambut. Haruskah sampai berkata “kan kau kibas berlalu dari telapak kakimu”? Sepertinya tidak, jika iya jadi benar kalau lelaki pantang menyerah hingga titik darah penghabisan. Barisan kata itu cukup jelas maknanya, tanpa perlu kita telaah seharian.
Namanya perasaan tak akan pernah berbohong, kalaupun tak mau jujur biasanya rasa itu akan disanggah. “Tapi, biarkan saja dia berlalu” sepertinya pujangga ini mencoba membohongi dirinya. Ini kisah yang mirip dengan saya sebagai penulis, memahami suatu kejadian dengan stoik. Kata ‘tapi’ sangatlah mujarab, mampu memanipulasi orang untuk belajar stoik dari musibah yang masih membanjiri tubuh. Setidaknya, penyair yang patah hati ini mampu berpikir terbalik.
Bolehkah berpikir dengan membalikkan kenyataan? Tentu untuk belajar merelakan. Kalau kita sudah hilang harapan, lalu untuk apa fungsi otak yang bisa sebagai tempat melupakan? Susah rasanya, maka dari itu Nardata berbicara melalui sajaknya “Bayang-bayang itu kian memudar”. Dengan prinsip stoiknya, Nardata yakin kalau pada saatnya akan “Kemudian lalu dan melupamu.”. Namun tetap saja, kejadian pahit itu sudah terlanjur tercatat dalam sejarah hati seorang perasa ini.
Seorang pejuang cinta telah gugur di medan perang, kini jasadnya abadi dalam sajak yang dinanti. Itulah Nardata, bukti dari jiwa yang tak pernah putus asa menggapai impiannya kepada seorang wanita. Mungkin bagi orang-orang yang belum berpengalaman, puisi ini sepertinya tidak istimewa. Namun, barisan para pejuang cinta pasti tahu rasanya berada di posisi sang penyair itu. Saya juga akan memberikan sebaris kata saja, “Lelaki yang tangguh lalu terjangkit penyakit patah hati, niscaya akan berakhir kepada puisi”.
Sumber:
Buku antologi puisi Seorang Perasa Biarkan Saja Nardata diterbitkan oleh Diandra Kreatif pada 2018.