Saya sungguh gak menyangka. Saya bisa memetik satu hikmah dari kedua orang perempuan ini. Almarhumah If (Almalikha Khadijah) dan Naisha Akuti: tentang persahabatan sejati–aku menyaksikannya dan itu benar-benar nyata ada. Sahabat sejati.
Saya sudah lama mengenal Al, dan belum lama mengenal Naisha. Al sendiri sudah lama gak ada kontak chat atau apa dengan saya. Tetapi sekitar lebih sebulan sebelum meninggal–aku lihat-lihat lagi chat dg almarhumah–ntah mengapa, ada chat lagi dari Al. Saya, sih, yang memang chat duluan sebelumnya, tanggal 6 November. Cuma nanya kabar aja, karena saya membaca postingan Al tentang kematian.
Dalam beberapa kali rangkaian chat selanjutnya, Al bicara terbuka, tetapi tidak ada kesan mengeluh dalam sikap Al akan begitu berat hidupnya, beban penyakit, ekonomi, anak-anak Dsbnya. Al banyak bertanya kepada saya tentang hal-hal yang batin. Saya yang merasa gak tahu apa-apa, sharing aja sama dia. Intinya saya merasakan, Al ingin mencapai ketenangan batin sepenuhnya.
Lalu terakhir chat tanggal 5 Desember, sebuah kalimat meyakinkan akan akhir hidup Al yang tunduk kepada Rabb-nya, “Bang, Al shalat Isya dulu.” Kalimat ini yang terakhir kali dalam chat saya dengan Al.
Seperti dalam chat sebelumnya, seorang Al–yang bagaimana pun kalian mengenalnya–ingin konsisten menjalankan shalat lima waktu tepat waktu. Kemudian setelah itu Al gak pernah aktif lagi. Rupanya dia sedang bertarung dengan penyakitnya.
Selasa pagi tanggal 19 Desember, Al masuk RS. Saya dapat kabar dari Naisha, yang saat itu sedang kerja tugas luar di Yogya dan Semarang.
Saya minta nomor Al sama Nai, dan ternyata nomor Al masih ada dalam kontak saya. Nomor saya sendiri yang sekarang terhitung baru, tidak ada dalam kontak Al. Saya menghubunginya. Terhubung dengan keluarganya yang memegang nomor Al. Mereka respek kepada saya. Ternyata, Al sering cerita kepada putri sulungnya tentang saya, juga tentang chat terakhir Al dengan saya. Kemudian saya tahu Al sudah dalam kondisi payah. Namun hari kedua, kondisi Al tiba-tiba membaik. Keluarganya mengabarkan kepada saya, kata mereka Al berulang kali minta pulang.
Al yang sehari sebelumnya sudah gak bisa bicara dan sempat kejang, hari itu memaksa ingin bicara sama saya. Suara Al terdengar agak serak, terputus-putus. Ada sedikit isak dalam kalimat-kalimat Al.
Kawan-kawan, Al mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, bukan hanya kepada saya, tetapi terlebih kepada seluruh teman yang membuat Al sungguh berbesar hati dengan adanya mereka–dengan adanya kalian, kawan-kawan. Kemudian juga menyampaikan mohon maaf sebesar-besarnya kalau banyak merepotkan teman-teman. Saya menghiburnya. Saya mencoba menguatkan hatinya. Al harus kuat, harus sembuh. Lebih kurang sepuluh menit bicara, saya yang berinisiatif mengakhirinya untuk menjaga kondisi Al.
Memang ada, satu nama disebut oleh Al. Al nanyain Naisha. Dia nanyain kamu, Nai.
Dari situ kemudian saya benar-benar tahu, bagaimana dekatnya persahabatan dua orang perempuan yang menyimpan beratnya beban hidup tetapi berlainan latar belakang dan kondisinya ini. Persahabatan yang didasari oleh kesungguhan dan ketulusan hati.
Saya jadi ingin memetik satu dialog dalam buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer untuk sedikit menggambarkan indahnya hikmah tali persahabatan mereka ini:
“Pernah kuceritakan kau, kasihan hanya perasaan orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya satu kemewahan, atau satu kelemahan. Yang terpuji memang dia yang mampu melakukan kemauan-baiknya.”
Tanpa disadari, dalam hidup manusia, persahabatan akan saling menghampiri, saling menguatkan, saling menyempurnakan.
Saya tetap intens berkomunikasi dengan beberapa teman yang respek secara moril maupun materil terhadap perkembangan kondisi sahabat kami Al. Selain kontak japri WA kami membuat grup chat messenger.
Hari ketiga, Kamis 21 Desember, kondisi Al kembali memburuk. Saya terus kontak dengan keluarganya. Hari keempat, Jumat 22 Desember, kondisi Al semakin memburuk, tubuh Al sudah menolak makanan yang hanya bisa disalurkan lewat selang.
Jumat jam 20.53 malam, saya telpon dengan keluarga Al. Kami bicara sebentar, kemudian saya di-VC-kan dengan Al dalam jarak dekat.
Al sudah sama sekali gak bisa bicara, matanya tertutup saja. Tapi saat dibilang keluarganya, ini ada Bang Awan. Pelan sekali, kedua mata Al terbuka. Saya menatapnya, dia melihat saya. Kedua mata Al tempak bening sedikit berair, tapi bibirnya tersenyum. Wajahnya tampak bersih sekali. Saya sungguh menyaksikan itu. Kemudian saya bilang dengan pelan, Dengar ya Al, kuat, pasrah dan ikhlaskan, ikutin beristighfar ya Al.
“Astaghfirullahaladzim …. Astaghfirullahaladzim….”
Saya ulangi kalimat istighfar itu beberapa kali dengan pelan. Saya menyaksikan, bibir Al bergerak-gerak pelan mengulangi kalimat itu. Sepasang mata Al tampak memandang lebih terang, kemudian menutup lagi, tetapi bibirnya masih terus bergerak pelan.
Sesaat kemudian dua orang perawat datang, bersamaan dengan datangnya seorang sahabat yang lain, Arie Gadho –saya yang menelpon Arie, sahabat dan saya anggap adik saya yang saat itu memang sedang sangat sibuk, tetapi menyempatkan datang mengunjungi sahabatnya Al. Komunikasi video call kemudia ditutup.
Hanya berselang beberapa menit saja, 21.15, pesan WA masuk, dari nomor Arie.
Bang
Al meninggal dunia , barusan
*****
"Selembar daun jatuh ke tanah Seperti kepala bocah di dada ibunya"
Saya tahu, Arie, nangis, Arca Maya Pada juga nangis, sahabat yang setia setiap hari dampingin ke RS.
Saya tidak biasa menangis, saya tidak biasa meneteskan air mata.
Tetapi saya terpukul. Sebuah pukulan yang membuat bibir saya tersenyum. Sambil memandang langit malam dari teras rumah saya, saya berucap: Ya Allah, di akhir hidupnya, dia menyebut nama-Mu.
Naisha, kau nangislah puas-puas. Sudah kaulakukan juga sih dari kemarin gak putus-putus.
Seperti banyak sekali rupanya, sahabat-sahabat Al, yang aku yakin juga mewek. Yang pernah bertemu, yang baru pengen bertemu, atau yang baru sempat janjian bertemu. Kalian orang-orang hebat berhati terpuji. Berkah Tuhan mengalir untuk kalian semua.
Hidup ini indah, menangislah sepuas-puasnya.
*****
Terakhir saya ingin ngasih puisi, ya, apa lagi yang saya punya, kan? Buat kau, Al, selain kudoakan kau, buat sahabat sejatimu Naisha, dan semua sahabatmu yang berhati mulia. Puisi pendek saja:
Batas Senja memberikan banyak warna Namun sesaat, pudar di mata Gambar yang abadi Mengambil tempat di sudut hati Teduh ciuman air mata hujan, kepadamu Batas kesan, jalan kenangan Yang datang, melepas yang pergi Yang hitam, menyambut yang putih Cinta murni Oh... bertanya siapa aku ini Bengkulu - Parung, 23 Desember 2023
- Kembang Gula - 21 Desember 2024
- Sahabat Sejati - 24 Desember 2023
- Duduk dan Tekun: Apresiasi Puisi karya Winarni Dwi LestariDuduk dan Tekun - 15 Oktober 2023