Ngobrol bersama Romzul Falah Al Fillaily, Naskah Menarik Perhatian Dewan Juri Sayembara Puisi DKJ 2023
Manuskrip “Balai Desa dan Hantu-Hantu Nippon” merupakan salah satu manuskrip puisi yang mendapat anugrah Naskah Menarik Perhatian Dewan Juri Sayembara Puisi DKJ 2023 bersama 4 naskah lainnya. Manuskrip ini dianggap layak sebagai salah satu naskah unggulan DKJ Puisi 2023.
Menurut Juri DKJ, puisi-puisi dalam manuskrip ini terikat kuat oleh suasana muram. Dengan gaya berkisah, manuskrip ini mengangkat nukilan hidup orang-orang biasa dalam peristiwa-peristiwa yang dideskripsian secara jernih dan efektif sehingga menyingkap sisi ruhaniah setiap objek. Klenik, gosip, dan kekerasan berkait peran membentuk situasi horor yang samar-samar, dan situasi tersebut tampaknya berakar pada, serta menjadi bagian dari, sejarah. Konsistensi manuskrip ini melingkupi keajekan lokus kejadian, situasi, nada, dan stabilitas dalam mengeksplorasi materi. Penyisipan diksi bahasa daerah menjadi keunggulan yang berpotensi membawa pembaca masuk ke dalam kosmologi sekala-niskala orang Madura. Gaya wicara disiasati dengan teknik tuturan langsung yang berdiri sendiri, bunyi-bunyi kata, dan majas perbandingan, untuk mempertahankan bangunan puitika. Adapun sejumlah puisi naratif yang terlalu cair sedikit-banyak dapat diselamatkan oleh permainan rima.
Redaksi OmpiOmpi.com berkesempatan untuk ngobrol dengan Romzul Falah pada Rabu malam (26/07/2023) melalui aplikasi Whatsapp Messenger.
Selamat malam Romzul. Bagaimana perasaannya saat manuskrip puisi “Balai Desa dan Hantu-Hantu Nippon” menjadi salah satu Naskah Menarik Perhatian Dewan Juri DKJ Puisi 2023?
Selamat malam, Ompi. Senang, tentu saja. Ini kali pertama ikut Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2023. Meskipun tidak masuk tiga besar, tapi ini jadi motivasi ke diri sendiri untuk belajar lebih keras lagi. Terutama saat membaca pertanggungjawaban dewan juri dan membaca ulang naskah saya, memang terdapat hal-hal yang pada saat penggarapannya kewaskitaan saya meleset.
Apakah sebelumnya sudah pernah ikut ajang serupa?
Belum pernah sama sekali.
Menjadi salah satu Naskah Menarik Perhatian Juri, apakah sudah masuk ke dalam target ketika mengikuti sayembara?
Targetnya masuk tiga besar sebenarnya, seperti kebanyakan penulis yang ikut sayembara ini, lebih-lebih juara satu. Hehe. Semacam meyakinkan diri sendiri, sih. Tapi gak apa-apa, menjadi salah satu Naskah Menarik Minat Dewan Juri sudah pencapaian dalam proses menulis saya.
Berapa lama Anda menyusun naskah manuskrip ini? Lalu bagaiman prosesnya sampai selesai?
Sebenarnya naskah itu tidak langsung rampung dalam periode menulis yang intens. Ada beberapa puisi yang saya tulis di tahun 2021 awal, tapi saat itu tidak dilanjutkan. Baru di tahun 2022, saat saya cuti kuliah di semester 8, naskah itu saya kerjakan kembali. Tapi pada saat Dewan Kesenian Jakarta mengeluarkan maklumat sayembara puisi, naskah yang saya kerjakan belum memenuhi syarat halaman yang ditentukan. Akhirnya saya buka kembali buku catatan yang berisi data-data tema itu, lalu saya menuliskannya sebagai puisi untuk memenuhi persyaratan.
Pada hakikatnya, naskah yang Anda tulis, berisi tentang apa saja? Tematik, atau antologi puisi campuran?
Puisi-puisi tematik. Di naskah Balai Desa dan Hantu-Hantu Nippon, saya menyuguhkan perihal pada klenik, mitos, hal-hal gaib, yang masih terjadi di Batuputih dan menjadi bagian daripada sejarah. Kepercayaan masyarakat terhadap mitos dan mencapur-adukkan dengan ajaran agama, juga menjadi unsur dari naskah ini. Perbedaan makna tentang ‘Barat’ yang bagi kalangan pelajar, Barat memiliki nilai modernis, science, kemajuan teknologi, dsb., tetapi bagi masyarakat Batuputih ‘Barat’ memiliki nilai agamis karena diasosiasikan sebagai Makkah atau Ka’bah. Keadaan seperti itulah yang menjadi tema besar dalam puisi-puisi saya. Lalu perihal ‘Batuputih’ itu sendiri. Sebenarnya fokus puisi-puisi saya hanya ada di dua desa: Juruan Laok dan Juruan Daya, tetapi penggunaan ‘Batuputih’ (yang sebenarnya kecamatan) karena ‘Batuputih’ menjadi identitas personal sekaligus komunal. Orang-orang terdekat saya selalu menyebut ‘Batuputih’ sebagai tempat asal daripada nama desa atau dusun, sekalipun berkenalan dengan orang Batuputih yang hanya beda desa. Jadi bermula dari pertanyaan kenapa Batuputih dianggap lebih mampu menyebutkan alamat daripada Juruan Laok dan Juruan Daya? Meksipun pertanyaan itu hanya pada alasan menggunakan ‘Batuputih’, tidak pada tema besar puisi.
Ada berapa judul puisi dalam satu naskah? Apakah semuanya berkesinambungan?
Sepertinya tidak. Karena satu puisi tidak melanjutkan keberadaan puisi yang lain. Tapi dari 26 puisi, dengan tema yang dan lokus yang sama, semuanya saya tulis dengan upaya menghadirkan suasana suram dan mencekam. Karena saya ingin naskah Balai Desa dan Hantu-Hantu Nippon ini terasa horor, meskipun samar-samar.
Apa istimewanya naskah ini dibandingkan manuskrip puisi lainnya?
Mungkin dari segi tema dan suasana suram yang dibangun. Meskipun sudah ada yang menulis tema semacam ini, tapi yang spesifik tentang Sumenep, terutama Madura, belum ada. Karena selama ini, penulis-penulis Madura kebanyakan mengeksplorasi tema ke-Madura-annya yang universal, bahkan Madura menurut definisi kolonial. Di (penulis) puisi belum ada yang menulis Madura yang ‘domestik.’ Di beberapa puisi dalam naskah ini, saya menyelipkan bahasa Madura sebagai pintu masuk bagi pembaca merasakan kehidupan masyarakat Madura (baca: Batuputih), sekaligus sebagai tanda bahwa hal tersebut ada, dan Madura tidak hanya seperti yang selama ini bermunculan di media dan di buku-buku. Kenapa saya sebut ‘ini Madura’, karena Batuputih bagian dari Madura dan itu sah dikatakan ‘ini Madura’.
Boleh tidak, kasih satu (petikan) atau beberapa larik puisinya yang masuk DKJ 2023 itu.
Berikut petikannya:
Tersiar di langgar-langgar:
seorang tua, seusia paman dan bibi,
mati tersungkur di sumur. Tidak
ada darah, tak ada bekas panah gaib
Batuputih, atau bau mulut jin paku
di perut mayat itu. Jumat Legi,
ia mati sebelum lengket matahari
sesaat setelah Bhurung Tharas berkoak-koak
pukul empat. Waktu seperti kembali
ke bubungan dan emperan, mengingat
ketakutan dan cerita paman.
Siapakah bayi dan muda yang ikut
Maut ke Surga.
(Burung Tharas)
Dalam cerita sebelum kematiannya, Nyai berwasiat,
“Sembelihlah Ayam Celleng dengan pisau
yang dibasuh Air Yasin. Darah itu adalah markah
Gusti Allah teteskan berkah. Sumur hanyalah dunia
sementara air akhiratnya.”
Orang-orang tahu Nyai telah melalui tahun-tahun
sumber hilang. “Dulu sekali, dusun ini hampir mati
bahkan yang belum sempat tahu mengaji.”
(Sejumlah Ayam di Dusun Kapèng)
Benar terasa horor. Apakah genre seperti ini terpengaruh dari banyak hal di kehidupan Anda? Atau oleh sebab apa?
Saya belum mengalami kejadi horor seperti didatangi hantu dan sebagainya, tapi sejak kecil saya dekat sekali dengan cerita-cerita seram dari nenek, dan itu lengket dalam kepala saya hingga saat ini.
Ketika menulis puisi, Anda terpengaruh oleh karya siapa? Apa sebab?
Saya tidak tahu karya siapa yang mempengaruhi puisi-puisi saya, tapi saya mempunyai banyak penulis favorit, di antaranya Goenawan Mohamad, Triyanto Triwikromo, Avianti Armand, Shinta Febriany, M. Aan Mansyur, dan juga Juri DKJ kemarin: Royyan Julian, Kiki Sulistyo, Inggit Putria Marga, termasuk penulis yang puisi-puisinya saya suka.
Menurut Anda, seberapa penting seorang penyair menemukan ciri khasnya sendiri dalam menulis puisi? Dan apakah Anda sudah menemukan itu?
Terkait penting tidaknya seorang penyair memiliki ciri khas dalam menulis, tentu bisa diperdebatkan. Tapi secara pribadi, saya lebih suka menulis puisi yang berbeda dengan puisi yang saya tulis sebelumnya, baik secara bentuk ataupun tema. Setelah ini saya ingin menulis puisi yang tidak lagi menulis dengan cara yang sama dengan Balai Desa dan Hantu-Hantu Nippon. Dan ini cukup berhasil, karena Balai Desa dan Hantu-Hantu Nippon berbeda dengan buku puisi pertama saya Sebuah Kota yang Menculik Kita. Apakah itu juga bisa dikatakan ciri khas?
Baik. Lalu bagaimana cara Anda menemukan ide, menulis puisi, atau meriset sesuatu untuk dijadikan sebuah karya?
Membaca genre buku-buku lain dan meriset sesuatu untuk dijadikan sebuah karya.
Bisa diceritakan sejarah singkat kepenulisan Anda, khususnya dalam bidang sastra.
Sebenarnya saya tidak punya cerita menarik seperti kebanyakan penulis lainnya. Sejak awal, saya belajar menulis secara otodidak. Saya mulai menulis puisi saat duduk di kelas IX. Tapi saat itu hanya iseng-iseng karena melihat teman sebangku saya yang rajin menulis puisi. Barulah ketika masuk di kelas XI saya mulai serius dan mulai baca buku-buku sastra sekalipun buku-bukunya terbatas. Kesukaan itu berlanjut hingga kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Di kampus, selama 4 setengah tahun, saya tidak memiliki teman diskusi atau teman belajar sastra. Akhirnya ketika sudah menyelesaikan skripsi, saya dan teman-teman dari kampus lain membentuk Komunitas Tarèbung Cangka, dan itu berlangsung hingga saat ini.
Apa target selanjutnya?
Membaca buku sebanyak mungkin, menulis sebaik mungkin.
Oke, Romzul. Terima kasih atas waktu. Sukses. (Red)
- Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-79 - 6 Agustus 2024
- Sastrawan dan Penulis Payakumbuh Tolak Masuknya “Satu Pena” ke Payakumbuh - 14 Juli 2024
- Selamat Hari Raya Idulfitri 1445 H - 9 April 2024