Formulir Masuk Surga (Lanjutan)
Sebelumnya: Risalah dari Kampung Tengah: Episode 01
Malamnya, aku duduk sendiri di teras. Langit tampak biasa saja, padahal hari ini aku secara resmi dianggap umat kelas dua di lingkungan sendiri. Sambil menyeruput kopi, aku mendengar toa masjid berbunyi:
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Diumumkan bahwa rapat penentuan amal warga RT 06 akan diadakan malam ini di aula masjid. Wajib hadir. Yang tidak hadir, akan dicatat malaikat lewat panitia.”
Aku tak bisa menahan tawa. Malaikat sekarang outsourcing ke panitia RT?
Istriku keluar membawa piring berisi gorengan dengan ekspresi yang setengah khawatir. “Uda, jangan terlalu nyentil. Nanti dianggap sesat.”
Aku mengangguk. Aku paham kekhawatirannya. Tapi diam juga membuatku sesak. Di desa ini, kadang kebenaran bisa kalah oleh jumlah dan volume speaker.
Aku pun datang ke rapat itu, duduk paling belakang, seperti biasanya. Di depan, ada empat tokoh penting: ketua takmir, ustaz lokal, ketua pemuda, dan satu tokoh misterius yang katanya punya “sanad ruhani” langsung ke Nabi melalui mimpi tiga tingkat.
“Bapak-bapak, malam ini kita akan bahas siapa saja yang layak dapat stiker ‘Warga Surga Harapan’,” kata ketua RT membuka. “Stiker ini akan kita tempel di depan rumah masing-masing. Yang belum dapat, mohon evaluasi diri.”
Aku terbatuk.
“Maaf, Pak RT. Kalau rumah dapat stiker surga, tapi di dalamnya suami masih main tangan ke istri, itu masuk surga juga?”
Beberapa orang melirik tajam. Ketua pemuda membalas, “Itu urusan pribadi. Kita bahas amal kasatmata dulu.”
Lalu dibacakan daftar “amal kasatmata”. Ada yang dinilai dari panjang jenggot, banyaknya unggahan religi di media sosial, jumlah zikir setiap hari, hingga frekwensi sedekah nasi bungkus setiap Jumat untuk jemaah mesjid.
Aku melirik orang sebelahku, Pak Rofi’i, guru pensiunan yang tiap hari bersih-bersih masjid sendirian. Namanya tak disebut. Padahal dia yang membetulkan kran wudu, mengganti bohlam kamar mandi masjid, dan bahkan membantu menyiapkan makan malam acara maulid yang katanya “bidaah” itu.
Aku angkat tangan lagi. “Pak, kenapa nama Pak Rofi’i enggak masuk? Padahal beliau tiap hari kerja sosial diam-diam.”
Ketua takmir menjawab, “Maaf, beliau tidak aktif di grup WhatsApp masjid. Dan waktu pengajian kitab, beliau bilang belum tentu semua karomah wali itu benar. Itu bisa memengaruhi akidah jamaah.”
Pak Rofi’i menunduk. Aku ingin berdiri, memeluknya. Tapi suasana terlalu kaku untuk itu.
Tiba-tiba lampu mati. Gelap. Semua orang panik.
Seseorang berkata, “Mungkin ini pertanda dari langit.”
Aku buru-buru merogoh senter dari tas. Saat sinarnya menyorot dinding, aku melihat sesuatu yang ganjil—di tembok aula tergantung pigura besar bertuliskan “Surga: Terbuka untuk Semua, Bukan Pilihan Komite”. Entah sejak kapan pigura itu dipasang. Mungkin sengaja ditutup saat acara dimulai.
Lampu kembali menyala. Pigura itu langsung dilepas oleh petugas. Disingkirkan diam-diam.
Malam itu aku pulang dengan langkah lambat. Di sepanjang jalan, kulihat rumah-rumah dengan stiker “Warga Surga Harapan”—stiker yang seragam warnanya, tapi tak seragam perilaku penghuninya.
Aku masuk rumah, lalu duduk di depan cermin. Kupandangi wajahku sendiri. Bertanya, “Apa aku masih waras atau sekadar pemberontak sepi?”
Anakku masuk kamar, membawa gambar baru. Kali ini ia menggambar surga sebagai taman luas yang tak berpagar. Di pintunya tertulis: “Yang Jujur dan Rendah Hati, Silakan Masuk. Tak Perlu Stiker.”
Aku tempelkan gambar itu di dinding rumah.
Esok paginya, seseorang mencabutnya dan mengganti dengan stiker resmi RT.
Tak apa, pikirku. Yang penting, aku tahu ke mana arah hatiku pergi.
Bersambung …
Catatan Penulis:
Cerbung ini disusun dengan memadukan perenungan pribadi, pembacaan dari berbagai literatur cetak dan digital, serta diskusi panjang dengan bantuan kecerdasan buatan sebagai mitra berpikir. Meskipun demikian, seluruh arah dan nilai cerita tetap berasal dari keyakinan dan sudut pandang penulis sendiri. Semua tokoh, alur, dan peristiwa dalam cerbung ini adalah fiktif belaka. Jika terdapat kesamaan dengan kejadian nyata, itu semata-mata kebetulan yang tidak disengaja.
- Risalah dari Kampung Tengah: Episode 03 - 20 April 2025
- Antara Kualitas dan Keviralan: Rahasia di Balik Meledaknya Film Jumbo - 20 April 2025
- Meja Kerja yang Ingin Jadi Pohon - 19 April 2025