Representasi Alam dalam Puisi “Terbaring” Karya Sapardi Djoko Damono

Representasi Alam dalam Puisi “Terbaring” Karya Sapardi Djoko Damono

Puisi sering disandingkan melalui perumpamaan yang didapat dari alam. Itu sebabnya pepatah, bidal dan pantun (dalam sampirannya) banyak mengambil bahan dari alam. Kemudian dikembangkan menjadi sebuah kiasan, simbolik, yang mengacu pada penerangan hidup, filsafat, yang mampu membuat manusia merenung akan hingar-bingarnya hidup.

Puisi-puisi yang mengambil tema alam sebagai perbandingan dan kiasan hidup, banyak diambil oleh puisi-puisi modern beraliran imajis. Puisi yang memakai kekuatan citraan (imaji); (imagery), sebagai wadah utamanya ini, mampu menyihir pembaca. Ia masuk ke alam khayal pembaca.

Secara umum, puisi imajis adalah puisi yang mengandung makna bahwa puisi itu sarat dengan imaji (visual, auditif, dan taktil) atau mendayagunakan imaji sebagai kekuatan literernya. Imaji bisa dimanfaatkan sebagai rasa (kesatuan makna kata), metafora (perbandingan makna kata), maupun sebagai muatan utama sebuah puisi (Banua, 2004). Pemanfaatan citraan ini, merupakan faktor penentu di sebalik sombol dan metafor yang disuguhkan. Tak jarang alam menjadi hidup melalui personifikasi yang mengalir.

Salah saeorang mastro puisi imajis di Indonesia adalah Sapardi Djoko Damono. Puisinya yang bening dan mengalir mampu membuat sejuk kerongkongan para pembaca. Seolah hidup dan berjalan dalam pikiran kita, sebagaimana puisi berikut ini:

Terbaring

Kalau aku terbaring sakit seperti ini
suka kubayangkan ada selembar daun tua
kena angin dan lepas dari tangkainya
melayang ke sana kemari tanpa tenaga

Kalau aku terbaring sakit seperti ini
suka kubayangkan kalian nun jauh di bukit sana
berebut menangkap daun yang melayang-layang itu
dan penuh rindu menciumnya berulang kali

Pada hakikatnya, tak ada manusia yang bisa menghindari maut. Tetapi, kecemasan-kecemasan yang muncul sesaat dan mendekati maut adalah hal ingin disampaikan oleh Sapardi. Sakit bisa saja menjadi gerbang untuk memasuki alam kematian. Sapardi, dengan umurnya semakin renta, tentu menyadari hal ini.

Puisi yang ditulis dengan mengambil metafor besar alam, pengandaian melalui simile, sedikit personifikasi, merupakan imaji jauh dari seorang Sapardi. Kita bisa menghayati dengan dalam apa-apa yang ia sampaikan melalui daun yang jatuh dan embusan angin. Sejatinya manusia tidak ada jauh beda dengan daun yang jatuh, daun yang gugur. Lemah tanpa tenaga. Terombang-ambing. Ke mana angin membawanya sebelum ia benar-benar sampai ke tanah (dalam artian maut). Begitu pula dengan sanak keluarga di dunia sana. Ketika kita sakit, tanpa sadar, kita dianugerahi perhatian luar biasa. Apakah perhatian itu dalam bentuk kasihan? Bisa saja dalam bentuk rindu, yang seolah-olah kita sedang mendekati batas akhir hidup di dunia. Keadaan ini mengingatkan kita hubungan antara anak dan ibu, anak dan ayah, saudara dan sanak keluarga yang cenderung lupa saat di dunia. Pada saat akhir hayat, mereka baru sadar bahwasanya kita adalah bagan yang benar-benar mereka ingini. Ke mana saja mereka selama ini? Apakah rindu yang menggebu hanya serupa kamuflase sesaat saja?

Ketika kita mati, orang berbondong menangis, bersedih, menyesal, dst.,  —pada saat hidup tidak berbuat banyak. Tetapi itu hanya erofia sesaat. Mereka cenderung mengulang kisah serupa pada kejadian yang lain. Dalam lemah kita sakit. Dalam sakit kita bukan siapa-siapa, selain perhatian yang kita butuhkan dari keluarga. Perhatian yang bukan karena kita akan mendekati tiada.

2017

Indra Intisa
Ikuti saya
Latest posts by Indra Intisa (see all)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *