(Sutardji) Lahir di Rengat, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941, beliau dianggap sebagai salah satu pelpor Angkatan 66 dan Presiden Penyair Indonesia. Beliau terkenal dengan puisinya yang eksperimental, imajinatif, dan penuh metafora, dan seringkali memecah struktur dan aturan tata bahasa tradisional. Beliau meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 2020, meninggalkan warisan yang kaya dalam dunia sastra Indonesia. Karyanya terus dibaca dan dipelajari oleh generasi baru penyair dan pecinta sastra dan akan selalu dikenang sebagai salah satu maestro puisi Indonesia. (Hlm: 436)
Beberapa hari ini sempat heboh terkait isi dari buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang disebut tidak adil dalam memasukkan buku-buku rekomendasi. Buku dari Program “Sastra Masuk Kurikulum”, turunan dari Episode Merdeka Belajar ke-15 yang digagas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI ini, yang seharusnya menjadi angin segar dalam pengenalan sastra yang lebih luas untuk anak-anak sekolah, berbuntut panjang. Beberapa orang berpikir, program ini seakan tidak ada bedanya dengan program lain yang hanya diisi oleh orang-orang mereka sendiri, sebagai bagaian kanonisasi yang dianggap subyektif.
Iyut Fitra misalnya, ia sangat menyayangkan cara penyusunan dari buku tersebut yang hanya memasukkan nama-nama tertentu tanpa mempertimbangkan mama lain yang seharusnya juga sangat layak masuk, sebagaimana bukunya sendiri.
“Tahun 2020 buku puisi saya “Lelaki dan Tangkai Sapu” mendapatkan penghargaan sastra dari Badan Bahasa Kemendikbud RI. Waktu itu jurinya Abdul Hadi WM, Eka Budianta, Joko Pinurbo. Tahun 2019 buku puisi saya yang berjudul “Mencari Jalan Mendaki” dapat penghargsan dari Perpusnas RI, jurinya Maman S. Mahayana dkk., tapi ketika ada program sastra masuk kurikulum buku tersebut tidak direkomendasikan. Apakah juri atau penghargaan tersebut tidak diakui?” sesalnya pada sebuah postingan Facebook–di beranda Facebook sendiri, Selasa (21/05/2024).
Kekecawaan Iyut Fitra sangat wajar. Bagaimana tidak, jika buku panduan ini dibuat dan disusun oleh Kemendikbud RI sendiri, tetapi dalam penyusunannya, tidak memasukkan buku yang pernah juara dalam event atau penghargaan yang mereka buat sendiri. Ini terasa aneh bin ajaib. Orang bisa mendunga-duga, ada apa gerangan? Apakah mereka tidak percaya pada hasil penghargaan yang mereka buat sendiri, atau ada alasan lain?
Maman S Mahayana dalam postingan Facebooknya, Rabu (22/05/2024) turut menanyakan konsep penyusunan dari buku paduan tersebut.
“Dalam pemilihan buku sastra itu, ada kriteria penilaian dan argumen yang mendasarinya. Ketika kumpulan puisi J.E. Tatengkeng atau Amir Hamzah dipilih untuk bahan penunjang, pelengkap atau pengembang pengajaran (sastra) di sekolah dasar, pertanyaannya: sesuai nggak dengan tingkat keterbacaan, keterpahaman, dan kesesuaian wawasan atau pengetahuan siswa SD? Sebagian besar guru sastra (di SD, SMP, SMA) saja banyak yang nggak mudeng, gimana nasib para siswanya? Misalnya lagi, novel Stasiun, Putu Wijaya yang peristiwanya dikembangkan lewat pikiran tokoh-tokohnya yang lalu dikenal sebagai teknik arus kesadaran (stream of consciousness), bagaimana menjelaskannya berkaitan dengan alur cerita jungkir balik yang menghancurkan logika formal dan hubungan sebab-akibat?” tanyanya
Kemudian lanjutnya, “Saya kutip keterangan yang disampaikan di halaman 618 buku panduan: “Novel –Stasiun—yang memenangkan sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975 ini plot cerita yang utuh, alur yang tegas, karakter atau penokohan yang subtil dan konsisten.” Plot cerita yang utuh itu yang gimana? Alur yang tegas itu yang kayak apa? Memangnya, plot dan alur itu makhluk yang berbeda? Lalu, apa pula maksud penokohan yang subtil dan konsisten? Jadi, pilihan buku apa pun, silakan! Tapi tolong, penjelasan tentang buku itu jangan ngawur bin kacauw alias jangan asal jeplak!”
Sebenarnya, kita boleh bersenang hati ketika ada niat baik dari pemerintah untuk menyusun dan memberikan tempat bagi karya sastra Indonesia dalam dunia pendidikan. Hal ini merupakan salah satu yang ditunggu-tunggu—diingini banyak pihak—di tengah surutnya minat baca masyarakat, khususnya karya sastra.
Menurut Kemendikbudristek melalui Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Anindito Aidotomo, dalam acara Hari Buku Nasional 2024 bertema “Sastra Masuk Kurikulum” di Plasoa Insan Berpestasi, Komplek Kemendikbudristek, Jakarta, Senin (20/05/2024), pemanfaatan karya sastra sebagai sumber ajar itu penting. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, serta mengasah kreativitas dan nalar peserta didik.
Program Sastra Masuk Kurikulum diinisiasi sejak tahun 2023 oleh Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) sebagai bagian dari Episode Merdeka Belajar ke-15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar. Program ini mengajak sastrawan, akademisi, dan pendidik untuk mengintegrasikan sastra dalam pembelajaran di sekolah, sehingga tidak hanya menjadi bahan bacaan umum juga sebagai alat pembelajaran yang menyeluruh dan variatif.
Berdasarkan hal itu, tercatat ada 17 orang sebagai penyusun: bertidak sebagai Tim Kurator Buku Sastra, yaitu:
- Abidah El-Khalieqy
- Dewi Kharisma Michellia
- Eka Kurniawan
- Felix K. Nesi
- Oka Rusmini
- M. Aan Mansyur
- Mahfud Ikhwan
- Martin Suryajaya
- Okky Puspa Madasari
- Ramayda Akmal
- Reda Gaudiamo
- Saras Dewi
- Triyanto Triwikromo
- Zen Hae
- Agustinus Prih Adiartanto
- Iin Indriyati
- Sekar Ayu Adhaningrum
Selain juga ada Kontributor dari Guru yang bertidak sebagai Tim Reviewer Buku Sastra sebanyak 39 orang, maka mereka-mereka itulah yang bertanggungjawab akan pilihan buku yang disusun dalam Buku Paduan tersebut.
Panduan ini dimaksudkan untuk membantu pendidik dalam memanfaatkan Daftar Rekomendasi Buku Sastra dalam pembelajaran di kelas. Panduan ini dilengkapi dengan disclaimer/penafian di setiap rekomendasi buku untuk menjadi pertimbangan bagi para pendidik dalam memilih buku sastra agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan sekolah. Pemanfaatan buku sastra dalam implementasi Kurikulum Merdeka bertujuan untuk meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas, serta nalar kritis peserta didik di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Pertanyaan, apakah buku yang dipilih itu juga mempertimbangkan alasan moral, dsb., merujuk ada beberapa buku karya sastra yang potensial tetapi tidak dimasukkan ke dalam buku rujukan, sebagaimana contoh buku: Sergius Mencari Bacchus karya: Norman Erikson Pasaribu. Buku ini berhasil memenangkan Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015 dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2016. Selain itu,buku ini juga juga salah satu pemenang dari PEN Presents oleh English PEN. Buku itu bersaing dengan lima buku lainnya di Translation Pitch di London pada Juni 2017 lalu. Tetapi apakah karena buku ini mengangkat tema-tema homoseksualitas dengan acuan psikologis, teologis, serta budaya populer sebagai pertimbangan untuk tidak dimasukkan sebagaimana mungkin dengan beberapa buku lainnya yang juga punya potensial masuk tetapi tidak diloloskan?
Kalau benar demikian, kenapa pada kasus lain, tema ini justru diangkat sebagai bahan pembahasan di kelas sebagaimana yang disebut dalam buku panduan pada halaman 366, yaitu memuat buku puisi “Arsitektur Hujan” karya Afrizal Malna. Padahal lanjutan di halaman 367, ada bahasan yang mengangkat: 1) Bersinggungan dengan LGBTQ+ 2) Bersinggungan dengan seksualitas 3) Bersinggungan dengan tindak bunuh diri. Kenapa polemik itu yang ditonjolkan pada buku ini?
Dalam buku tersebut dijelaskan, Proses kuratorial yang dilakukan dalam kurun waktu Juli 2023 sampai dengan Desember 2023 dimulai dengan penentuan dan penyusunan kriteria kurasi. Kriteria utama disusun berdasarkan Dimensi, Elemen, dan Subelemen pada Profil Pelajar Pancasila yang tertuang dalam Keputusan Kepala BSKAP No.009/H/KR/2022. Kemudian ditambahkan pula kriteria sastrawi dengan menimbang beberapa variabel yaitu, 1) karya sastra dalam daftar tersebut merepresentasikan keberagaman gender serta daerah/geografis para sastrawan maupun topik yang dibahas; 2) keberagaman zaman dengan menyertakan karya-karya dari periode awal hingga para penulis dari generasi terkini; 3) merepresentasikan keberagaman tema; 4) merepresentasikan kelompok minoritas; serta 5) merepresentasikan keragaman bentuk sastra dalam artian karya sastra yang dipilih tidak terbatas pada prosa/puisi tetapi juga bentuk-bentuk lainnya yakni komik, cerita bergambar, naskah drama, skenario film, hingga esai-esai kebudayaan. Untuk memastikan standar mutu karya-karya tersebut, tim curator juga menimbang berdasarkan penghargaan yang telah diperoleh, apakah karya tersebut telah diterjemahkan ke bahasa asing, dialihwahanakan, hingga dibahas dalam resensi-resensi di media yang memiliki kredibilitas ataupun menjadi subjek kajian akademis berupa skripsi, tesis, atau disertasi. Proses kurasi dilanjutkan dengan proses reviu dan penyusunan panduan penggunaan buku sastra oleh para pendidik dalam kurun waktu Februari-April 2024. Kedua proses tersebut menghasilkan Daftar Rekomendasi Buku Sastra dan Panduan Penggunaan Buku Sastra untuk mendukung terlaksananya Program Sastra Masuk Kurikulum hingga ke ruang-ruang kelas.
Kalau membaca penjelasan di atas, tidak ada yang asing dan aneh dari cara penilaiannya, Hanya saja, tim kurasi perlu menjelaskan dengan jelas bagaimana cara tim mengurasi buku-buku tersebut sehingga apa yang jadi poin lebih/penting sehingga buku lainnya bisa ditolak atau diterima. Jika tidak, jangan heran akan muncul suara-suara sumbang dari luar, bagaimana konsep penyusunannya, ataukah memang ada keberpihakan terhadap penulis tertentu dan alasan subyektif lainnya.
Salah satu bentuk subyektif yang dikritisi orang-orang adalah ketika karya para kurator dimasukkan ke dalam referensi buku panduan. Karena biasanya, kurator dan penyusun akan berusaha obyektif dengan tidak memasukkan karya sendiri sebagai pilihan utama. Sekalipun mungkin alasannya adalah kuartor yang lain saling memilih. Tapi ini tetap akan terasa janggal. Seolah kanonisasi ini adalah permainan orang dalam.
Kemudian, ada baiknya, sebelum buku dilempar ke publik, bisa juga diuji terlebih dahulu. Mungkin bisa dengan memanggil sastrawan atau akedemisi di luar para penyusun inti. Bisa juga kepada publik lainnya untuk bisa diunduh secara publik, kemudian dibuat tempat untuk memberikan masukan, saran, atau semacam sanggah sebelum buku tersebut benar-benar terbit. Tujuannya agar tidak muncul stigma negatif kanonisasi atau kelompok-kelompok yang dianakemaskan atau sebaliknya.
Kita paham, tidak ada yang sempurna di setiap penyusunan sesuatu. Tetapi semakin baik kurasinya, editor, dan semacamnya, tentu kemungkinan hasilnya akan semakin bagus. Sebagai contoh, kami membaca pada halaman 420. Halaman tersebut mengenalkan sebuah buku Puisi fenomenal karya Sapardi Djoko Damono. Lengkap dengan jenis buku, tahun terbit, sampul, dsb. Anehnya, dalam keterangan penjelasan buku dan bahan ajaran, isinya tidak menjelaskan puisi-puisi yang terdapat di dalam buku. Justru sebaliknya, yang dibahas adalah novel. Kami menduga, ada kekurangtelitian para penyusun dalam menulis ini. Kita tahu, kalau Sapardi Djoko Damono memang mempunyai beberapa karya terkait Hujan Bulan Juni, seperti buku puisi dan juga novel. Jika mau memasukkan novel sebagai bahasan, harusnya jangan disemantkan keterangan buku puisi di awal pembahasan. Tapi di luar bahasan ini, akan kurang tepat rasanya jika referensi novel lebih diutamakan dibandingkan puisi. Karena, buku puisi Hujan Bulan Juni jauh lebih besar dan melegenda dibandingkan novel. Lalu kenapa ini jadi kacau penjelasnnya? Bukankah ada banyak penyusun dan kurator membaca buku ini sebelum diterbitkan?
Kejadian seperti ini juga terjadi di beberapa halaman lain, sebagai contoh: “Puisi Bunga di Atas Batu” karya Sitor Situmorang, gambar jilidnya berbeda dengan buku sebenarnya–menjadi sampul novel Aesna (hlm: 428).
Hal yang paling fatal terlihat pada halaman 436, terkait biografi dari penyair Sutardji pada bahasan buku O, Amuk Kapak. Sebagaimana tertulis di bawah ini:
“Lahir di Rengat, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941, beliau dianggap sebagai salah satu pelpor Angkatan 66 dan Presiden Penyair Indonesia. Beliau terkenal dengan puisinya yang eksperimental, imajinatif, dan penuh metafora, dan seringkali memecah struktur dan aturan tata bahasa tradisional“.
“Beliau meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 2020, meninggalkan warisan yang kaya dalam dunia sastra Indonesia. Karyanya terus dibaca dan dipelajari oleh generasi baru penyair dan pecinta sastra dan akan selalu dikenang sebagai salah satu maestro puisi Indonesia.”
Bagaimana bisa para penyusun menjadi teledor dalam menyusun sebuah buku penting? Terkait typo-typo kecil, mungkin orang bisa memahami, dalam tanda kutip. Tetapi ini bukan kesalahan ketik yang kecil. Efeknya sungguh besar.
Kami belum sempat membaca detil semua bahasan, bisa pula ada beberapa poin yang lain bermasalah karena kekurangtelitian penyusun. Walau begitu, sebagaimana yang kami sebut sebelumnya, kita boleh senang karena ini adalah awal yang baik untuk kembang tumbuh sastra kita. Ke depannya, kami berharap akan ada perbaikan-perbaikan agar menjadi lebih baik.
- Tinjauan Psikologis atas Puisi “Adegan Film yang Belum Pernah Kau Tonton” Karya Titan Sadewo - 2 Maret 2025
- Takut AI, Tapi Percaya AI: Ironi Dosen dan Pakar dalam Menilai Tulisan - 1 Februari 2025
- KALA DOSA PADA LAUT - 25 Januari 2025