Kita hidup di dalam sebuah negara yang hancur!
Hancur bukan hanya dalam arti permukaan: infrastruktur yang ambruk, harga yang melambung tinggi, ketimpangan yang menganga, serta negara yang perlahan mundur dari tanggung jawabnya tetapi semakin memperketat cengkeraman kekuasaannya. Negeri kita hancur dalam arti yang jauh lebih dalam dan mengkhawatirkan: kesadaran kultural, imajinasi moral, bahkan dalam bahasa kesusateraannya itu sendiri; bahasa yang seharusnya menjadi saluran bagi rasa sakit kolektif, mimpi-mimpi yang tertunda, dan tuntutan atas keadilan, kini jelas terdengar kabur.
Salah satu kondisi paling mengkhawatirkan dalam kebudayaan sastra di negeri kita yang hancur ini adalah sikap dangkal dan merendahkan terhadap puisi yang berbicara secara terang, politis, dan sosial. Kita telah dilatih oleh campuran estetisisme yang tidak pada tempatnya, dan mentalitas borjuis naif untuk percaya bahwa “puisi yang besar” haruslah selalu yang ambigu, privat, simbolik hingga tak terjangkau! Makin rumit dipahami, makin pantas dimasukkan ke kanon. Makin kabur, makin dianggap “keren” dan pantas dimenangkan, bahkan kriteria ini ditimpakan pada puisi-puisi yang jelas sedang mengusung suara-suara kritik sosial.
Dalam iklim seperti ini, Puisi Realisme Sosial kerap dicibir sebagai “terlalu jelas,” “terlalu marah,” atau “terlalu gampangan.” Ia dituduh tidak punya subtilitas, tidak punya nuansa, tidak intelek, atau tidak punya nilai seni. Tapi semua kritik ini melupakan satu hal mendasar: kejelasan bukanlah kebodohan. Kemarahan bukanlah keburukan. Kesederhanaan bukanlah kekurangan akal. Dan reportase yang gamblang bukanlah berarti sekadar menjiplak kenyataan! Sebuah puisi yang berbicara tentang kondisi krisis dengan gamblang bisa jauh lebih mendalam dibandingkan teka-teki metaforis yang berputar-putar tapi kosong vitalitas, sebab bisa jadi ia sedang melaksanakan tugasnya untuk berani mengoyak selubung ideologis yang memanipulasi keadaan sebenarnya kepada publik luas.
Realisme Sosial ini, jarang dibahas bagaimana ia dibangun, kenapa ia penting, apa artinya menulis dari posisi rakyat, dan bagaimana puisi bisa menjadi arena pertarungan ideologis. Sebaliknya, diskursus sastra kini lebih sering terjebak dalam glorifikasi terapi pribadi atau lagi-lagi melulu untuk main-main kata yang setengah-setengah untuk menyatu dalam kesadaran sejarah dan derita rakyat yang nyata. Singkatnya: kita hidup dalam bangsa yang penuh penderitaan, tapi budaya puisinya takut untuk berteriak.
Dan di tengah-tengah kehancuran ini, sekali lagi, saya menemukan satu ironi pahit: Puisi Realisme Sosial, yang seharusnya menjadi senjata vital dan hidup di tangan rakyat tertindas, kini justru disalahpahami, diremehkan, bahkan diabaikan — bukan hanya oleh publik, tapi lebih tragis lagi, oleh para kurator sastra dan para penjaga “warisan rohani” bangsa. Puisi Realisme Sosial diabaikan, disalahpahami modus keberadaanya, dan dikaburkan visi ideologisnya dan diperlakukan seolah hanya pamflet murahan, bukan sebagai tradisi hidup yang menyala yang sangat penting untuk kondisi zaman ini.
Karena itulah saya merasa mendesak dan mutlak merancang sebuah kursus intensif dan ketat yang terbuka secara berkala, untuk memperkenalkan kembali Realisme Sosial kepada generasiku dan kepada siapa pun yang percaya bahwa puisi yang keras belum mati, bahwa puisi masih bisa menyediakan suara yang membakar kesadaran, dan yang mampu menyusun kembali keberanian. LAWAN!
- Ilusi Kritik di Ranjang Pasar - 11 Mei 2025
- Realisme Sosial: Empat - 24 April 2025
- Realisme Sosial: Tiga - 23 April 2025