Realisme Sosial: Dua!

Realisme Sosial: Dua!

Apa Itu Realisme Sosial?

Realisme Sosial bukan sekadar genre sastra atau gerakan seni—ia adalah cara memandang dunia. Ia lahir dari luka-luka modernitas dan kapitalisme industri, dan menempatkan kondisi manusia dalam sistem-sistem yang membentuknya: ekonomi, kelas, kekuasaan, dan kerja. Sementara realisme umumnya mencoba menggambarkan kehidupan sebagaimana adanya, Realisme Sosial mempertegas ambisi itu dengan memusatkan perhatian pada struktur sosial yang menentukan pengalaman, terutama di kalangan kelas pekerja dan kelompok tertindas. Ia menaruh orang-orang biasa di tengah narasi, bukan sebagai korban pasif, tetapi sebagai subjek yang terjerat dan dibentuk oleh kekuatan sejarah. Dengan demikian, Realisme Sosial bukan sekadar deskripsi; ia adalah dakwaan sekaligus deklarasi.

Istilah “realisme” sering disalahpahami. Ia bukan sekadar lawan dari fantasi, tetapi komitmen pada dunia yang dapat diamati—pada tanah yang kotor di bawah kuku, suara barisan mogok, nyeri akibat sewa yang belum terbayar. Lebih dari itu, Realisme Sosial menuntut lebih dari sekadar menggambarkan permukaan; ia menafsirkan dunia, mengungkap mekanisme tak kasat mata dari perjuangan kelas, kekerasan sistemik, dan kelalaian institusional. Dalam hal ini, ia adalah realisme dengan hati nurani politik. Ia tidak hanya menggambarkan seorang buruh tambang—ia menggambarkan buruh itu dalam logika ekonomi ekstraktif, kemiskinan turun-temurun, dan ketidakpedulian negara. Setiap objek, gerakan, dan detail menjadi teks sosial.

Kata “sosial” dalam Realisme Sosial adalah muatan ideologisnya. Ia menyatakan bahwa kenyataan yang ditampilkan bukanlah kejadian yang terisolasi atau kebetulan, melainkan bagian dari jaringan sebab-akibat yang lebih luas. Seorang perempuan yang menangis di jalan bukan hanya drama manusia—mungkin itu hasil penggusuran, utang medis, eksploitasi berbasis gender, atau kekerasan negara yang rasial. Perhatian terhadap aspek sosial membuat Realisme Sosial selalu bekerja secara dialektis—ia melihat yang privat sebagai politik, yang personal sebagai struktural. Inilah yang membedakannya dari bentuk realisme lain yang sekadar menghadirkan simpati tanpa penjelasan. Di mana realisme biasa berhenti pada empati, Realisme Sosial menuntut solidaritas.

Realisme Magis, yang sering dibandingkan dengan Realisme Sosial, bergerak ke arah berbeda. Meski keduanya membahas kebenaran mendalam tentang masyarakat, Realisme Magis menyelubungi kebenaran itu dalam metafora dan mistisisme. Ia menggunakan hal gaib sebagai logika puitik untuk mengekspresikan trauma, warisan kolonial, atau ingatan budaya. Sedangkan Realisme Sosial menyingkap semua ilusi; ia meyakini bahwa kenyataan sudah cukup ajaib dalam kekejaman dan keindahannya. Tak perlu wanita terbang atau hantu berbicara jika seorang anak yang bekerja di tambang kobalt atau pengungsi yang tenggelam di Laut Tengah sudah cukup sebagai kebenaran. Ia menukar keajaiban sureal dengan kejernihan sistemik. Ia tidak mendistorsi dunia—ia menyingkapnya.

Realisme Sosial menjadi kekuatan penentu pada abad ke-19 dan 20, terutama di masa-masa gejolak revolusioner. Di Rusia, penulis seperti Maxim Gorky membentuk awal sastra Soviet dengan penggambaran perjuangan proletar dan bangkitnya kesadaran kelas. Di Amerika Serikat saat Depresi Besar, penulis seperti John Steinbeck menggambarkan penderitaan petani migran dan keputusasaan kapitalis. Langston Hughes dan para penyair Harlem Renaissance lainnya membawa Realisme Sosial Kulit Hitam ke dalam kanon sastra Amerika, menghubungkan ras, kemiskinan, dan perlawanan. Gerakan-gerakan ini bukanlah kebetulan historis—mereka mencerminkan bagaimana krisis memaksa sastra untuk memilih: menghadapi dunia atau mengkhianatinya.

Puisi, dalam wilayah Realisme Sosial, menjadi sekaligus dokumen dan senjata. Ia mencatat ketidakadilan dengan presisi liris, namun juga menggugah audiensnya menuju kesadaran dan bahkan pemberontakan. Sebuah puisi tentang antrean roti bukan sekadar gambaran emosional—itu adalah interogasi atas kebijakan ekonomi. Sebuah puisi tentang kerja paksa di penjara menjadi catatan kapitalisme karseral. Bahasa di sini bukan hiasan. Ia fungsional, pemberontak, hidup dengan kemungkinan politik. Penyair Realisme Sosial tidak mundur ke dalam subjektivitas, tetapi menciptakan makna di dalam parit pengalaman kolektif.

Fungsi puisi Realisme Sosial bukan untuk memperindah keputusasaan, tetapi untuk memuliakan kehidupan yang diabaikan budaya arus utama. Ia memberi suara pada mereka yang dibungkam—bukan dengan mewakili rasa sakit mereka, tetapi dengan menciptakan ruang agar kisah mereka hadir dalam wacana publik. Puisi-puisi ini sering berpijak pada diksi sederhana dan citraan konkret, menghindari kemabukan metafora demi kejernihan makna. Namun di balik kesederhanaan itu terletak kedalaman—penolakan untuk mengabstraksikan penderitaan atau menggeneralisasikannya. Ia menghormati spesifikasi hidup manusia: nama seorang pemimpin serikat yang terbunuh, alamat rumah yang dibom, harga beras setelah sanksi.

Berbeda dengan Romantisisme yang sering mengindividualkan penderitaan, Realisme Sosial membangun kekuatannya melalui kolektivitas. Ia meminta kita melihat migran bukan sekadar sebagai tubuh yang menyeberangi batas, melainkan sebagai bagian dari populasi yang terpaksa berpindah karena pasar tenaga kerja global. Ia menggambarkan buruh pabrik bukan sebagai angka statistik, tetapi sebagai simpul dalam jaring kapitalisme konsumen. Penyair menjadi kartografer ketimpangan, memetakan jalan dari kekayaan menuju penderitaan. Dalam peta ini, setiap sudut jalan menceritakan kisah kekerasan struktural.

Realisme Sosial juga sangat dipengaruhi oleh filsafat materialis, terutama teori Marxis. Ia memahami budaya bukan sebagai wilayah otonom dari keindahan, melainkan sebagai medan perjuangan, dibentuk oleh basis dan suprastruktur. Seni yang kita buat dan konsumsi mencerminkan, memperkuat, atau menentang ideologi dominan. Maka dari itu, puisi Realisme Sosial selalu sadar akan posisinya dalam pertarungan tersebut. Ia tidak mengklaim netralitas karena netralitas dalam menghadapi ketidakadilan adalah bentuk keterlibatan. Dengan memilih subjek-subjek tertentu—kerja, penggusuran, protes—ia mengambil sikap etis dan politis.

Kritikus kadang mencemooh Realisme Sosial sebagai didaktik atau tak puitis, namun celaan itu sering mencerminkan lebih banyak tentang mereka sendiri daripada puisinya. Yang mereka maksud sering kali adalah rasa tidak nyaman. Realisme Sosial menolak estetisasi penderitaan menjadi metafora yang lezat. Ia menolak menara gading modernisme tinggi, dan memilih duduk di meja makan, di garis protes, di ruang sidang, di tenda pengungsi. Keindahan tidak ditinggalkan—ia didefinisikan ulang. Sebuah tangan mengepal, keteguhan seorang ibu, lingkungan yang menolak gentrifikasi: inilah keagungan baru.

Di berbagai belahan dunia, Realisme Sosial berbicara dengan aksen yang berbeda. Di Amerika Latin, penyair seperti Roque Dalton menulis dengan semangat revolusioner melawan imperialisme dan oligarki. Di Afrika Selatan, penyair seperti Mongane Wally Serote dan Dennis Brutus mengabadikan kekejaman apartheid lewat puisi tajam. Di India, para penulis dalam Gerakan Penulis Progresif menyoroti kasta, kemiskinan, dan kolonialisme. Meski berbeda secara geografis dan budaya, benang merahnya adalah keadilan—puisi yang tidak hanya menggambarkan, tetapi mengguncang; yang tidak hanya menyingkap, tetapi menebus.

Era digital telah mengubah cara Realisme Sosial dibuat dan disebarkan, tapi bukan esensinya. Penyair Instagram, performer spoken word, dan rapper politik meneruskan tradisi ini dalam bentuk-bentuk baru. Mereka menggunakan tagar dan kamera genggam, bukan mesin tik dan selebaran, tetapi dorongannya sama: menjadikan puisi sebagai medan perlawanan. Demokratisasi platform memungkinkan lebih banyak suara dari bawah untuk berbicara, meski ada risiko kooptasi dan komodifikasi. Tantangan bagi penyair Realisme Sosial hari ini adalah menjaga kedalaman di tengah arus viral yang dangkal.

Namun Realisme Sosial tidak berhenti pada kritik. Di dalamnya tertanam visi untuk transformasi. Sebuah puisi tentang pabrik keringat harus juga membayangkan dunia tanpa eksploitasi. Sebuah puisi tentang kekerasan polisi harus juga menggema seruan abolisi. Harapan utopis inilah yang membedakan Realisme Sosial dari sinisme. Ia percaya bahwa dengan menamai dunia, kita bisa mengubahnya. Harapan ini—radikal, kolektif, tak tergoyahkan—menjadikan puisi Realisme Sosial bukan sekadar laporan, tetapi praktik revolusioner.

Dalam pedagogi sastra, Realisme Sosial menjadi penyeimbang dari penekanan berlebih pada “kecakapan teknis” yang terlepas dari tujuan sosial. Ia mengingatkan kita bahwa soneta paling sempurna sekalipun bisa kosong secara moral jika ia mengabaikan ketidakadilan. Sebuah puisi bisa melanggar semua aturan formal dan tetap menggema karena ia membawa kebenaran seratus kehidupan yang patah. Penekanan pada tujuan di atas kemasan mengajak generasi penyair baru untuk menulis dari tempat mereka berpijak—bukan untuk memukau, tetapi untuk mengungkapkan, terhubung, dan melawan. Kecakapan bukan hiasan, melainkan senjata.

Hari ini, ideologi neoliberal mempromosikan budaya individualisme yang teratomisasi, di mana puisi menjadi semata pengakuan pribadi atau komoditas. Melawan arus ini, Realisme Sosial menegaskan bahwa puisi tetap merupakan tindakan publik, seruan kolektif. Ia berbicara dalam suara komunitas, kelas, atau gerakan—bukan sebagai merek, tetapi sebagai mercusuar. Ia mengatakan: kamu tidak sendiri dalam lapar, marah, dan dukamu. Sepatu bot yang menginjak lehermu telah menginjak banyak leher lain. Dan bersama, mungkin kita bisa bangkit.

Taruhannya tinggi. Saat dunia didefinisikan oleh krisis iklim, perang, neokolonialisme, dan pengungsian massal, penyair harus bertanya: aku berpihak pada siapa? Puisi tidak bisa menghentikan peluru atau membalikkan banjir, tetapi ia bisa menamai sistem yang menembakkan dan menenggelamkan. Ia bisa membawa ingatan melintasi batas, martabat melintasi penghapusan. Ia bisa menjadi cahaya terakhir dalam gelapnya propaganda dan keuntungan. Realisme Sosial melatih penyair untuk tidak memalingkan wajah, tetapi menatap badai dengan mata terbuka.

Secara kritis, Realisme Sosial tidak mengklaim finalitas. Ia memberi ruang pada kontradiksi, kebenaran yang parsial, dan perjuangan yang terus berjalan. Sebuah puisi mungkin berakhir, tetapi sistem yang ia lawan terus berlanjut. Dampaknya tidak dapat diukur hanya dengan tepuk tangan atau penerbitan, tetapi dengan bagaimana ia bergema dalam kehidupan nyata. Apakah ia memberi seseorang keberanian untuk berbicara? Untuk mengorganisir? Untuk melawan? Itulah ukuran sejatinya. Keberhasilannya bukan sastra, melainkan pembebasan.

Dan mungkin inilah yang membuat Realisme Sosial begitu abadi: ia menegaskan bahwa puisi bukan milik segelintir, tetapi milik banyak orang. Bukan milik salon dan festival, tetapi milik pabrik, kampung, dan garis depan. Ia menyatakan bahwa puisi suci bukan karena keindahannya, tetapi karena ia mengungkap kebenaran yang ingin dibungkam kekuasaan. Ia mengingatkan kita bahwa imajinasi pun adalah medan politik—dan membayangkan keadilan adalah tindakan pertama dalam membangunnya.

Ketika puisi melupakan rakyat, ia menjadi hiasan bagi istana. Tapi ketika ia berjalan bersama rakyat, ia menjadi api milik rakyat. Realisme tanpa perlawanan hanyalah peniruan. Realisme Sosial adalah penolakan untuk berbohong. LAWAN!

Shiny Elpoesya
Latest posts by Shiny Elpoesya (see all)
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *