Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan terlepas dari adanya suatu hubungan dalam bermasyarakat karena pada dasarnya manusia juga merupakan makhluk sosial. Tidak semua masyarakat memiliki sifat dan kepribadian yang sama. Setiap individu masyarakat juga memiliki karakter dan ciri khas masing-masing. Oleh karena itu, dalam puisi yang telah ditulis oleh Ahmad Sultoni ini ditemukan beberapa judul yang memang menggambarkan sebuah kenyataan manusia dalam hidup bermasyarakat.
Ahmad Sultoni sendiri merupakan seorang penulis yang berasal dari kota Cilacap, Jawa Tengah. Ia lahir di Cilacap, 31 Agustus 1991 dan saat ini berdomisili di daerah Adipala, Cilacap. Ia merupakan seorang alumni UM Purwokerto Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia untuk jenjang sarjana, sedangkan untuk program magister, ia merupakan alumni UNS Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia. Ahmad Sultoni telah memiliki banyak karya tulis yang sudah termuat di beberapa media massa. Selama berproses dalam menulis, ia tekuni bersama anak-anak muda Banyumas Raya dalam Komunitas Penyair Institute (KPI) Purwokerto. Selain buku kumpulan puisi Selepas Musim Menjauh ini, ia juga telah menerbitkan buku puisi lainnya yaitu buku puisi anak dengan judul Dongeng Pohon Pisang (Gambang, 2019).
Buku kumpulan puisi ini ditulis oleh Ahmad Sultoni yang penuh dengan kerinduan atau hasrat kepada tempat dan waktu yang telah hilang dan berlalu. Banyak yang dijadikan sebagai kenangan seperti sawah, jalan, gedung-gedung, dan rumah. Kenangan ini berada di kampung halamannya yaitu di Cilacap yang kini telah terjamah teknologi dengan era modernisasi.
Seperti yang telah kita ketahui, kehidupan bermasyarakat tidak selalu indah dan damai, terkadang banyak konflik-konflik yang menyerang dan dijadikan sebuah ancaman terhadap kerukunan suatu bangsa. Masyarakat merupakan inti pokok dalam berbangsa dan bernegara. Setiap perkembangan zaman, pola hidup masyarakat akan terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Tingkat peradaban masyarakat juga akan terus berubah. Mengenai pola hidup masyarakat yang berujung konflik, telah digambarkan oleh penulis dalam sebuah judul “Pasukan Domba” seperti berikut:
Pasukan Domba Kitalah pasukan domba itu Pasukan domba yang sebenarnya tak luar Di tanah doa yang gersang ini Kita akan rajin berebut~ Rumput. Rumput di padang ini Bukan lagi milik kita Penggembala telah mencurinya dari kita Air. Air di padang ini Bukan milik kita lagi Airnya dikemas ke dalam botol-botol Penggembala telah mencurinya dari kita Kitalah pasukan domba itu Domba yang sebenarnya tak luar Kita akan makin rajin berebut~ 2018
Pasukan domba mungkin bisa didefinisikan sebagai suatu pasukan dengan banyaknya hewan domba yang terkumpul dalam suatu tempat, yang dijaga ataupun dipelihara oleh seorang penggembala. Seorang penggembala ini yang kemudian mengatur kehidupan para domba tersebut. Namun, jika dilihat dari puisi karya Ahmad Sultoni tersebut, ditunjukkan sebuah pasukan domba dan penggembala dengan makna yang berbeda, seperti yang dimulai dari bait pertama,
“Kitalah pasukan domba itu” “Pasukan domba yang sebenarnya tak liar”
Pada baris tersebut tertulis dengan jelas sebuah pasukan domba. Dalam pemaknaan puisi Ahmad Sultoni ini, arti pasukan domba dalam baris puisi tersebut mungkin bisa diartikan sebagai kiasan dari sebuah pasukan atau kumpulan masyarakat di sebuah negara. Selanjutnya, pada baris kedua makna kata liar bisa dikaitkan sebagai tidak patuhnya pada suatu tatanan hukum yang berlaku di negara tersebut sehingga baris “Pasukan domba yang sebenarnya tak liar” ini menunjukkan para masyarakat yang sebenarnya masih menuruti tatanan hukum yang berlaku.
Selanjutnya pada baris “Di tanah doa yang gersang ini/kita akan rajin berebut”. Pemaknaan kata “tanah doa yang gersang” ini menunjukkan sebuah kekecewaan ataupun suatu kondisi dengan harapan yang sulit. Sedangkan pada kata “rajin berebut” di sini menggambarkan perebutan hak yang seharusnya didapatkan secara adil dan merata sehingga makna kedua baris tersebut dapat diartikan bahwa dalam kondisi yang cukup sulit ini para pasukan domba atau yang disebut sebagai masyarakat ini saling merebutkan hak yang didapatkannya secara tidak adil.
Pada bait kedua dan ketiga, penulis menggunakan rumput dan air sebagai objek yang digunakan untuk menguatkan pandangannya sebagai pasukan domba tersbeut. Dalam bait kedua dan ketiga terdapat baris:
“Rumput. Rumput di padang ini” “Penggembala telah mencurinya dari kita” “Airnya dikemas ke dalam botol-botol” “Penggembala telah mencurinya dari kita”
Kata “Penggembala” secara umum lebih didefinisikan sebagai seseorang yang memelihara atau menjaga dan merawat hewan yang dimilikinya. Namun, dalam puisi ini pemaknaan dalam bait-bait tersebut mungkin bukan menunjukkan seorang penggembala hewan ataupun domba, melainkan seorang pemimpin atau pengatur suatu kelembagaan negara (presiden/pejabat/menteri, dll). Oleh karena itu, dalam bait tersebut telah menggambarkan sebuah kekecewaan terhadap aksi si penggembala itu atas hak-hak yang telah dirampasnya. Selanjutnya, pada bait terakhir penulis mengutarakan kembali bahwa kitalah (masyarakat) para pasukan domba yang sebenarnya tak liar, selalu menuruti tatanan hukum dan akan semakin rajin untuk saling berebut.
Dari beberapa analisis pemaknaan puisi “Pasukan Domba” karya Ahmad Sultoni di atas, dapat disimpulkan bahwa arti sebuah pasukan domba dalam puisi tersebut bukan dimaksudkan sebagai hewan domba yang sebenarnya, melainkan sebuah pasukan atau kumpulan masyarakat yang mungkin telah kehilangan suatu keadilan yang dirampas oleh para pemimpin ataupun petinggi mereka sehingga kekecewaan itu datang dengan harapan yang begitu sulit untuk direalisasikan.
Berbeda dengan puisi Ahmad Sultoni lainnya, yaitu dengan judul “Warna Sore Di Ujung Pohon Mahoni”. Dalam puisi ini, penulis lebih menekankan aspek kenangan pada masa atau peradaban yang telah berlalu.
Warna Sore di Ujung Pohon Mahoni Sore belum sepenuhnya selesai matahari masih memijarkan warna oranye seperti harapan seorang lelaki tua yang sedang berjalan di ujung pematang itu pada padi-padinya yang tak kunjung menguning Bertahun-tahun kemudian di sore yang belum sepenuhnya selesai matahari masih memijarkan warna oranye seperti nyala lampu jalanan kota jalanan yang dahulu kala pematang itu tempat lelaki tua itu menaruh harapan pada padi-padian yang tak kunjung menguning Tahun-tahun lari Ini jalanan makin ramai tapi di kepala lelaki itu hamparan padi menguning sulit dilupakan 2019
Jika kita lihat dari bait pertama, di sana menjelaskan bagaimana suasana kehidupan si lelaki tua pada beberapa tahun silam. Lebih tepatnya ditunjukkan pada larik:
"seperti harapan seorang lelaki tua" "yang sedang berjalan di ujung pematang itu" "pada padi-padinya" "yang tak kunjung menguning"
Dalam larik tersebut menunjukkan suasana seorang lelaki tua yang pada saat itu ia selalu berjalan di sebuah pematang untuk menanti padi-padinya yang tak kunjung menguning. Dalam bait pertama ini, penulis mengisyaratkan sebuah kesaksian di atas pematang atas penantian sang lelaki tua tersebut dalam menunggu masa panen. Di bawah sinar matahari yang memijarkan warna oranye, ia selalu menunggu dengan harapan yang begitu besar.
Hingga pada bait kedua, Ahmad Sultoni melakukan repetisi larik dari bait pertama yaitu “matahari masih memijarkan warna oranye”. Pada larik tersebut memiliki gambaran mengenai suasana langit yang masih sama, yaitu dengan matahari yang selalu memijarkan warna oranye di sore hari. Namun, terdapat perubahan makna dalam bait kedua tersebut, diawali dengan larik pertama yaitu “Bertahun-tahun kemudian”, yang mana keadaan langit memang masih sama, tetapi dalam waktu yang berbeda. Setelah itu, perubahan suasana terjadi. Digambarkan pada larik:
"seperti nyala lampu jalanan kota" "jalanan yang dahulu kala pematang itu" "tempat lelaki tua itu menaruh" " harapan pada padi-padian"
Dalam larik-larik tersebut, terlihat perubahan suasana yang terjadi. Dilihat dari jalanan yang dahulunya sebuah pematang, tempat dimana sang lelaki tua itu menanti sebuah harapan pada padi-padinya. Namun, kini jalan tersebut telah berubah seperti sebuah jalanan kota. Hingga pada bait terakhir, penulis menekankan kembali adanya perubahan masa transformasi dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern dengan peradaban yang lebih maju. Seperti pada larik “Tahun-tahun lari / ini jalanan makin ramai”. Dengan begitu, suasana kehidupan telah berubah total setelah bertahun-tahun berlalu. Jalanan yang semakin ramai seperti jalanan kota, bahkan kehidupan masyarakatnya pun bisa ikut berubah mengikuti arus perkembangan zaman dari tahun ke tahun. Namun, dalam puisi tersebut sang lelaki tua itu tidak bisa melupakan kenangan masa lalunya saat ia masih menjadi masyarakat tradisional yang selalu menaruh harapan pada sebuah padi-padian.
Kemudian, kita telusuri kembali puisi-puisi karya Ahmad Sultoni. Di sini terdapat sebuah puisi yang berjudul “Bahasa Alam” sebagai berikut:
Bahasa Alam Pohon kelapa lambai-lambaikan Getir nasib Para penderes yang hari-harinya Menurun naiki basah keringat Pohon kehidupan Yang menua Orang-orang bodoh menuduhmu bodoh Tak pandai curi kesempatan Apik kerja di kota Padahal orang-orang di kota sendiri Pada limbung Mikir nasib diri Ia kerja apa dikerjai Tak pernah saksikan Matahari tegap di atas diri Sementara kami Tiada bosan sawang Esem anak isteri Detik demi detik yang berlari Lalu, di mana hal yang bodoh? Penderes itu tanyai sunyi diri Saat angin malam tengah Dipeluknya di ketinggian pohon kelapa 2020
Jika dilihat dari judul puisi tersebut, bahasa alam mungkin lebih identik pada perumpamaan atau suatu hal yang tidak bisa dirasakan dan dilihat secara langsung. Oleh karena itu, Ahmad Sultoni menuliskan isi puisi tersebut dengan perumpamaan suatu perbandingan antara masyarakat kelas kota dan desa. Pada bait pertama, tertulis larik “pohon kelapa lambai-lambaikan/getir nasib/para penderes”, bahasa alam dengan perumpamaan pohon kelapa tersebut menunjukkan adanya hubungan nasib malang yang terjadi pada seorang penderes yang selalu bekerja keras. Kemudian penulis menekankan pada konflik batin yang terjadi pada sang tokoh dalam puisi tersebut. Seperti yang terdapat pada larik bait “Orang-orang bodoh menuduhmu bodoh”, hal ini menunjukkan bahwa sang tokoh mengalami tuduhan berupa tekanan, yang mana orang-orang tersebut ia sebut sebagai orang bodoh. Dengan julukan kata bodoh dalam tokoh tersebut, dijelaskan beberapa alasan mengapa orang-orang menyebutnya bodoh. Terlihat pada sebuah larik “tak pandai curi kesempata/apik kerja di kota”. Dalam larik tersebut dijelaskan alasan sang tokoh disebut sebagai orang bodoh, yang mana ia dianggap tak pandai mencari kesempatan untuk pergi bekerja di kota. Namun, terdapat pertentangan yang terjadi mengenai bagaimana kehidupan di sebuah kota. Seperti terdapat pada larik:
"Padahal orang-orang di kota sendiri "Pada limbung" "Mikir nasib diri" "Ia kerja apa yang dikerjai" "Tak pernah saksikan" "Matahari tegap di atas diri"
Pada larik-larik tersebut menjelaskan realita kehidupan orang-orang kota dari sudut pandang sang tokoh yang mana selalu memikirkan nasib sendiri, selalu bergulat dengan pekerjaan yang dilakukan hingga terkadang lupa untuk melihat matahari tegap atau menikmati suasana pagi dan siang hari setiap harinya. Hingga pada bait terakhir, penulis membandingkan kehidupan dirinya di sebuah desa, yang mana ia bisa lebih menikmati suasana keluarga dengan selalu melihat anak dan istrinya setiap saat. Kemudian, di akhir puisi tersebut sang tokoh mempertanyakan hal bodoh mengenai perbandingannya kepada alam dengan melihat kesunyian diri dan ketinggian pohon kelapa.
Kalimat-kalimat perbandingan jelas akan terlihat pada sebuah masyarakat. Oleh karena itu, tipe kehidupan setiap masyarakat pastinya berbeda-beda. Dari kutipan-kutipan yang telah dicantumkan di atas menunjukkan reaksi nyata dalam kehidupan masyarakat yang sangat beragam. Selain itu, dalam hal ini kita juga dapat melihat perkembangan manusia setiap masanya.