Di simpang jalan terlihat puisi kepayahan, pada perlintasan angkutan kota Cikancung ke Cicalengka. Ia tertatih-tatih menepi, jangankan berlari ingin berdiri pun tak kuat lagi, sebab tertimpa kenangan berkali-kali. Konon katanya ini rawan terjadi di jalur ingatan saat pulang menuju melupakan. Padahal ia sedapat mungkin hati-hati, berjalan sebelah kiri, hindari lawan arus sebab sadar dadanya bukan tiang pancang menara, tak kuat diterpa angin kencang atau ingatan yang lancang datang. Terlihat puisi bersandar di pohon Trembesi, tempat dahulu berteduh beberapa kali, dari hujan yang dekatkan hati pada detak merambah mimpi. Daunnya begitu rimbun seperti tahu bahwa ingatan serupa matahari jam dua belas siang. Sesekali kepalanya datang ke dalam dada, berikan wejangan murahan, berisi kata-kata binal yang dicopas dari media sosial, atau dari reel datar yang harap iklan berbayar. "Dasar kepala berdinding batu, sungguh tak tahu malu, padahal dia yang lebih dulu rindu," rutuk puisi sembari membujuk kakinya kembali berdiri. Lalu menukar kepala dengan hati, menakar berat pada mata, memilah mana yang harus lebih dulu ada atau tiba. Puisi kembali berdiri, memunguti sisa-sisa nyali untuk menjauh pergi, di antara rambu yang memaksanya menoleh lagi. - Nonem Nolep Bandung, Agustus 2023
Latest posts by Nonem Nolep (see all)
- Puisi di Persimpangan Jalan - 9 September 2023