Pigmen Bunyi
Karya: Kiki Sulistyo
sudah lama seseorang menyisir rambut; suara terompet
merembet dari palet yang dibiarkan lengket. lukisan belum jadi,
sungai masih mengarsir kabut, polesan-polesan lembut.
pigmen bunyi dari seuntai nyanyi, setelah basah gaun terseret
di permukaan batu, seseorang menunggu, lembar air dibalik
dan kekosongan menerangi bagian paling tajam dari sirip ikan.
saat itu air pasti sudah jadi helai-helai lembut, seseorang meraba,
menemukan akar kata seraya memuji kemerduan warna dari ilham
yang berenang ke lubuk dalam; kanvas suara di dinding dunia.
sudah lama seseorang menatap, kaveleri waktu menetap di lukisan
yang belum jadi. sungai lengket dalam suara terompet dan ikan-ikan
mengarsir aransemen bagi seseorang yang tak akan kembali
(2019)
Puisi dalam sastra kontemporer Indonesia sering kali mengeksplorasi hubungan antara seni, eksistensi, dan waktu, selain juga mengambil bahasan yang berhubungan dengan budaya atau lokalitas. Salah satu pendekatan kritis yang sering digunakan untuk menganalisis karya-karya tersebut adalah simbolisme, yang menekankan penggunaan simbol untuk mengungkapkan makna yang lebih dalam dan kompleks. Dalam konteks ini, karya Kiki Sulistyo, khususnya puisi “Pigmen Bunyi”, menawarkan gambaran tentang proses kreatif yang belum selesai—sebuah tema yang sangat relevan dengan teori sastra modernis dan simbolis. Dalam teori simbolisme, sebagaimana diungkapkan oleh Charles Baudelaire, simbol berfungsi sebagai penghubung antara dunia konkret dan dunia abstrak, memungkinkan pembaca untuk mengalami lapisan makna yang lebih dalam. Puisi “Pigmen Bunyi” memanfaatkan simbolisme untuk menggambarkan ketidaktuntasan dan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi waktu serta proses penciptaan. Pendekatan ini juga sejalan dengan pengaruh modernisme dalam sastra Indonesia, yang sering mengeksplorasi realitas melalui lensa yang lebih subjektif dan simbolik.
Kiki Sulistyo memiliki rekam jejak panjang sebagai penulis, terlihat dari buku-buku puisinya seperti Hikayat Lintah (2014) hingga Musik Akhir Zaman (2024). Lahir dan besar di Ampenan, ia menunjukkan keterikatan kuat dengan tradisi lokal, ruang-ruang kontemplatif, dan pengalaman eksistensial manusia. Kiki juga aktif dalam Komunitas Akarpohon, sebuah kolektif yang mendorong pembacaan, penulisan, serta pengarsipan sastra. Aktivitas ini memberi wawasan mendalam bagi Kiki tentang realitas kehidupan, yang kemudian tercermin dalam karya-karyanya, termasuk “Pigmen Bunyi”.
Puisi “Pigmen Bunyi” mencerminkan sensitivitas Kiki terhadap ketidakberdayaan manusia di hadapan waktu dan proses kreatif. Hal ini sejalan dengan minatnya pada tema-tema eksistensial dan seni. Sebagai penyair yang telah mendapat berbagai penghargaan bergengsi, seperti Kusala Sastra Khatulistiwa (2017) dan Buku Puisi Terbaik TEMPO (2018 & 2021), puisi ini memperlihatkan kepiawaiannya dalam merangkai diksi dan simbol yang sarat makna.
Tema sentral dalam “Pigmen Bunyi” adalah proses penciptaan yang belum selesai, baik dalam karya seni maupun kehidupan. Frasa seperti “lukisan belum jadi” dan “sungai masih mengarsir kabut” menjadi simbol bahwa kehidupan manusia, sebagaimana seni, selalu dalam keadaan proses dan belum mencapai finalitas. Dalam bait selanjutnya, penyair menggambarkan bagaimana waktu menetap di karya yang tertunda:
“kaveleri waktu menetap di lukisan yang belum jadi”
Kiki Sulistyo tampaknya ingin menunjukkan bahwa waktu, meskipun abstrak, memiliki kekuatan menguasai dan menunda proses kreatif. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengalaman Kiki sebagai seorang sastrawan yang kerap berhadapan dengan tantangan kreativitas dan refleksi mendalam.
Dalam kerangka strukturalisme, puisi ini dibangun oleh simbol-simbol puitis yang kuat. Lukisan, sungai, dan kabut menjadi metafora untuk proses yang tak kunjung selesai. Penggunaan diksi seperti “lembar air dibalik” atau “sirip ikan” menciptakan imaji visual yang surreal, seolah-olah pembaca diajak memasuki dunia yang samar antara realitas dan ilusi.
Gaya bahasa Kiki Sulistyo mencerminkan modernisme dengan nuansa kontemplatif dan simbolisme yang mendalam. Pemilihan diksi yang estetis, seperti “pigmen bunyi dari seuntai nyanyi”, menggambarkan kepekaan Kiki terhadap musikalisasi bahasa, suatu ciri khas karya puitisnya. Simbol-simbol ini memperlihatkan kedalaman makna sekaligus memberi ruang interpretasi bagi pembaca.
Puisi “Pigmen Bunyi” karya Kiki Sulistyo memiliki sejumlah kelebihan yang dapat dianalisis melalui pendekatan teori simbolisme dan kritik strukturalisme. Salah satu kelebihan utamanya adalah simbolisme yang kaya, yang mampu membangkitkan berbagai interpretasi dari pembaca. Mengacu pada teori simbolisme, seperti yang dikemukakan oleh Charles Baudelaire, simbol berperan sebagai jembatan antara realitas konkret dan gagasan abstrak, memungkinkan karya sastra memiliki makna yang berlapis. Dalam “Pigmen Bunyi”, simbol-simbol seperti lukisan yang belum jadi, sungai mengarsir kabut, dan sirip ikan menghadirkan gambaran proses kreatif yang belum selesai, sekaligus refleksi tentang keterbatasan waktu. Kiki Sulistyo juga menunjukkan kepiawaian dalam penggunaan diksi dan penciptaan imaji puitis yang estetis. Hal ini sejalan dengan teori imaji dari Ezra Pound, di mana bahasa puitis harus menciptakan kesan visual dan emosional yang kuat bagi pembaca, seperti terlihat dalam frasa “lembar air dibalik dan kekosongan menerangi”.
Selain itu, kelebihan lain dari puisi ini adalah nuansa kontemplatif yang mendalam. Puisi ini berhasil mengundang pembaca untuk merenungkan keterbatasan eksistensial manusia dan proses penciptaan seni yang selalu berada dalam ketidaktuntasan. Ini berkaitan erat dengan konsep hermeneutika oleh Hans-Georg Gadamer, di mana makna karya sastra tidak bersifat tunggal melainkan selalu terbuka untuk ditafsirkan ulang sesuai pengalaman pembaca.
Namun, di sisi lain, puisi ini juga memiliki kekurangan, terutama pada tingkat abstraksinya yang tinggi. Menurut teori resepsi sastra oleh Hans Robert Jauss, pembaca membawa horizon harapan tertentu ketika berhadapan dengan teks. Dalam konteks ini, simbolisme yang terlalu kompleks dan imaji yang abstrak dalam “Pigmen Bunyi” berpotensi membuat makna terasa samar dan sulit dipahami oleh pembaca awam. Fragmentasi gagasan dalam struktur bait-baitnya juga dapat dilihat sebagai kekurangan dari segi koherensi. Struktur yang tidak linear membuat puisi terasa seperti potongan-potongan refleksi yang berdiri sendiri, meskipun ini juga dapat dilihat sebagai gaya modernis yang disengaja untuk mengeksplorasi kebebasan bentuk dan makna. Dalam tradisi kritik sastra Indonesia, puisi semacam ini kerap disebut sebagai “puisi gelap”—bukan gelap gulita yang sepenuhnya menutup makna, melainkan samar dan lembut seperti terang bulan. Nuansa samar ini memberi tantangan bagi pembaca untuk menemukan ilham dan interpretasi di balik kompleksitas simboliknya.
Dengan demikian, kelebihan puisi ini terletak pada kedalaman simbolisme, keindahan diksi, serta kemampuan membangkitkan refleksi mendalam, sementara kekurangannya berada pada tingkat abstraksi yang tinggi dan keterputusan alur gagasan, yang memerlukan pendekatan interpretatif lebih intensif dari pembaca. Karya ini tetap menjadi representasi kuat dari estetika modernisme dan simbolisme dalam sastra Indonesia kontemporer.
Sebagai penyair modern, karya Kiki Sulistyo menunjukkan pengaruh modernisme dan surealisme. Modernisme terlihat dari gaya puitis yang berfokus pada simbolisme dan nuansa reflektif, bukan narasi yang gamblang. Sementara itu, pengaruh surealisme tampak dalam penggambaran metafora yang tidak biasa, seperti “suara terompet merembet dari palet yang dibiarkan lengket”. Hal ini menciptakan suasana yang absurd tetapi tetap puitis.
Dalam perkembangan sastra kontemporer Indonesia, karya Kiki Sulistyo membawa warna menarik dengan memadukan estetika bahasa, simbolisme lokal, dan refleksi mendalam tentang kehidupan. Komitmennya terhadap sastra juga terlihat melalui karya-karya sebelumnya yang mengeksplorasi tema-tema eksistensial dan kultural.
Puisi “Pigmen Bunyi” karya Kiki Sulistyo adalah karya yang menggabungkan kepekaan estetis, simbolisme mendalam, dan kontemplasi waktu dalam proses kreatif. Dengan latar belakang Kiki sebagai penyair produktif yang aktif dalam Komunitas Akarpohon, puisinya mencerminkan refleksi batin seorang seniman yang berhadapan dengan keterbatasan waktu dan ketidaktuntasan karya. Meskipun tingkat abstraksinya cukup tinggi, keindahan diksi dan simbolisme membuat puisi ini layak mendapat apresiasi sebagai representasi puisi modern Indonesia.
2022—2024
- Pagar Sutra - 12 Januari 2025
- Analisis Puisi “Burung-Burung Melayang” Berdasarkan Teori Ekopuitik dan Ekologi Sastra - 28 Desember 2024
- Dikejar Ibu - 21 Desember 2024