Perjalanan Spiritualitas Manusia Dalam Puisi “Nabi Baru” Karya Triyanto Triwikromo

Perjalanan Spiritualitas Manusia Dalam Puisi “Nabi Baru” Karya Triyanto Triwikromo

Puisi merupakan bentuk seni sastra yang mampu menggambarkan pengalaman manusia, terutama dalam konteks spiritualitas. Puisi seringkali menjadi bahan untuk menyelami dimensi-dimensi yang lebih dalam dari kehidupan manusia, termasuk perjalanan spiritualnya. Dalam karya “Nabi Baru” karya Triyanto Triwikromo, sebuah perjalanan spiritual manusia dijelajahi dengan imaji yang sarat akan makna.

Triyanto Triwikromo lahir di Salatiga pada 15 September 1964. Beliau merupakan lulusan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Semarang. Sebelum menjadi sastrawan beliau pernah menjadi guru dan pekerja kasar diskotik. Perjalanan hidupnya yang unik mengantarkannya pada gaya kepenulisan yang unik pula. Triyanto Triwikromo menggunakan gaya kepenulisan khas berbau religi, hal ini dapat dikatakan unik karena sangat berbanding terbalik dengan pekerjaannya sebelum menjadi sastrawan yaitu pekerja kasar diskotik. Saat ini Triyanto Triwikromo menjadi dosen di Universitas Diponegoro, Semarang. Di samping menjadi dosen, Triyanto Triwikromo juga menjabat sebagai redaktur sastra di harian Suara Merdeka.

Triyanto Triwikromo pernah menulis kumpulan cerita yang berjudul Ular di Mangkuk Nabi, cerita tersebut berisikan perjalanannya menjelajah empat benua dan menemukan hal-hal yang berbeda dari Indonesia, terutama pada keyakinan setiap orang di berbagai belahan dunia. Kumpulan cerita ini dibumbui dengan unsur agama yang melekat pada gaya kepenulisan Triyanto Triwikromo. Pada tahun 2014, Triyanto Triwikromo melahirkan novel baru yang berjudul Surga Sungsang. Novel tersebut juga dibumbui dengan unsur agama. Gaya kepenulisan yang khas berbau agama membawa Triyanto Triwikromo melahirkan kembali buku baru berbau agama yang berjudul Sehimpun Puisi: Nabi Baru. 

Puisi Nabi Baru secara khusus memusatkan perhatian pada perjalanan spiritual manusia. Kata-kata yang terpilih dengan teliti membentuk lukisan kata yang menggambarkan kebingungan, pencarian, dan pencerahan dalam perjalanan rohaniah. Dalam kajian ini, kita akan menjelajahi perjalanan spiritualitas yang digunakan oleh Triyanto Triwikromo untuk menciptakan puisi secara menyentuh dan mendalam. Puisinya tidak hanya mengundang seseorang untuk membaca, tetapi juga untuk merenung dan menggali makna kehidupan di balik kata-kata yang terpilih dengan cermat. 

Manusia sejatinya diciptakan untuk menanam pahala sebanyak-banyaknya agar kelak dapat dipetik ketika di akhirat. Setiap langkah kehidupan, manusia pasti melalui perjalanan spiritualitas yang tidak mudah. Berbagai ujian yang dapat sewaktu-waktu menjadi ancaman kejiwaan akan selalu bertemu di persimpangan kehidupan. Maka dari itu, manusia perlu menyiapkan segala hal yang dapat menyucikan jiwa.

Sehimpun puisi Nabi Baru karya Triyanto Triwikromo sekiranya dapat dijadikan gambaran seperti apa perjalanan spiritualitas manusia. Triyanto Triwikromo menganalogikan manusia “Bermula dari Tiada”.

Bermula Dari Tiada

Kita bermula dari tiada. berakhir pada cahaya.

Manusia pada awalnya kosong, seperti ”Satwa Rumpang” yang mencari cara supaya otak dan hatinya terisi. Sementara kekosongan otak dan hati tidak bisa dibiarkan begitu saja, manusia perlu mengembara mencari pengetahuan. Berikut ini puisi yang berjudul “Satwa Rumpang”

Satwa Rumpang

	Maka kau pun mengerti aku hanyalah satwa rumpang. sel-sel di tubuhku tak sempurna. Percintaanku denganmu tidak sepadan, aku sonnet kau suwung tak terindera. Aku pengemis kau pemilik senja. Aku masa lalu kau surga. Aku konon kau berita. Aku jendela kecil kau pintu yang menelan seluruh keindahan dunia.

Seiring berkembangnya zaman, semakin banyak pengetahuan bermunculan. Triyanto Triwikromo menggambarkan pengetahuan sebagai cahaya. Pada puisi yang berjudul “Aku Lahir dari Hujan”pengetahuan seolah berkata “akulah cahaya!” (puisi “Aku Lahir dari Hujan”). Cahaya yang dapat menuntun manusia pada pemahaman dan pola pikir rasional. Cahaya diungkap juga oleh Triyanto Triwikromo sebagai suatu hal yang “tak berada di rahim siapa pun” (puisi “Aku Lahir dari Hujan”). Artinya pengetahuan tidak terlahir dari rahim siapa pun, pengetahuan terlahir dari pengalaman manusia dan juga wahyu yang diturunkan oleh Tuhan melalui Para Nabi. 

Aku Lahir Dari Hujan

Aku lahir dari hujan dan tak berada di rahim sipa pun. Tiba-tiba badai datang dan kau bilang, “akulah cahaya!”

Maka dari itu, manusia memerlukan pedoman dalam melahirkan pengetahuan. Seperti pada puisinya yang berjudul “Aku Perlu Kitab”, manusia memerlukan kitab untuk dijadikan pedoman yang ampuh untuk menangkal segala keburukan di dunia ini.

Aku Perlu Kitab

“aku perlu kitab,” kataku.
“akulah kitabmu,” katamu.

Puisi di atas mengartikan bahwa manusia memerlukan kitab atau pedoman dalam mengarungi kehidupan. ”akulah kitabmu,” katamu (puisi “Aku Perlu Kitab”), pada larik ini “aku” merupakan manusia yang pada dasarnya membutuhkan pengetahuan dan pengetahuan tersebut berasal dari ilmu. Triyanto Triwikromo menyatakan bahwa segala pengetahuan yang didapat manusia berasal dari ilmu murni. Ilmu yang kemudian diproses berdasarkan pengalaman manusia dan selanjutnya ilmu akan menjadi pengetahuan.  Setelah manusia mengetahui hal-hal yang terkandung dalam pengetahuan maka akan lahir pemahaman. Manusia yang telah memiliki ilmu dan pengetahuan, maka ia akan paham seperti apa kehidupan di dunia ini. Selanjutnya manusia dapat menggunakan pengetahuannya dengan baik.

Kumpulan pengetahuan jika disatukan dapat menjadi “Labirin Penuh Racun” artinya pengetahuan pada awalnya sulit dipahami lama kelamaan mudah diserap oleh otak, jika sudah paham maka akan menjadi candu. Seperti yang diungkap oleh Triyanto Triwikromo pada larik “labirin penuh racun dan anggur//aku mabuk meregukmu” (puisi “Labirin Penuh Racun”) maksudnya adalah jika seseorang sudah banyak memiliki pengetahuan maka ia akan “mabuk” yang diibaratkan sebagai candu, manusia tidak akan berhenti mencari dan menggunakan ilmu. Candunya manusia pada pengetahuan membuat ilmu pengetahuan di dunia ini berkembang pesat. 

Ilmu pengetahuan, dengan segala kompleksitas dan keajaibannya, memiliki daya tarik yang memikat bagi setiap jiwa yang haus akan pengetahuan. Bagi mereka yang telah merasakan keindahan mengejar pemahaman, ilmu pengetahuan bukan sekadar kumpulan fakta dan rumus, tetapi seperti candu intelektual yang meresap ke dalam jiwa, menciptakan keinginan yang tak terbatas untuk terus menjelajahi dunia pengetahuan. Pemahaman yang mendalam dan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan menjadi bahan bakar bagi kecanduan ini.

Ilmu pengetahuan yang semakin pesat ini menjadikan manusia tersadar bahwa semua yang mereka peroleh adalah milik Tuhan. Manusia hanya menjaga pengetahuan agar tetap berakal. Ketika manusia sudah berakal, apa pun kebaikan yang dikerjakannya adalah sebuah pahala. Pahala yang tidak akan terputus ketika alam sudah kehabisan energi untuk hidup. Triyanto Triwikromo menggambarkan alam ini hanyalah “Dunia Semu”. 

Dunia Semu

Dunia
Semu

Dunia
penuh
tipu.

Bukan
duniamu
bukan
duniaku.

Dunia burung penuh bulu biru.
Dunia radio penuh lagu buruk.
Dunia orok penuh dongeng.
Dunia bunga penuh duri

Bukan duniaku
Bukan duniamu.

Dunia matahari.
Dunia pohon.
Dunia pintumu.
Dunia kunciku.

“Dunia Semu” dimaknai dengan dunia ini tidak ada apa-apanya. Dunia juga bukan milik siapa-siapa. Dunia hanyalah milik Tuhan semata. Dunia penuh dengan tipuan yang dapat menjerumuskan manusia pada perilaku buruk. Pada larik “dunia bunga penuh duri” (puisi “Dunia Semu”) menjelaskan bahwa di dunia ini sesuatu yang terlihat baik seperti bunga belum tentu baik. Ada pula dunia yang “penuh duri” (puisi “Dunia Semu”) artinya penuh dengan perilaku buruk yang dapat merusak ibadah manusia. Melawan keburukan Tuhan mewajibkan manusia untuk beribadah, menanam pahala sebanyak-banyaknya, dan berbuat baik kepada orang lain supaya kelak dapat melihat indahnya surga. Triyanto Triwikromo mengungkapkan dalam puisinya yang berjudul “segala lenyap segala hilang” bahwa dunia dan seisinya akan lenyap, hilang, dan tak tersisa. Pada saat dunia lenyap yang ada pada diri manusia hanyalah pengetahuan dan pahala yang oleh Triyanto Triwikromo disebut “kita bermula dari tiada. berakhir pada cahaya” (puisi “Bermula dari Tiada”).

Akhirnya Triyanto Triwikromo membawa kita untuk merenungkan kembali arti kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan tidak ada yang abadi. Manusia akan kembali kepada Tuhan dengan membawa bekal yang telah ditanam semasa hidup. Segala perbuatan baik dan buruk nantinya akan ditimbang di akhirat. Titik penentuan adalah surga dan neraka. Oleh karena itu, selama masih hidup di dunia, manusia diwajibkan banyak berbuat kebaikan kepada makhluk hidup.

Alkalimatul Hidayah

1 Comment

  1. Hida R

    Analisa yg keren
    Ditunggu yg lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *