Puisi seringkali menjadi media yang ampuh untuk merenungkan makna hidup, spiritualitas, dan keberadaan manusia. Melalui puisi, individu dapat menemukan makna yang lebih dalam dan meningkatkan kesadaran spiritualitasnya. Puisi dapat membantu dalam mengatasi stres, kecemasan, dan depresi dengan menawarkan ketenangan batin dan alat untuk menghadapi tantangan kehidupan dengan lebih baik. Selain itu, puisi juga dapat meningkatkan kualitas hubungan sosial dengan membangun dasar yang kuat untuk koneksi yang lebih dalam dan bermakna dengan orang-orang di sekitar. Salah satunya kumpulan puisi “9 Kubah” karya Evi Idawati. Wanita kelahiran Demak ini merupakan seorang penulis, novelis, dan penyair yang terkenal dengan karya karyanya berupa cerpen, novel, dan puisi. Dalam kumpulan puisinya “9 Kubah” kita diperlihatkan perjalanan batin yang mendalam melalui metafora kubah sebagai simbol perjalanan spiritual manusia. Maka disini, kita akan mengulas lebih dalam tema, struktur, gaya, dan pesan puisi dari puisi.
Pertama, mari kita periksa tema utama puisi ini. Puisi “9 Kubah” mengeksplorasi tema-tema seperti pencarian makna, kebenaran, dan superioritas spiritual. Kubah adalah simbol kesempurnaan, ketenangan dan keilahian. Setiap kubah mewakili tahapan atau aspek perjalanan spiritual manusia, mulai dari penemuan jati diri hingga mencapai pencerahan. Dengan menggunakan gambar kubah, Evi Idawati mengajak pembaca untuk memikirkan keberadaannya dalam ruang yang lebih luas dan tidak dibatasi oleh batas fisik.
Selain itu, puisi ini menonjol dari segi strukturnya, bahasanya yang indah, dan gayanya yang mengalir. Idawati menggunakan bahasa kiasan dan simbolik untuk menyampaikan pesannya. Penggunaan kata-kata yang kuat menciptakan gambaran visual yang kuat di benak pembaca, menciptakan pengalaman batin yang mendalam. Selain itu, struktur puisi yang terorganisir dengan baik menggerakkan pembaca dengan lancar dari satu kubah ke kubah berikutnya, seolah-olah pembaca sedang dalam perjalanan spiritual yang digambarkan dalam puisi ini.
Gaya Idawati dalam puisi ini juga patut diapresiasi. Berbagai perangkat retoris seperti personifikasi, aliterasi, dan asonansi dia gunakan untuk menekankan pesan spiritual yang ingin disampaikannya. Misalnya, penggunaan personifikasi untuk menggambarkan kubah sebagai makhluk hidup mengajak pembaca berinteraksi langsung dengan masing-masing kubah. juga dapat menggunakan aliterasi dan asonansi untuk menambah minat dan ritme pada puisi.
Terakhir, yang tidak kalah penting pesan yang ingin disampaikan dalam kunpulan puisi “9 Kubah” mengajak kita merenungkan makna hidup, keberadaan kita di dunia ini, dan hubungan kita dengan Yang Maha Kuasa. Puisi ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang keberadaan manusia dan makna hidup, serta memberikan kenyamanan dan inspirasi bagi mereka yang melakukan perjalanan spiritual. Antologi puisi “9 Kubah,” Evi Idawati menyajikan berbagai topik dan aspek dari hidup, keagamaan, dan filosofi.
Isi karya-karya puisi yang terdapat dalam “9 Kubah”.
“Kubah Berkata” – Puisi ini menggambarkan tentang kubah sebagai ruang yang menjadi tempat berbagi dan berpikir, serta tentang peran kubah dalam kehidupan. “Kubah Berkata II” – Puisi ini menggambarkan tentang kubah sebagai ruang yang menjadi tempat bertemu dan berbagi, serta tentang peran kubah dalam membentuk hubungan antar orang. “Kubah Berkata III” – Puisi ini menggambarkan tentang kubah sebagai ruang yang menjadi tempat berpikir dan berrefleksi, serta tentang peran kubah dalam membentuk pemahaman tentang hidup. “Kubah Berkata IV” – Puisi ini menggambarkan tentang kubah sebagai ruang yang menjadi tempat berpikir dan berrefleksi, serta tentang peran kubah dalam membentuk pemahaman tentang diri sendiri. “Kubah Berkata V” – Puisi ini menggambarkan tentang kubah sebagai ruang yang menjadi tempat berpikir dan berrefleksi, serta tentang peran kubah dalam membentuk pemahaman tentang hubungan antar orang dan dengan Tuhan. “Kubah Berkata VI” – Puisi ini menggambarkan tentang kubah sebagai ruang yang menjadi tempat berpikir dan berrefleksi, serta tentang peran kubah dalam membentuk pemahaman tentang keagamaan dan kepercayaan. “Kubah Berkata VII” – Puisi ini menggambarkan tentang kubah sebagai ruang yang menjadi tempat berpikir dan berrefleksi, serta tentang peran kubah dalam membentuk pemahaman tentang kehidupan dan kepadaan. “Kubah Berkata VIII” – Puisi ini menggambarkan tentang kubah sebagai ruang yang menjadi tempat berpikir dan refleksi, serta tentang peran kubah dalam membentuk pemahaman tentang kehidupan dan kepadaan. “Kubah Berkata IX” – Puisi ini menggambarkan tentang kubah sebagai ruang yang menjadi tempat berpikir dan refleksi, serta tentang peran kubah dalam membentuk pemahaman tentang hidup dan kepadaan.
Disamping itu , “9 Kubah” juga memuat puisi-puisi lain yang menggambarkan kehidupan, kepadaan, agama, dan filsafat. Puisi-puisi ini mengangkat berbagai topik, mulai dari hubungan antara Tuhan dan kehidupan, agama, serta filosofi hidup dan kelahiran. Namun, membaca kumpulan Puisi 9 Kubah menunjukkan bahwa cerita biografi tidak serta merta menjadi kiblat pembacaan. Selain itu, tidak terlalu dini untuk menghilangkan suara (Mbah Evi) dari cerita buku ini. Menarik sekali untuk mencermati apa yang dikatakan Yaslaf Amir Pilliang dalam kata pengantar buku “9 Kubah”. Ia menemukan dimensi spiritual pada simbol-simbol kumpulan puisi Mbah Evi. Dari puisi sebagai jalan spiritual hingga makna, cahaya dan simbolisme kubah.
Analisis bagian lain dari kumpulan Puisi “ 9 Kubah”
Di sisi lain, mungkin juga ditemukan bagian yang berbeda dari topik yang disajikan. Ketertarikan itu terungkap dalam empat puisi Evi Idawati yang berkisah tentang perempuan dalam ‘ruang sosial’. Puisi-puisi bertema perempuan tersebut antara lain terdapat cerita-cerita simbolik seperti “Gerabah Kasongan,” “Batik Imogiri,” “Penjual Doa,” dan “Narasi Djonggrang. Kiranya itulah yang menarik, keempat judul berbeda tersebut menyinggung ruang personal perempuan (tokoh) dan ruang sosial melalui struktur naratif narator yang hanya mampu bercerita. Dengan Demikian, kumpulan puisi bertema “perempuan sosial” menunjukkan bahwa keterlibatan narator karena bentuknya prosaik dengan seksama menyahutkan suara-suara dari perempuan.
Puisi Perempuan-perempuan Gerabah Kasongan
Tanah merah yang melumuri telapak tangan adalah gendhing yang selalu ditembangkan. Jari jari yang menautkan mimpi memoles tanah menjadi gerabah seperti seorang ibu yang mengelus dan mendadani bayi pada sore hari setelah mereka mandi.
Gerabah dijajakan, keliling kota bersepeda. Caping di kepala. Kebaya dan selendang tidak menjadi penghalang.
Perempuan-perempuan gerabah Kasongan
Memeluk buri tapi menyiapkan tungku dan menyulut api “Aku membakar amarahku. Membakar kayu-kayu. Membakar jerami dan arang. Tetapi tanah adalah rumah. Dengan api, aku membersikan diriku untuk pulang dan tinggal.”
Gerabah dijajalan, kelling kota bersepeda, Caping di kepala. Kebaya dan selendang tidak menjadi penghalang.
Perempuan-perempuan gerabah Kasongan
Membakar tanah, membuat wadah, membangun rumah
Keringat mereka yang jatuh saat mengayuh, dari dahi hingga ke
tanah adalah kegembiraan bagi lukanya burni.
Telapak tangan dan jari-jari yang menyentuh dan memercikkan air, serta memoles tanah menjadi sanjungan bagi bumi.
Maka menderaslah, suaramu!
Gerabah dijajakan. Gerabah dijajakan. Keliling kota bersepeda. Caping di kepala. Kebaya dan selendang tidak menjadi penghalang.
Jogja, 2011.
Puisi menggambarkan suasana (cerita) cerita yang dikembangkan oleh narator, berdasarkan suasana dan dampak psikologis terhadap tokoh yang dinarasikan. Misalnya, gunakan istilah arsitektur seperti “tanah”, “telapak tangan”, “jari”, “sepeda”, dan “waktu”, Sore, bayi, kebaya, selendang, kayu dan api. Sederhananya, diksi-diksi ini secara fungsional terkait erat dengan pembuat gerabah itu sendiri. Oleh karena itu, bangunan simbolik mempunyai efek psikologis yang saling melengkapi selain efek sosialnya. Dari diri ke ruang kesadaran sosial. Kalimat personal memiliki efek psikologis bawaan “Tanah merah yang melumuri telapak tangan adalah ghending yang selalu ditembangkan./ Jari-jari menautkan mimpi memoles tanah menjadi gerabah seperti seorang ibu yang mengelus mendadani bayi pada sore hari setelah mereka mandi.” Menyimak tuturan kisahan itu, imaji sebagai pembaca ditekankan dalam ruang personal perempuan gerabah. Namun, adanya metafora dan simile pada kalimat adalah ghending dan seperti ibu itu dapat ditafsir sebagai suara tafsiran si narator (pengisah).
Selanjutnya, si tokoh pun dikisahkan /Gerabah dijajakan, keliling kota bersepeda//Caping dikepala// Kebaya dan selendang tidak menjadi penghalang/. Pada kalimat ini di bawahnya diberi keterangan bahwa itulah /Perempuan-perempuan gerabah/ , namun menariknya adanya frasa kebaya dan selendang tidak jadi penghalang semakin menegaskan kisahan si narator bahwa ruang sosial itu sedang digugat kembali oleh fungsi perempuan; adanya kebaya dan selendang tidak jadi penghalang. Bagi saya inilah narasi penting dalam puisi berjudul perempuan gerabah.
Dalam pada itu, suara perempuan gerabah pun dihadirkan atau menjadi aktor dalam puisi itu. /Aku membakar amarahku// Membakar kayu-kayu// Membakar jerami dan arang//Tetapi tanah adalah rumah// Dengan api, aku membersihkan diriku untuk pulang dan tinngal./ Sayangnya, sebelum narasi akhir munculnya kalimat /Maka menderaslah, suaramu!/ Kalimat ini tidak cukup penting untuk disebutkan. Pasalnya dengan dicantumkannya kalimat tersebut, dampak psikologis pembaca terdistorsi oleh pandangan narator. Bila kalimat ini dihilangkan, struktur cerita menjadi lebih “bermakna”.
Perempuan-Perempuan Batik Imogiri
Perempuan-perempuan batik Imogiri,
meniupkan ruh dan wung canting lalu menggambar sebuah kisah, peristiwa, peta perjalanan, lembar demi lembar, hingga malam meleleh di dalam api dan kembali membeku di atas kainmu.
Seperti aksara yang aku rangkai menjadi kata, engkau menaut lingkaran, lengkung dan gars menjelmakan semesta di bilik-bilik kain, di tubuh perilik yang kau pahat dan kau warna dengan debaran dan detakan yang terjaga. la adalah doa yang senantiasa terbaca dan sorot mata.
Maka saat kau luruhkan malam, angin pun membawakan pesan. Ke mana 1a berjalan, di sana 1a ditemukan.
Perempuan-perempuan batik Imogin,
Dan fajar hingga senja, 1a menulis centa, sebuah riwayat yang seakan terpenggal dan terus diwariskan.
"Lihatlah, aku menggambar jejak, agar kau bisa membaca dan membuatku ada. Aku tidak terdampar di belantara, tapi aku berdiam di dalam rumah, di dalam hati yang mencintai, jadi mengapa aku harus takut mati?”
Perempuan-perempuan batik Imogini,
menatah rajah tangan dan lingkaran, menisik garis, menepi dan
memotong sunyi.
Jogja, 2011.
Puisi ini secara bentuk hampir sama dengan Perempuan Gerabah menyirat-menyuratkan gambaran kisah seorang perempuan Batik imorgini. Namun, diksi yang membangunnya berbeda; ruh, ujung canting, kisah, peta perjalanan, kain, aksara. Ketika suara seorang aktor dimasukkan dalam puisi “Perempuan Batik Imogiri,” mempunyai efek psikologis yang menghubungkannya dengan suara cerita. Namun jika dibandingkan dengan perempuan pembatik Imogiri yang hanya berdiam diri di rumah, perajin gerabah Kasongan secara simbolis berbeda. Dalam hati yang mencintai, perempuan pembuat gerabah Kasongan dalam puisi bergerak melalui ruang sosial: Bersepeda dan berjualan gerabah.
Perempuan Penjual Doa
Perempuan yang meramu jahe dengan alit ba ta, mencampur kunir dengan mantra-mantra, lengkuas dikupas dengan dupa, dan sereh timbul tenggelam dalam gelegak panas panci yang disembur dan air suci.
Meramu doa meracik jamu menjualnya pada siapa pun yang mau.
Jimat menempel pada plakat, pintu rumah, jendela terbuka dan kamar tidur yang beris guling angin dan kasur embun. Dingin menafsir, makna terlempar dalam wujud koin tua tembaga.
Perempuan penjual doa. Menggambar gams, bilangan ganjil dan kubus dalam lembaran kertas Kusam masa silam. Dia kukuh menawarkan do seperti kebiasaannya meramu teh hitam dengan cengkeh dan daun salam.
Menjaja. Menjaja. Siapa membeli. Siapa menerima.
Jogja, 2010.
Dalam puisi itu, narator mengisahkan seorang perempuan penjual doa; meramu jahe dengan alif ba ta, mencampur kunir dengan mantra-mantra, lengkus dikupas dengan dupa, dan sereh timbul tenggelam dalam gelegak panas panci yang disembur dari air suci. Karena pekerjaannya /Meramu doa meracik jamu menjualnya pada siapapun yan mau/ namun, tidak berhenti pada menjual doa, namun /Jimat menempel pada plakat, pintu rumah, jendela terbuka dan kamar tidur yang berisi guling dan kasur embun./Dengan demikian ketika /Dingin menafsir, makna terlempar dalam wujud koin tua tembaga/
Apa yang disiratkan dari kombinasi personifikasi doa dan tanaman kitab isa tafsirkan adalah koin tua tembaga . Bisa juga diartikan sebagai uang. Tapi mungkin juga tidak. Dalam puisi “Perempuan Penjual Doa”, tidak ada suara wanita (artis) yang digambarkan dalam cerita tersebut.
Berbeda dengan tiga puisi yang sudah didedahkan, bagi saya puisi berjudul “Narasi Djonggrang” sangatlah menarik.
Puisi ini menjadi sangat menarik dengan alasannya, dapat terbaca puisi ini mendedahkan suara-suara dari dua aktor yang dihadirkan dalam narasi. Dalam narasi Djonggrang, subjek orang pertamalah yang berkisah pada kisahan seluruhnya. Namun, puisi naratif berjudul Roro Djonggrang adalah intertekstual dari kisah purba itu. Puisi Narasi Djonggrang dapat ditilik berdasarkan sebuah re-creating atas sejarah-mitologi menyeluruh terhadap teks lain dan hanya dimungkinkan pembaca melalui interteks. Dalam pada itu, karya sastra mengandung arti hanya mengacu pada teks lain; baik pengertian teks secara harfiah maupun secara universal. Pembaca akan bersandar pada intertekstualitas dan untuk mengenalinya bergantung pada kisah Roro Djonggrang itu sendiri. Pada titik ini keberlakuan prinsip intertektualitas; interpretasi sepenuhnya pada kemampuan sidang pembaca.
Puisi Narasi Djonggrang terbagi dalam enam bagian. Pada bagian pertama, subjek orang pertama langsung berbicara dengan lugas. Telapak tangan, garis takdir, kutuk, darha pinangan ratu keabadian adalah diksi-diksi pembangun yang diintertekskan. Sementara suara gugatan muncul pada frasa akhir /Tidak akan kuijinkan siapapun menyandingku kecuali batu dan waktu/ Menariknya, pada bagian kedua, ketiga dan keempat kalimat /Aku adalah Roro Djongrang/ /Tidak akan kuijinkan siapapun menyandingkanku kecuali waktu dan batu/ kalimat itu terus diulang-ulang dalam rangkaian kalimatnya.
Dengan demikian, dapat ditafsir, puisi ini menegaskan suara perempuan yang melawan garis pembatas. Namun, menariknya simbolisasi dimunculkan waktu dan batu. Dalam puisi ini, Djonggrang terantuk /menjadi batu di dalam waktu/ dan kredo dari perempuan itu /Waktu dan batu ditubuhku/. Terpahat kuat. Membeku. Aku adalah Roro Djongrang. Selain membutuhkan tafsiran dari pelbagai sudut, membaca puisi membutuhkan pengetahuan tentang kisah Bandung Bondowoso dan Roro Djongrang yang dikisahkan oleh suara Djonggrang. Ada dua puisi yang bercerita tentang perlawanan terhadap nasib dan ruang sosial. Dalam puisi Perempuan-Perempuan Gerabah Kasongan dan Narasi Djongrang. Dua puisi itu menggunakan simboliasi “memberontak” meskipun kebaya dan selendang tidak jadi penghalang dan dalam puisi Narasi Djongrang “Waktu, batu terhapat kuat”.
Pada titik itulah sepilihan ketertarikan pembacaan pada tema-tema perempuan (suara lain) dalam kumpulan puisi “9 Kubah” Mba Evi Idawati. Alasan menariknya adalah dialog bagi para sang pembaca untuk membaca wacana perempuan yang narator suguhkan. Secara terbuka bersifat personal dari penulisnya ihwal dunia perempuan, namun tidak juga mengindahkan beberapa puisi yang bertemakan lain. Maka dari itu, Secara keseluruhan, “9 Kubah” karya Evi Idawati merupakan sebuah karya sastra yang menakjubkan yang memperkaya pemahaman kita tentang makna kehidupan dan keberadaan spiritual manusia. Dengan tema yang mendalam, struktur yang indah, gaya yang mengalir, dan pesan yang kuat, puisi ini mampu memikat hati pembaca dan mengajak mereka dalam perjalanan spiritual yang mendalam.