Ngobrol bersama Nanda Alifya Rahmah, Penerima Anugrah Manuskrip Puisi yang Menarik Minat Juri DKJ 2023
Salah satu manuskrip puisi yang paling menarik perhatian kami di penyelanggaraan Sayembara DKJ Puisi tahun 2023 adalah manuskrip yang berjudul Antariksa Infinitum Absurdum karangan Nanda Alifyah Rahmah. Selain judulnya yang terkesan saintis dan astronomis, juga berdasarkan kesimpulan yang dibuat oleh dewan Juri DKJ Puisi 2023.
Dewan Juri berkata, kalau manuskrip ini secara konsisten menawarkan dunia yang berbeda dengan manuskrip lainnya. Menarik pengalaman manusia ke derajat kosmik, manuskrip ini secara khusyuk mengamalkan surealisme melalui puisi-puisi yang mewedarkan objek-objek serta panorama fantastik antariksa. Dengan landasan astrologi, fitur-fitur selebral dari khazanah sains dijahit bersama fitur-fitur arkaik untuk menyusun motif di atas bentangan gelap pemaknaan.
Berdasarkan hal tersebut, kami tertarik untuk ngobrol dengan penulisnya—memperbincangkan puisi-puisi yang dituliskan di dalam naskah—tentu juga berlanjut kepada bahasan yang lebih luas, sastra secara umum. Berikut petikan obrolan kami pada hari Selasa, (08/08/2023) melalui aplikasi Whatsapp.
Selamat Malam Nanda Alifta Rahmah, bagaimana kabar hari ini selepas menjadi salah satu penerima anugrah DKJ Puisi 2023?
Selamat malam. Alhamdulillah, baik, sama seperti hari-hari sebelum itu.
Merujuk pengalaman Anda dalam mengikuti sayembara, sebelumnya Anda sudah pernah memenangi Sayembara Buku Sastra DK-Jatim melalui buku Puisi Kepalaran, 2017. Kemudian esai kritik sastra di tahun berikutnya pada Sayembara DK-Jatim kembali. Apakah Sayembara DKJ termasuk target Anda selepas Sayembara DK-Jatim? Atau bagaimana? Bisa dijelaskan?
Wah, enggak sama sekali. Saya kira semua kebetulan saja. Saya tidak menulis untuk menang lomba.
Di antara banyak manuskrip yang menang di DKJ, menurut kami, manuskrip Antariksa Infinitum Absurdum adalah manuskrip yang unik dan menarik. Sebab merujuk kata Dewan Juri DKJ Puisi 2023, manuskrip ini dikatakan berbeda. Karena, menarik pengalaman manusia ke derajat kosmik. Lalu manuskrip ini secara khusyuk mengamalkan surealisme melalui puisi-puisi yang mewedarkan objek-objek serta panorama fantastik antariksa. Dengan landasan astrologi, fitur-fitur selebral dari khazanah sains dijahit bersama fitur-fitur arkaik untuk menyusun motif di atas bentangan gelap pemaknaan. Kadang masuk diksi masa kini (playlist, password), juga kutipan-kutipan lirik lagu, sehingga memberi asosiasi bahwa lanskap itu bersifat digital. Suatu lukisan ruang angkasa yang muncul dari kumpulan data dan algoritma. Bisa dijelaskan, seperti apa detil manuskripnya?
Hmm, mungkin bisa kita bicara dari beberapa puisi yang sudah pernah termuat media ya. Barangkali bisa pembaca terka-terka sendiri maksud jurinya. Kalau bagi saya pribadi, manuskrip itu memang ditulis dalam bingkai astrologi. Saya bayangkan lebih mudah jika puisi-puisi itu direspon seperti teks ramalan zodiak. Ya, sebagaimana teks ramalan, kalau makin diburu makin tak terurai isyaratnya. Gitu kira-kira. Jadi, ya, malah sederhana saja, tidak perlu data algoritma segala macam.Kalau dibilang seperti lukisan, saya lebih sepakat. Selain itu, boleh lah saya simpan dulu sampai buku itu terbit xixi.
Jadi sebenarnya, manuskrip ini tidak berbicara tentang sains, sebagaimana yang disebut oleh Juri DKJ?
Ya, kalau soal itu kan kita bicara tentang khasanah pembaca. Tidak ada batasnya.
Bagaimana dengan penjelasan antariksa, dan spektrum yang berhubungan dengan astronomi? Apakah puisi-puisinya, atau sebagian puisinya ada bersinggungan dengan hal tersebut? Atau hanya bebarapa bagian yang mengambil analoginya untuk mendapatkan pemaknaan yang lain?
Ekosistem astrologi dan astronomi kan amat beririsan. Bagi saya ‘bulan’ itu persona astrologi. Ya sah saja kalau bagi orang lain itu persona astronomi.
Ya bisa. Lalu dari mana Anda mendapatkan ide-ide dalam menyusun manuskrip tersebut? Bisa dijelaskan perjalanan dalam menyusunnya?
Saya jawab sekadar cerita momennya saja ya. Saya belum mau bicara tentang gagasan manuskrip itu. Kalau soal perjalanan, penulisan puisi-puisi itu dimulai dari pertanyaan seseorang, “setelah ini kamu akan menulis apa lagi?”. Saya jawab, “aku mau membawa jagatraya ke dalam kamarku.” Saya sendiri konsumen astrologi. Jadi dari percakapan itu, saya lebih memfokuskan diri saja mau menulis tentang apa. Kalau soal ide, puisi-puisi itu datang dari semua orang yang saya kenal. Ada satu puisi berjudul Pises misalnya. Saya tulis dari beberapa orang berzodiak Pises yang saya kenal.
Baik. Jika memang bahasan terkait manuskrip manuskrip belum boleh dibicarakan banyak untuk khalayak umum, kita stop bahasan seputar itu. Bagaimana kalau obrolannya seputar bahasan sastra secara umum?
Boleh boleh.
Sebagai sarjana sastra, bagaimana pendapat Anda terkait kurang banyaknya alumni sastra yang berminat menjadi penulis sastra?
Pertanyaan menarik. Itu salah satu pikiran yang mengganggu saya justru pasca momen DKJ. Saya sarjana sastra. Saya bahagia puisi saya diapresiasi. Namun, menulis puisi sampai hari ini masih menjadi ruang personal buat saya. Pada akhirnya ada rasa tak nyaman sebab orang kadung mengenal saya sebagai penulis. Sebagai sarjana sastra, mestinya publik mengenal saya sebagai seorang pembaca. Jadi, kalau soal minat alumni sastra yang jadi penulis sastra, saya justru melihatnya banyak sekali. Yang kurang adalah berminat sebagai kritikus. Mestinya, itu output yang lebih sesuai dengan tanggung jawab keilmuannya.
Baik. Sebelumnya Anda bilang, kalau mengikuti DKJ bukan ingin menjadi juara. Lalu apa tujuan Anda mengikuti sayembara besar seperti DKJ?
Masakah DKJ Sayembara besar? Kalau menurut catatan penyelenggara tidak begitu. Meski tak bertujuan menang, saya butuh batasan untuk mengukur kedisiplinan saya dalam merapikan isi pikiran sendiri. Adanya sayembara semacam itu saya jadi terbantu. Kalau tidak ada target deadline, saya jadi kerap berdalih dan bermalas-malasan dalam menulis.
Jika Sayembara DKJ tidak dianggap besar, sayembara seperti apa yang menurut Anda besar di Indonesia khususnya?
Kalau diskusinya antara sayembara besar dan kecil, saya justru sempat berharap DKJ jadi “sayembara besar”. Setidaknya, meski atas nama “Dewan Kesenian Jakarta”, bukan “Dewan Kesenian Indonesia”, DKJ punya sejarah penting sebagai jembatan antara penulis, karya sastra, dan publik. Saya agak menyayangkan DKJ sampai memberi pernyataan tertulis mengenai posisi sayembara ini “tidak berambisi menjadi parameter kualitas”. Padahal, misal DKJ mengambil peran itu kan ya tidak apa-apa? Kalau karya juaranya memang bagus, kelirunya di mana? Cuma mungkin publik sastra kita sensitif ya terhadap ruang-ruang strategis dan politis begitu. Saya kira tak perlu ada label mana sayembara besar atau kecil. Namun, tiap penyelenggara berhak berbangga diri pada tiap karya yang direkomendasikannya kepada publik.
Baik. Jika merujuk hasil Sayembara DKJ Puisi Tahun 2021, Dewan Juri tidak memilih juara pertama sebagai pemenang. Hanya juara 2 dan 3. Mereka berdalih bahwa belum ada naskah yang benar-benar layak sebagai karya sastra yang bagus dengan parameter: berpegang kepada kualitas kebaruan puisi, kekokohan bangunan isi, serta kapasitas penyair mengeksplorasi kata-kata atau bahasa. Menurut Anda bagaimana? Atau jika dibandingkan tahun 2023 dengan diadakan juara pertama?
Hmm, kalau soal itu mungkin kita perlu melihat fakta bahwa juri tiap tahun berganti. Maka sudut pandang penilaian antara 2021 bisa berbeda dengan 2023. Jika dianggap ketiadaan juara 1 pada sayembara 2021 adalah ‘dalih juri’ ya mestinya tak perlu dipermasalahkan. Keputusan juri mutlak dalam sayembara apapun. Dalam pertimbangan saya, sebuah sayembara atau label berhasil jadi parameter atau tidak itu kan tampak pada suara karya itu sendiri. Meski tak ada juara 1, bukankah karya-karya jebolan DKJ selama ini bisa secara terbuka kita akui sebagai karya yang bagus? Jadi, jika tahun ini muncul juara 1, ya kembali lagi, itu keputusan juri.
Juri DKJ 2021 bilang, naskah-naskah puisi pada sayembara 2021 tidak memberikan kebaharuan, inovasi, dan sesuatu yang layak dicatat sebagai kemajuan penting dalam tradisi Sastra Indonesia. Karena itu, mereka meniadakan pemenang pertama. Menurut Anda, apakah musim 2023, DKJ sudah mampu memenuhi standar itu dengan diadakan kembali juara pertama?
Kalau dari sejarahnya, DKJ adalah penyelenggara yang berani meniadakan juara dalam sayembara. Dan itu mestinya disikapi dengan bangga sebab artinya penyelenggara dan juri memiliki rasa tanggung jawab besar sebagai “distributor”. Jika persoalannya adalah ukuran sejauh apa karya tersebut memberi sumbangan kepada tradisi sastra Indonesia, yang mesti diriset adalah tulisan kritik mengenai karya-karya tersebut pasca memenangkan sayembara. Antara naskah puisi pemenang 2021 dan 2023, terlalu dini untuk diperbandingkan.
Kalau dihubungkan dengan kritik sastra, bagaimana hasil dari Sayembara Kritik Sastra yang telah diadakan DKJ selama ini? Apakah sudah memenuhi standar baik, menurut Anda?
Sayangnya saya hanya bisa mengakses sedikit saja dari naskah pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ. Dari sedikit yang saya baca itu, ya tentu saja karya kritik yang bagus. Mungkin di masa depan distribusi naskah pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ bisa diperbanyak dan perluas ya.
Indonesia konon disebut juga sebagai negeri banyak penyair, tetapi kekurangan kritikus sastra. Apakah Anda sepakat dengan itu?
Saya tidak tahu apakah benar jumlah kritikus kita kurang. Yang jelas, naskah kritiknya masih minimal. Khususnya yang berkaitan dengan analisis puitika, baik prosa maupun puisi.
Kira-kira apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah atau siapa saja yang merasa punya tanggung jawab terkait perkembangan sastra di Indonesia?
Wah, saya jawab serius banget nih: melakukan proyek analisis dan penulisan sejarah puitika karya sastra Indonesia dengan pola pikir kepakaran. Baik pada jalur yang sudah dimulai maupun yang belum. Saya kira, kritik sastra kita terlalu cepat bosan dan meninggalkan sebuah jalur. Kalau bicara mengenai Chairil Anwar atau Amir Hamzah misalnya, seolah tak penting lagi sebab sudah habis ditulis oleh kritikus X, kritikus Y. Padahal, dalam kacamata studi teks, teks itu hidup ‘abadi’. Kalau H.B. Jassin dianggap pakar Chairil, lalu apa? Pada akhirnya H.B. Jassin mati dan kini tak ada lagi pakar Chairil. Dalam sempitnya pengetahuan dan lingkaran orang yang saya kenal, saya berharap di luar sana ada seorang murid yang tekun membaca tulisan-tulisan Jassin tentang Chairil dan menjadi rantai lanjutan untuk mewariskan isi pikiran itu ke masa depan. Begitu juga dengan teks-teks sastrawan lain. Dengan kacamata kepakaran begitu, publik sastra akan selalu punya rujukan pengetahuan dari masa ke masa. Saya pikir, itu besar manfaatnya untuk umur panjang sastra Indonesia.
Selaku pakar sastra, Menurut Anda, apa parameter manuskrip puisi yang bagus itu? Dan naskah seperti apa yang bisa dijadikan acuan standar bagus untuk DKJ ke depannya? Atau mungkin sayembara lainnya.
Waduh, kalau saya jawab itu sebagai akademisi, jawabannya bisa 8 SKS. Namun, sederhananya, bagaimana relasi antara bentuk dan isi tetap terus bisa menjadi pijakan penilaian paling dasar, dalam posisi kita sebagai pembaca biasa maupun pembaca luar biasa xixi.
Obrolan kita ini sudah lebih dari 2 SKS sepertinya. Tinggal tambah beberapa SKS lagi hehe.
Belumlah, ini baru kelas bimbingan perwalian. Kalau saya dosen wali, saya bisa bertanya sekarang, gimana? Jadi ambil mata kuliah ini atau enggak?
Begitu, ya hehe. Oke. Terakhir. Anda sendiri, apakah belum atau sudah merasa puas dengan menjadi salah satu penerima Manuskrip yang Menarik Perhatian Juri?
Saya heran sama jurinya, kok mau-maunya pilih naskah saya. Kalau pembaca cek puisi saya, mungkin bisa menangkap maksud saya itu. Benar juga kalau teks saya dianggap anomali, jadi cukup pas lah label itu “menarik perhatian”.
Harusnya bagaimana yang bener, biar keheranannya hilang? Hehe.
Dengan catatan penjurian yang bagi saya masih deskriptif itu, saya berharap dapat catatan pribadi dari para juri terkait pertimbangan apa yang didiskusikan sehingga memilih naskah itu di antara yang lain. Sebab pemilihan juara begitu kan jamak ya, konvensi antarteksnya berbeda-beda. Jadi, samar bagi saya untuk menebak-nebak posisi naskah saya di antara naskah pemenang lainnya. Kalau omong guyon, mungkin kalau saya jadi juara 1-nya, ya saya gak perlu menyimpan heran segala xixi.
Hahaha baik. Oke Bu Nanda. Terima kasih atas obrolan dan sharing ilmunya. Semoga selalu sukses ke depannya.
- Tempo Umumkan Pemenang Buku Sastra Pilihan 2024 - 26 Januari 2025
- Inilah 3 Besar Buku Sastra Pilihan Tempo 2024: Siapa yang Akan Jadi Juara? - 23 Januari 2025
- Titan Sadewo: Menulis Kematian, Menghidupkan Puisi - 14 Desember 2024