Musikalisasi Puisi

Musikalisasi Puisi

Musikalisasi Puisi adalah seni menyanyikan puisi, dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah pemahaman/ interpretasi, penghayatan, vokal, penampilan dan harmoni atau kepaduan.

Sebenarnya seni musikalisasi puisi atau seni menyanyikan puisi sudah kita kenal sejak “sastra lisan”. Kalau kita mau arif untuk menengok ke tradisi, maka seni musikalisasi puisi atau seni menyanyikan puisi bukanlah hal baru bagi masyarakat. Dendang dan Kaba di Sumatera Barat, Tembang dan Mocopat di Jawa, Royong dan Sinrili di Sulawesi Selatan, pantun dan dendang- dendang lainnya di berbagai daerah di Tanah Air, yang sarat dengan ajaran-ajaran moral dan pemujaan kepada Yang Maha Kuasa, pada hakekatnya adalah Seni Musikalisasi Puisi atau Seni Menyanyikan Puisi.

Pada Awal tahun 1970 di Yogyakarta, Umbu Landu Paranggi, Emha Ainun Nadjib, Ebiet G. Ade dan Dedet R. Murat memelopori seni menyanyikan puisi yang mereka namakan “Singing Reading”. Di Bandung, Trio Bimbo menyanyikan puisi-puisi Taufiq Ismail. Juga secara simultan di beberapa daerah muncul grup-grup yang menyanyikan puisi.

Sementara, seni menyanyikan puisi ini kemudian diberi penamaan “Musikalisasi Puisi” oleh Remy Sylado, melalui Dapur Musik 23761. Remy Sylado yang juga berdomisili di Bandung menyanyikan puisi-puisi karyanya sendiri yang mbeling.

Awalnya, Seni Musikalisasi Puisi diprakarsai oleh penyair yang memahami dan menguasai komposisi musikal, sebagaimana nama-nama yang saya sebutkan di atas.

Pada waktu yang bersamaan, mungkin juga di beberapa daerah sudah muncul seni musikalisasi atau seni menyanyikan puisi ini, hanya saja kurang terpublikasikan atau tidak terberitakan secara nasional.

Karena munculnya kesadaran, bahwa ternyata ketika beberapa puisi itu, ketika dimusikalisasikan atau dinyanyikan, lebih dapat menyentuh rasa keharuan ketimbang dibacakan/ dilisankan. Kenyataan inilah antara lain yang mendorong munculnya seni musikalisasi puisi atau seni menyanyikan puisi ini.

Syair-syair yang dinyanyikan oleh Bob Dylan, Jim Morrison, Freddie Mercury, Jimmy Page, Ian Gillan, Rod Stewart, John Lennon, Paul McChartney dan Mick Jagger pada hakekatnya adalah puisi. Contoh yang dekat dengan kita adalah ketika Iwan Fals dengan Kantata Taqwa menyanyikan puisi-puisi Rendra.

Yang harus disadari adalah, bahwa tidak semua puisi bisa dengan indah dimusikalisasikan atau dinyanyikan, terutama puisi-puisi yang barisnya “panjang”, atau barisnya “kontradiktif”. Dan untuk memusikalisasikan puisi, sebaiknya puisi yang akan dimusikalisasikan dipahami secara mendalam.

Menyanyi atau melantunkan suara dengan nada- nada beraturan adalah sisi manusiawi yang sangat menyenangkan, karena setidaknya dapat menghibur diri. Menyanyi juga dapat menyalurkan berbagai keresahan yang melanda, atau menyalurkan berbagai luapan keinginan yang belum tercapai, atau hendak dicapai

Barangkali ini yang mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk menyanyikan puisi, di samping mengasah daya kreatifitas.

Dan sekarang Seni Musikalisasi atau Seni Menyanyikan Puisi mulai marak di Tanah Air. Setidaknya di setiap sekolah dan perguruan tinggi, selalu ada grup musikalisasi puisi. Ini adalah pertanda baik untuk mengapresiasi puisi sebagai karya sastra yang membangkitkan kesadaran imajinatif, dengan bahasa yang terkonsentrasi dan terpilih untuk melahirkan makna, diksi, suara dan ritme. Dan mudah- mudahan, pada perkembangannya akan menjadi kegemaran di masyarakat luas.

Sampai hari ini, secara rutin Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I, dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, secara rutin menyelenggarakan Lomba Musikalisasi Puisi tahunan.

Untuk memusikalisasikan puisi atau menyanyikan puisi, ada beberapa langkah yang harus ditempuh;

  • Pertama, memilih dan menentukan puisi yang punya kemungkinan untuk dinyanyikan, berdasarkan baris dan baitnya. Dan setelah membacanya berkali-kali, akan tertangkap semangat, makna, atau pesannya. Setelah itu memahaminya secara mendalam.
  • Langkah selanjutnya adalah mencoba membacakannya, untuk menangkap unsur-unsur musikal (dari pemilihan kata) dari diksi puisi tersebut. Kalau perlu mencoba mendiskusikannya dengan penulisnya. Tidak pun tak apa-apa.

Kemudian mencoba menyanyikannya berdasarkan unsur-unsur musikalitas dari semangat puisi tersebut. Sambil memilih instrumen atau alat musik yang sesuai.

  • Kalau puisi yang dipilih mempunyai nilai-nilai tradisi atau “warna lokal”, bisa digunakan istrumen kelokalan yang sesuai dengan puisi tersebut. Dengan pendekatan kekinian, tentu saja.
  • Bereksperimen untuk menyanyikannya berkali-kali. Sambil mempertanyakan: “Sudah wajarkah?” “Sudahkah tergambar isi pikiran dan isi perasaan dari kalimat?” Ketika puisi itu di nyanyikan? Sebagaimana kalau puisi itu diucapkan secara lisan.
  • Karena obyeknya adalah puisi, maka upaya yang dilakukan haruslah bertolak dan berpulang dari puisi itu sendiri. Dan puisi tersebut adalah sebuah puisi yang selesai.

Jockie Suryo Prayogo (alm), pernah memusikalisasi- kan atau menyanyikan puisi saya yang berjudul “O, Marsinah”, sebuah puisi tentang buruh pabrik alroji yang tewas akibat penganiayaan. Untuk membangun suasana yang bersumber dari puisi, Jockie menggunakan instrumen piano, hanya sebuah piano, tanpa instrumen lainnya. Dan hanya dengan sebuah piano, semangat keharuan dari puisi tersebut dapat terwujud:

Jose Rizal Manua
O, MARSINAH

Sebuah potret unjuk-rasa dengan latar pabrik arloji
terpampang di harian pagi
Di balik potret buram itu
berlangsung pelecehan terhadap upah dan nasib buruh
Di balik potret buram itu
berlangsung terror, drama penculikan dan tragedi pembunuhan
Di balik potret buram itu
berlangsung protes dan demonstrasi segenap mahasiswa

O, Marsinah

Di gedung tinggi manakah
bendera keadilan harus kita kibarkan?
Kalau semua gedung tinggi penuh iklan?
Di gelombang samudera manakah
Hak azasi manusia harus kita muarakan?
Kalau semua gelombang penuh limbah?
Di bentangan langit manakahupah dan nasib buruh harus kita pancangkan?
Kalau semua bentangan penuh peluru dan mesiu?

O, Marsinah

Dari sosial kita belajar jegal
obral-bual dan cekal
Dari politik kita belajar taktik
kutak-katik dan konflik
Dari ekonomi kita belajar monopoli
persen-komisi dan korupsi.
Dari budaya kita belajar sandiwara
menghalalkan-cara dan rekayasa

Sebuah potret unjuk-rasa dengan latar pabrik arloji
Terpampang di harian pagi
Di balik potret buram itu berlangsung perburuan dan drama penangkapan
Di balik potret buram itu
berlangsung prosesi pengadilan yang berantai dan panjang
Di balik potret buram itu
Berlangsung arak-arakan belasungkawa dan prosesi penguburan

1 Juni 1993

Jose Rizal Manua
Latest posts by Jose Rizal Manua (see all)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *