Misteri Sendal Bolong: 04 – Rumah Pacarku Seram

Misteri Sendal Bolong: 04 – Rumah Pacarku Seram

Kalian pernah melintas di jalan yang terkenal angker? Bagaimana rasanya? Bulu kuduk merinding?Gemetaran? Keringat dingin? Aku pernah merasakan hal itu. Sangat mengerikan. Kisahnya begini.

Sekitar tahun 1999, adalah tahun paling mengenaskan dalam hidupku. Ketika itu, aku diputus oleh kekasihku, padahal kami sudah sempat mau melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, yaitu pernikahan.

Ok skip dulu soal itu.

Malam itu, aku kebagian tugas ronda bersama lima rekan-rekanku yang semuanya mewakili orang tua kami yang sebenarnya kebagian tugas ronda. Tugas ronda, biasanya kami bagi 3 kelompok. Masing-masing team terdiri dari 2 orang agar bisa menyebar untuk menjaga keamanan kampung dari tindak kejahatan pencurian.

“Dul. Kau sama Mamad, ke arah gang Bangkong. Kau, Min. Sama Timan ke arah gang Suleman. Aku sama Wardi ke arah gang Perintis,” ucapku membagi tugas.

Semua setuju atas pembagian wilayah dan rekan ronda.

Melihat jam di dalam pos ronda telah menunjukkan pukul 10 malam, kami pun mulai berkeliling sesuai arah yang telah kami sepakati bersama. Dengan berbekal senter dan kentongan, aku dan Wardi menyisir gang Perintis yang harus melintasi jalur perkuburan umum warga.

Di saat sedang menyenter sekitaran perkuburan, aku mendengar suara kresek-kresek yang mencurigakan.

“Suara apa itu, War?” tanyaku sambil menajamkan mata mencari-cari sumber suara.

“K-ki-kita ba-balik a-aja, Bang,” kata Wardi dengan nada suara bergetar yang jelas terasa ketakutan melanda dirinya.

“Kau kenapa?” tanyaku heran.

“I-itu … i-ituuu apaaaaaa?” ucapnya sambil menunjuk ke arah rumpun pohon pisang di dekat sebuah kuburan yang tak terurus.

Aku pun mengarahkan pandangan dan senter ke arah yang ditunjuk Wardi. Putih putih bergerak melayang di antara dedaunan pohon pisang.

“Po-pocong, Bang,” ucap Wardi sambil menunjuk.

Dengan langkah pasti, aku mendatangi mahluk putih yang melayang itu. Wardi memegang pinggangku sambil meletakkan kepalanya di punggungku untuk berlindung. Dia ingin lari tapi takut, maka dia ikut padaku mendatangi mahluk itu. Setelah semakin dekat, kutebaskan kayu pemukul kentongan ke mahluk itu.

Plak plak plak plak

Robek!
Ternyata yang kami lihat seperti pocong itu, adalah daun pisang yang kalau kena sinar akan terlihat berwarna putih.

“Cuma daun, War,” ucapku sambil terus saja memukul-mukulkan kayu kentongan ke arah daun pisang tersebut.

“Hah! Benarkah, Bang?” tanya Wardi sambil buka mata.

Dia melihat daun pisang yang berantakan akibat pukulanku. Wajah tegangnya berubah menjadi senyum lucu.

“Abang pemberani banget, ya,” katanya penuh kekaguman.

“Udah, yuk kita balik ke pos,” ajakku. Kami pun kembali berkumpul di pos penjagaan. Semua aman terkendali.

“Nanti, kalau arah gang Haji Saimun, siapa?” tanya Abdul penasaran.

“Nnggg … kalian aja berlima, ya. Aku menunggu di pos,” jawabku dengan nada gemetaran.

“Kenapa Abang gak ikut?” tanya Wardi.

Aku diam tak memberi jawaban.

“Gang Haji Saimun, angker,” ucapku gemetaran.

“Angker darimana? Ada-ada aja Abang ini. Tadi di dekat areal perkuburan, Abang gak punya rasa takut sama sekali,” ucap Wardi sambil sedikit mempromosikan keberanianku tadi pada Abdul, Mamad, Timan, dan Muhaimin.

“Aku takut lewat sana,” ucapku. Wajahku memucat pasi.

“Ayolah, Bang. Abang pemimpin kami. Hanya Abang yang paling kami andalkan di sini,” bujuk Muhaimin.

“Abang paling kuat di antara kami semua. Ditambah Abang punya ‘pegangan’. Ayolah, Bang. Kita ke sana untuk cek situasi. Jangan sampai ada maling di sana,” ucap Abdul memberi sokongan pada ucapan Muhaimin sebelumnya.

Dengan sangat terpaksa aku memenuhi permintaan teman-temanku. Sesungguhnya aku sangat takut lewat gang Haji Saimun. Sangat angker dan menyeramkan, tetapi sayangnya teman-temanku tak tahu bagaimana angkernya jalan itu.

Kami pun bersama-sama berangkat menuju gang Haji Saimun.

Jalan menuju gang Haji Saimun, harus melewati areal kebun Pak Umar dan rumah Pak Hanif sebelum memasuki gang Haji Saimun. Setelah melewati kebun Pak Umar, hampir mendekati rumah Pak Hanif, kakiku kram rasanya. Sangat berat untuk dilangkahkan. Keringat dingin mengucur dari dahiku. Badanku terasa sangat panas.

“Kenapa, Bang?” tanya Abdul yang melihatku berhenti melangkah.

“A-aku … aku … Aahhh!” ucapku patah-patah.

“Bang! Bang! Kenapa, Bang?” tanya Wardi panik.

Aku menunjuk ke arah depan. Ada sosok lelaki berdiri di depan rumah. Semua memandang ke arah tunjukku.

“Astaghfirullah!” ucap Muhaimin.

“Ya Allah!” ucap Abdul hampir bersamaan dengan Muhaimin.

“Itu pak Hanif,” kata Wardi memberi tahu.

“Benar, itu memang pak Hanif. Tapi lihat di belakangnya. Di pintu … Hiiiiiiii … Sereeeeeem!” ucapku penuh rasa ketakutan.

Serempak semua mata melihat ke arah pintu rumah Pak Hanif. Terlihat sosok perempuan berkerudung, dengan nampan di tangannya. Itu adalah Hamidah, anak gadis Pak Hanif. Mereka memang biasa memberikan kopi atau makanan kecil kalau petugas ronda melintas di depan rumah mereka.

“Itu, kan si Hamidah, Bang,” ucap Wardi.

“I-ya. Benar. Tapi … tapi … dia mantanku, huaaaaaaa huaaaaaaa huaaaaaaa,” teriakku sambil menangis karena belum bisa move on dari Hamidah yang memutuskan kisah cinta kami.

Secara bergantian, terdengar lima suara paling indah yang berasal dari jidatku.

PLETAK!
PLETAK!
PLETAK!
PLETAK!
PLETAK!

Semua temanku menjitak kepalaku. Salahkah aku jika jalan menuju rumah mantan adalah jalan paling angker?

Bandung, 17 Januari 2024

Safri Naldi
Latest posts by Safri Naldi (see all)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *