Menolak Patriarki dalam Kumpulan Puisi Kill The Radio: Sebuah Radio Kumatikan, Karya Dorothea Rosa Herliany

Menolak Patriarki dalam Kumpulan Puisi Kill The Radio: Sebuah Radio Kumatikan, Karya Dorothea  Rosa Herliany

Dorothea Rosa Herliany atau biasa dipanggil Rosa merupakan seorang sastrawan dan penulis wanita yang sangat produktif asal Magelang, Jawa Tengah. Ia lahir di Magelang, 20 Oktober 1963. Rosa banyak melahirkan karya sastra salah satunya adalah puisi. Di Indonesia, Rosa memiliki wadah dalam menulis puisi kontemporer Indonesia. Kumpulan puisi karyanya merupakan karya-karya yang telah diseleksi dalam bahasa aslinya lengkap dengan terjemahan dalam bahasa Inggris.

Salah satu buku kumpulan puisi karya Dorothea Rosa Herliany yang menarik adalah kumpulan puisi berjudul Kill the Radio: Sebuah Radio Kumatikan. Kumpulan puisi ini menjadi menarik karena di dalamnya berisi beberapa tema, di mana sebagian besar bersifat pribadi dan sebagian yang lain merupakan pengalamannya tentang kondisi sosial politik di Indonesia. Dalam kumpulan puisi Kill the Radio ini, terdapat dua puisi yang akan saya ulas. Puisi tersebut berjudul “Buku Harian Perkawinan” dan “Perempuan Berdosa”.

BUKU HARIAN PERKAWINAN

ketika menikahimu, tak kusebut keinginan setia.
engkau bahkan telah menjadi budak penurutku.
dunia yang kumiliki kubangun di atas bukit batu
dan padang ilalang. kau bajak jadi ladang subur
yang masih mesti kupanen dalam setiap dengus nafasku.
kupelihara ribuan hewan liar, kujadikan prajurit
yang akan menjaga dan memburumu.
dan kutanam bumbu untuk gagang tombak dan sembilu.

berlarilah sejauh langkah kejantananmu, lelaki!
bersembunyilah di antara ketiak ibumu.
membaca gerak tumbuh dan persemaian segala
tumbuhan bijak: ajarilah aku membangun rumah dan
dindingtakberpintu. memenjara penyerahanku
yang kubaca dengan bahasamu.

tapi aku menikahimu tidak untuk setia.
kubiarkan diriku bertarung di setiap medan peperangan. 
aku panglima untuk sepasukan hewanhewan liarku
---yang selalu bergairah memandangmu di atas meja makan.

sekarang biarlah kudekap engkau,
sebelum kulunaskan puncak laparku!

2000

Makna dalam puisi menunjukkan tentang sebuah penolakan terhadap kultur yang biasa digunakan khalayak umum maupun penyair-penyair lain di dalam kehidupan ketika membicarakan romantisme cinta. Termasuk ke dalam istilah patriarki, dimana biasanya perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah dan laki-laki digambarkan sebagai sosok yang berkuasa.

Dalam puisi berjudul “Buku Harian Perkawinan” ini, Rosa secara tegas memberikan penolakan terhadap asumsi tersebut. Puisi tersebut menggambarkan seorang aku (perempuan) yang memiliki ambisi besar. Sosok perempuan yang menolak sistem patriarki, dengan menuntut sebuah persamaan yang nyata. Dalam puisi perkawinan, setiap orang pasti menulis tentang sebuah komitmen yang ada di dalamnya. Namun, hal itu justru berbanding terbalik dengan puisi karya Rosa ini. “ketika menikahimu, tak kusebut keinginan setia.” Terlihat dalam larik pertama bahwa yang menyajikan sebuah penolakan terhadap sebuah ikatan antara dua insan, perempuan selalu menjadi pihak yang disudutkan. Pada larik “engkau bahkan telah menjadi budak penurutku.” Menegaskan bahwa perempuan dapat berdiri di atas laki-laki. Kekuasaan yang biasanya dimiliki oleh lelaki terhadap perempuan, berbanding terbalik dengan puisi ini. Perempuan digambarkan mampu memiliki kekuasaan terhadap lelaki, terlihat dari ungkapan si perempuan bahwa perkawinan merupakan dunia yang telah ia bangun di atas bukit batu dan padang ilalang, tempat memelihara ribuan hewan liar yang dijadikan prajurit oleh si perempuan untuk melawan dan menguasai si lelaki.

membaca gerak tumbuh dan persemaian segala
tumbuhan bijak: ajarilah aku membangun rumah dan
dindingtakberpintu. memenjara penyerahanku
yang kubaca dengan bahasamu.

Dapat dilihat sebuah ungkapan menyerah, yang di baliknya mengandung arti sebagai awal terciptanya sebuah penolakan. Kemudian lahirlah penolakan di mana perempuan berperan sebagai panglima atas pasukan hewan-hewan liarnya. Puisi ini diakhiri dengan adanya hasrat seksual perempuan terhadap si lelaki, terbukti dari ungkapan “sekarang biarlah kudekap engkau sebelum kulunaskan puncak laparku.”

Dorothea Rosa Herliany, memiliki karakter tersendiri dalam penciptaan sebuah puisi. Penggunaan kata-kata yang kasar dan keras menjadi hal mendasar yang menandakan sebuah penolakan. Namun, justru hal tersebut yang kemudian membawa para pembaca untuk mampu memunculkan aspek emosiaonal dalam tiap lirik puisinya.

PEREMPUAN BERDOSA

perempuan itu memikul dosa sendirian, seringan jeritannya
yang rahasia: berlari di antara sekelebetan rusa yang diburu
segerombolan serigala.
kautulis igaunya yang hitam, mengendap di bayang dinding
tak memantulkan cahaya.

perempuan itu melukis dosa yang tak terjemahkan
ia tulis rahasia puisi yang perih dendam dalam gesekan rebab.
lalu iahentakkan tumit penari indian yang gelap dan mistis.

segerombolan lelaki melata di atas perutnya.
mengukur beberapa leleh keringat pendakian itu,
sebelum mereka mengepalkan tinjunya
ke langit. dan membusungkan dadanya yang kosong:
mulutnya yang busuk menumpahkan ribuan belatung dan 
ulatulat.

perempuan itu membangun surga dalam genangan airmata.
menciptakan sungai sejarah: sepanjang abad!

Februari, 2000

Puisi kedua berjudul “Perempuan Berdosa” mengandung makna bahwa sosok si perempuan sebagai pelaku dalam puisi tersebut merasa terbebani oleh dosa-dosa dalam dirinya, dan merasa dirinya adalah korban dari para lelaki yang telah melecehkan dan menjatuhkan harga dirinya. 

perempuan itu memikul dosa sendirian, seringan jeritannya
yang rahasia: berlari di antara sekelebetan rusa yang diburu
segerombolan serigala.
kautulis igaunya yang hitam, mengendap di bayang dinding
tak memantulkan cahaya.

Pada bait tersebut rusa memiliki makna sebagai bentuk kecantikan, dan serigala digambarkan sebagai sosok yang merenggut kecantikan tersebut. Larik “perempuan itu melukis dosa yang tak terjemahkan ia tulis rahasia puisi yang perih dendam dalam gesekan rebab“ menjadi gambaran dari seorang perempuan yang berperan sebagai tokoh utama yang membawa beban dosa ini menyimpan sebuah rahasia. Ia digambarkan sebagai sosok yang tangguh dan sangat ekspresif, mampu mengekspresikan perasaannya melalui lukisan kata-kata dalam bait-bait puisi. Penggambaran “dosa” menjadi sebuah simbol dari beban yang dialami si perempuan sebagai konflik internal dengan dirinya sendiri.

Puisi ini menggambarkan seorang perempuan yang memiliki kekuatan untuk menghadapi dosa dan rahasia yang dialaminya. Puisi ini menciptakan gambaran tentang keberanian si perempuan, seperti menciptakan “surga dalam genangan air mata” dan “sungai sejarah,” sebagai tanda perjuangan dan penciptaan yang luar biasa. Kata “sungai” merupakan simbol alam yang menjadi gambaran tentang waktu yang terus mengalir menjadi sejarah.

Inti dari puisi “Perempuan Berdosa” ini adalah penggambaran perasaan dan pengalaman dari si perempuan yang membawa beban dosa dan rahasia. Puisi ini menciptakan citra dari seorang perempuan sebagai sosok yang tangguh dan berani menghadapi berbagai tantangan yang menyerang kehidupannya. Dorothea Rosa Herliany menggunakan bahasa yang kuat dan gambaran mendalam untuk menyampaikan pesan tentang kekuatan perempuan dalam menghadapi perasaan bersalah dan rahasia yang memberatkan mereka.

Nala Mega Rahmawati

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *