Puisi “Jagat Terkesiap Senyap” ditulis oleh Roso Titi Sarkoro yang termuat dalam Antologi puisi berjudul Peradaban Baru Corona terbitan April tahun 2020, di mana pada masa itu merupakan masa awal dunia diisolasikan. Roso Titi Sarkoro merupakan seniman yang bermukim di Temanggung, Jawa Tengah. Mungkin sebagian dari kita masih asing dengan nama itu. Jagat Gugat dan Jagat Punakawan merupakan buku kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit pada tahun 2014 dan 2018 silam. Melalui antologi puisi ini, Rosomeng hadirkan puisi berjudul “Jagat Terkesiap Senyap”.
Jagat Terkesiap Senyap nestapa luruh melipat sunyi jagat terkesiap senyap jantung berdegup sulur-sulur kalut melumut Sungai darah mengaliri dada tak memilah derajat pangkat kampung-kampung mengisolasidiri tempat peribadatan lenggang ditinggalkan umat memanjat bukit-bukit memetik bulir-bulir zikir rimbun embun rumpun dedaun duri kanak-kanak merangkak terbanting di depan layartelevisi berguru pada hening batu para santri mengaji batang-batang sepi diluar pesantren kiyai puisi semacam sabun cuci sejenak membasuh selengkang jati-jemari menguak tapak jalan jauh melenceng persebaran akar-akar tanah remang pori-pori jemaah kenduri salah kaprah di tepi jagat sunyi kudengar ketukan tongkat nabi pada kerak bumi tercium wangi selasih sesayup bait puisi wangsit virus covid sangkrah serakah manusia merapuh nurani Temanggung, April 2020
Roso mencoba untuk menyampaikan dunia atau jagat yang seketika senyap karena adanya isolasi melalui diksi-diksinya yang indah. Apabila dibaca sekilas, pemilihan kata pada puisi “Jagat Terkesiap Sunyi” bisa dibilang sulit karena penuh akan kiasan. Akan tetapi, apabila kita membaca puisi tersebut secara keseluruhan, maka dapat diperoleh pula makna yang hendak disampaikan oleh Roso.
Dalam pemilihan judul, Roso menggunakan diksi ‘jagat’ yang berarti bumi atau dunia atau alam. Pemilihan kata jagat yang mewakilkan kata bumi atau alam semesta seolah-olah dibuat Roso untuk menandakan kejawaan yang tidak hilang dari diri penyair. Judul puisi “Jagat Terkesiap Senyap” mengandung makna dunia yang tiba-tiba sunyi tanpa kegiatan. Lewat judulnya ini Roso mengantarkan pembaca untuk mengetahui kesunyian dan kehidupan dunia akibat isolasi covid.
Roso menulis puisi ini tidak jauh dari lingkungan tinggalnya, di mana dalam bait pertama yang berbunyi
nestapa luruh melipat sunyi jagat terkesiap senyap jantung berdegup sulur-sulur kalut melumut Sungai darah mengaliri dada tak memilah derajat pangkat
Roso menyampaikan makna kesedihan dalam melihat dunia yang sepi. Roso mengibaratkan tanaman sulur-sulur yang menjadi lumut di Sungai berdarah atau dalam yang mengibaratkan kejadian mengerikan yang menjalar mengaliri dada. Hal mengerikan yang akan diceritakan oleh Roso dalam puisi ini adalah menyebarnya virus corona yang membuat semua masyarakat di dunia menjadi begitu ketakutan. Hal mengerikan itu “Mengaliri dada tak memilah derajat pangkat” menandakan bahwa virus corona menyebar ke seluruh dunia dan menjangkiti manusia-manusia tanpa mengenal pangkat, derajat, jenis kelamin, umur, pekerjaan, dan agama. Semua orang dapat terdampak virus corona yang mengakibatkan dunia terisolasi, terkesiap senyap. Dalam bait kedua, Roso kembali memberi highlight sunyi sebagai maknanya.
kampung-kampung mengisolasi diri tempat peribadatan lenggang ditinggalkan umat memanjat bukit-bukit memetik bulir-bulir zikir rimbun embun rumpun dedaun duri
Puncak menyebarnya virus corona dimulai sejak Maret tahun 2020, pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan-kebijakannya agar seluruh masyarakat di Indonesia melakukan Isolasi dan tidak boleh keluar rumah hingga kondisi membaik. Mulai dari situlah masyarakat bekerja, sekolah, dan melakukan kegiatannya dari rumah. Atas kebijakan itu, Roso sepertinya ingin menyampaikan kesunyian perkampungan karena isolasi. Sebagai orang yang tinggal di Temanggung, Saya ikut merasakan kesunyian akibat isolasi ini. Keseharian di Temanggung khususnya di kampung saya terasa sunyi, tidak terdengar suara anak kecil yang berlari-larian, semua orang takut akan menyebarnya virus corona di kampungnya. Roso juga ingin menyampaikan kesunyian tempat ibadah karena manusia yang sibuk mencapai bukit-bukit yang mungkin menggambarkan sebuah puncak keselamatan dari wabah penyakit.
Bait ketiga puisi ini mengacu pada perubahan budaya kanak-kanak yang berguru dalam hening di depan layar televisi.
kanak-kanak merangkak terbanting di depan layartelevisi berguru pada hening batu para santri mengaji batang-batang sepi diluar pesantren kiyai
Kebijakan pemerintah mengenai protokol Kesehatan akibat wabah covid ini juga meliputi kebijakan sekolah daring. “Berguru pada hening batu” seakan memberi pesan bahwa anak-anak sekolah mencari ilmu dengan berbekal media daring yang hening, tidak seperti suasana kelas pada umumnya. Begitu pula dengan para santri yang mengaji di luar pesantren kiyai.
Bait keempat seolah berkata bahwa sabun cuci sejenak membasuh jari jemari untuk kemudian digunakan untuk mengomentari hal-hal yang melenceng, menuju ke rombongan kenduri yang salah kaprah. Tertulis dalam bait terakhir terdengar wangsit covid yang menyebabkan keserakahan manusia akan selamat dari wabah itu.
Demikianlah Roso melihat fenomena-fenomena yang terjadi akibat covid-19 yang kemudian dituliskan mejadi sebuah puisi. Sejenak ketika membaca puisi tersebut di masa endemi, kita akan merasakan dan teringat Kembali pada masa-masa suram di mana pandemic covid-19 menyerang seluruh dunia. Lewat puisi ini, kita juga bisa bersyukur atas berubahnya status pandemic menjadi endemic yang menandakan bahwa dunia telah bebas dari isolasi dan bisa memulai kehidupan normal yang baru.
***
DAFTAR PUSTAKA
Sylado, Remy. 2020. Peradaban Baru Corona Puisi 99 Wartawan Penyair. Bogor: PT Anugrah Java Media. Diperoleh dari https://repositori.kemdikbud.go.id/19367/1/E Book%20Puisi%20Corona%20Wartawan%20Penyair.pdf