Oleh: Syukur Budiardjo
Suatu ketika saya menerima kiriman sebuah buku kumpulan puisi tunggal karya penyair
muda Indra Intisa bertajuk Panggung Demokrasi. Buku kumpulan puisi dengan kulit depan
bergambar dua buah topeng hitam putih dan berlatar belakang warna hitam, memiliki cetakan
pertama pada Januari 2015 ini diterbitkan oleh Penerbit Meta Kata yang berdomisili di
Malang, Jawa Timur.
Dengan tebal 124 halaman buku ini memuat 101 puisi, yang terbagi atas Bab I Tentang Cinta
(terdapat 15 puisi), Bab II Pemilu 2014 (terdapat 33 puisi), Bab III Cerita di Warung Kopi
(terdapat 49 puisi), dan Bab IV Tahun Baru 2014 (terdapat 4 puisi). Seluruh puisi di dalam
buku kumpulan puisi ini tampil dalam genre “puisi mbeling”.
Genre Puisi Mbeling
Seperti dikatakan oleh penyairnya dalam kata pengantar, “Saya menyukai konsep ini karena
tidak semua hal ditulis dan dibuat dengan serius sehingga membuat kening berkerut, tapi
banyak hal bisa dijelaskan dengan santai dan humor sehingga bisa ditertawakan daripada
membuat puisi yang dapat dipuji dan ditangisi”.
Menurut Remy Sylado , dalam bahasa Jawa, kata mbeling berarti nakal atau suka
memberontak terhadap kempanan dengan caracara yang menarik perhatian. Namun berbeda
dengan kata urakan, yang dalam bahasa Jawa lebih dekat dengan sikap kurang ajar dan asal
beda, kata mbeling mengandung unsur kecerdasan serta tanggung jawab pribadi (Puisi
Mbeling Remy Sylado, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2004, hlm. xi).
Menurut Sapardi Djoko Damono (Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 94), ciri utama puisi mbeling adalah kelakar. Di samping itu, di dalam puisi mbeling terdapat kritik sosial yang memuat ejekan. Ini diwujudkan dengan memanfaatkan kata-kata, arti, bunyi, dan tipografi.
Dalam wawancara dengan Remy Sylado pada 19 Mei 2004, editor Puisi Mbeling Remy Sylado, (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2004, hlm. xiii), menyatakan bahwa apa yang hendak didobrak oleh gerakan puisi mbeling adalah pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai dengan estetika yang baku.
Pandangan ini menurut gerakan puisi mbeling hanya akan menyebabkan kaum muda takut berkreasi secara bebas. Bagi gerakan puisi mbeling, yang namanya diambil dari nama rubrik “Puisi Mbeling” di majalah Aktuil, bahasa puisi dapat saja diambil dari ungkapan sehari-hari, bahkan yang dianggap jorok sekalipun. Yang penting adalah puisi yang tercipta dapat menggugah kesadaran masyarakat atau tidak, berfaedah bagi masyarakat atau tidak. Pendek kata, dalam kamus gerakan puisi mbeling tidak ada istilah major art dan minor art.
Secara tegas Remy mengatakan bahwa puisi adalah pernyataan akan apa adanya. Jika puisi adalah apa adanya, maka dengan begitu terjemahan mentalnya, hendaknya diartikan bahwa tanggung jawab moral seorang seniman ialah bagaimana ia memandang semua kehidupan dalam dan luar lingkungannya secara menyeluruh, lugu, dan apa adanya. Akan teapi , tanggung jawab (penyair) yang pertama adalah bahwa sebagai seniman dia harus memiliki gagasan (Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 96).
Rupanya penyair Indra Intisa ini sangat terpengaruh oleh puisi-puisi mbeling karya sang maestro puisi mbeling Remy Sylado. Sebab, seluruh puisi yang terkumpul di dalamnya, tampil dengan nada humor, jenaka, lucu, meski sarat dengan kritik yang pahit. Seluruh puisi dikemas dengan menggunakan diksi dan nada yang tipikal kritis dan sense of humour.
Pemberi Harapan Palsu (PHP)
Berbarengan dengan meledaknya lagu dangdut “Sakitnya Tuh di Sini” yang dinyanyikan oleh biduanita Cita Citata — yang populer pada tahun 2014 –, Indra Intisa menulis puisi mbeling “Korban Sakit* (halaman 111). Karena keluhan dan penderitaan yang dialami oleh mayoritas masyarakat kita yang sakit (ekonominya), yang berada di seberang sana, yang tidak dihiraukan oleh para pemimpin dan pejabat di negeri ini, sehingga “rupanya yang sakit di sana mati, karenan lolongan (-nya) tak terdengar”.
Dalam puisi “Bisnis Kentut” (halaman 85), Indra Intisa menyindir tajam para pemimpin dan pejabat yang gemar membual dan suka ber-PHP (pemberi harapan palsu). Bahkan bisa dikatakan sebagai prank. Sebab, mereka itu layaknya hanyalah mencari keuntungan bagi diri pribadinya sendiri. Mereka pantas dijuluki “penjual kentut”. Begini puisi selengkapnya.
BISNIS KENTUT kentut sekarang juga telah menjadi lahan bisnis seperti dalam setiap rapat Ia digaji untuk menebarkan kentut-kentut ke semua penjuru
Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, bisnis kentut tentu saja merajalela. Para calon anggota legislatif dan calon presiden mengobral janji-janji yang meramaikan tahun politik di negeri ini. Janji tinggal janji. Setelah itu rakyat ditinggalkan. “Kalau sudah duduk lupa berdiri”, demikian ungkapan pelawak almarhum S Bagio.
Indra Intisa juga menyindir maraknya korupsi di segenap lini kehidupan di negeri kita. Inilah puisi “Indonesiaku Hijau” (halaman 81) yang menggambarkan betapa suburnya korupsi di Indonesia. Sebab korupsi pada saat ini sudah menjadi wabah dan suburrnya seperti tanaman para petani yang ijo royo-royo.
INDONESIA HIJAU Indonesiaku hijau pepohonan tumbuh dengan indah indah sampai ke pucuk daun muda yang dinikmati para pemakan daun yang dibayar dari uang korupsi pantaslah korupsi semakin menghijau
Dalam puisi “Tidak Harus” (halaman 60), penyair Indra Intisa menyindir para politikus yang munafik, hipokrit, dan “lain di bibir lain di hati”. Berikut ini puisi tersebut selengkapnya.
TIDAK HARUS Tidak harus menjadi monyet jika ingin memakai topeng. Toh, para politikus juga sering melakukan itu
Aparat Menyikat Rakyat
Sementara itum, sebuah puisimya yang berjudul “Tentang Tata Bahasa” (halaman 115) tidak kalah menariknya. Pangkal tolaknya adalah penggunaan diksi “ubah” sebagai kata baku, yang oleh pemakai bahasa disalahkaprahkan menjadi “obah”, “robah”, dan “rubah“.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, 2007, edisi ketiga halaman (234) entri “ubah” bermakna 1 “menjadi lain (berbeda) dari semula”; 2 “bertukar (beralih, berganti) menjadi sesuatu yang lain; 3 berganti (tentang arah).
Di dalam KBBI tidak kita temukan entri “obah” dan “robah“. Akan tetapi, entri “rubah” kita temukan di dalam KBBI (halaman 965). Di sini dinyatakan bahwa “rubah” bermakna binatang jenis anjing, bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dan sebagainya. Dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Biologi, hewan ini termasuk dalam golongan hewan karnivora. Singkat kata, “rubah” adalah hewan pemakan daging. Wuih, mengerikan! Seram!
Sebab, melalui puisi ini saya menangkap makna — kita sadari ataupun tidak kita sadari hingga kelihatan sebagai puncak gunung es — penyakit (rohani) mengerikan nan kronis bagi aparatur negara menjadi “zombi” atau “monster” atau “dajjal” yang akan melumat dan menghabisi kita. Bukan rahasia lagi bahwa di kalangan masyrakat tercatat dan menjadi semacam sindiran — kata-kata yang pernah terucap dari mulut aparatur negara, seperti ini: “Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?”
Sebagai pihak yang memperoleh mandat kekuasaan (wewenang) untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kegiatan mengelola negara, aparatur negara menurut Lord Acton, cenderung korup. Ia rawan berperilaku korup. Maka menjadi sebuah tragedi bagi negeri ini bahwa korupsi telah menjadi wabah — saya menyebutnya sebagai bahaya laten — yang cepat atau lambat dapat meruntuhkan negara ini jika tidak diperangi secara terus-menerus oleh semua kalangan sejak sekarang ini.
Puisi “Tentang Tata Bahasa” ini secara jelas melukiskan posisi dan kondisi rakyat sebagai “domba” yang senantiasa menyerah dan pasrah ketika diterkam oleh rubah yang ganas. Hukum yang semula diidealkan sebagai produk untuk mengatur peri kehidupan warga negara di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan negara, di tangan para pecundang dan para oportunis, diperdagangkan dan disalahgunakan untuk “menghabisi” rakyatnya.
Inilah puisi “Tentang Tata Bahasa” selengkapnya.
TENTANG TATA BAHASA sejak ubah menjadi rubah tata hukum negara menjadi bertaring dan memangsa rakyat yang dikatakan domba 2014
Telor dan Susu
Biasanya malam minggu paling enak makan martabak telor atau martabak manis setelah bertemu pacar atau keluarga. Mengapa makan martabak? Kemudian minum susu. Mengapa minum susu? Saya membaca kembali dan membolak-bolik dua buku kumpulan puisi mbeling. Di buku kumpulan puisi pertama Puisi Mbeling Remy Sylado karya Remy Sylado (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004, halaman 42) saya menemukan dan membaca puisi “Telor-Telor”. Ini puisi selengkapnya.
TELOR-TELOR dua telor martabak spesial tiga telor martabak istimewa empat telor sepasang homoseks
Di buku kumpulan puisi Puisi Mbeling Panggung Demokrasi (Malang: Meta Kata, 2015, halaman 14) karya Indra Intisa saya menemukan dan membaca puisi “Susu”. Inilah puisi selengkapnya.
SUSU segelas susu minuman sehat dua gelas susu mulai haus tiga gelas susu mulai rakus empat buah susu sepasang lesbian 21 Maret 2014
Pada puisi “Telor-Telor”, Remy Sylado membelokkan kata telor sebagai bahan pokok martabak yang enak menjadi “telor” yang membuat kita tertawa. Telor homoseks. Pada puisi “Susu”, Indra Intisa membelokkan kata susu sebagai minuman sehat (lima sempurna) menjadi “susu” yang juga membuat kita tersenyum. Susu lesbian.
Rupanya telor dan susu sangat menarik bagi penyair! Tentu saja juga menarik bagi siapa pun. Juga menarik bagi Anda tentu saja! Heheheheh ….
Kita akan tertawa terbahak-bahak atau tersenyum simpul setelah membaca puisi-puisi mbeling karya penyair Indra Intisa ini. Banyak hal dalam kehidupan kita memang, yang hingga saat ini tidak pernah kita berikan simpati dan empati. Namun, bagi sang penyair yang lahir pada 27 September 1984 di desa kecil di Provinsi Jambi ini, layak diangkat ke permukaan untuk kita renungkan.
Memang, ceruk-ceruk gelap yang selama ini tak terpikirkan oleh siapa pun, menguap begitu saja. Akan tetapi, bagi penyair yang sarjana teknik ini, layak menjadi bahan refleksi yang kemudian dibagikan kepada kita. Selamat bagi penyair pendiri Grup “Puisi” dan pelopor serta penggagas puisi Sa-Saka, HSH, dan Putika ini. Demikianlah.
Cibinong, Februari 2023