Mengulik Lebih dalam Kebudayaan Madura Melalui Buku Rokat Tase’

Mengulik Lebih dalam Kebudayaan Madura Melalui Buku Rokat Tase’

Rokat Tase’ merupakan buku kumpulan cerita pendek yang ditulis oleh Muna Masyari. Buku ini merupakan karyanya yang terbit setelah bukunya yang berjudul ‘Martabat Kematian’ terbit dan mendapat penghargaan. Buku Rokat Tase’ ini terdapat 20 judul cerpen yang mengangkat tema kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat Madura. Pemilihan tema serta gaya bahasa yang tidak kaku membuat pembaca dapat menangkap dengan jelas maksud penulis tanpa harus berpikir ulang. 

Selain menambah pengetahuan tentang kebudayaan Madura kepada pembaca, beberapa judul cerpen yang dicantumkan dalam buku ini juga memberikan pesan-pesan tersirat. Tak ayal setiap penulis pasti akan memberikan kesan atau amanat dalam menulis sebuah karya sastra. Dari sebuah karya sastra ada kalanya dapat diangkat suatu ajaran moral, atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang; itulah yang disebut amanat. Jika permasalahan yang ingin diajukan dalam cerita juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, maka jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. (Sudjiman via Dambudjai, 2018: 18). Wajar saja setiap karya sastra memiliki pesan dan amanatnya sendiri. Baik tersirat maupun tersurat  (tertulis secara langsung di dalamnya). Melalui tema saja, nilai moral yang kita tangkap adalah memberikan sebuah pelajaran kepada masyarakat tentang nilai-nilai moral yang terkandung dan nilai kehidupan bermasyarakat. 

Sudut pandang setiap orang dalam menilai suatu karya sastra atau hal apapun lainnya pasti akan berbeda-beda setiap orangnya. Sehingga kebudayaan dan kebiasaan masyarakat juga sangat berpengaruh dalam pembentukan pola pikir. Pepatah jawa mengatakan ‘mowo deso mowo coro’, artinya adalah setiap daerah memiliki kepercayaannya dan cara sendiri-sendiri dalam mengelola hal-hal yang ada di dalamnya, sehingga meskipun dianggap ‘tabu’ oleh beberapa orang, yang namanya budaya dan kepercayaan akan sulit untuk diubah dan dihilangkan.  

Salah satu cerpen karya Muna Masyari yang dapat membangkitkan pikiran negatif pembaca adalah pada cerpen ke tujuh dengan judul Kuburan Keenam. Cerpen ini menceritakan sisi dari seorang wanita simpanan yang merasa sedih saat ditinggalkan kekasihnya. Peribahasa ‘Ada udang dibalik batu’ memang benar adanya, si Sam (laki-laki yang berselingkuh) itu ternyata hanya berniat mencuri harta selingkuhannya. Temannya pun memiliki kisah yang sama, dan karena tidak terima dengan hal itu, ia membunuh si Laki-laki dan dikuburkannya di belakang halaman rumahnya. Bagian ini merupakan bagian yang sangat perlu perhatian bagi pembaca terutama pembaca di bawah umur. 

Terdapat dua sudut pandang pembaca setelah membaca sampai akhir cerpen Kuburan Keenam ini, yang pertama adalah pembaca yang setuju dengan membunuh laki-laki karena sudah membawa kabur hartanya. Kedua, adalah pembaca yang tidak setuju bahwa apa yang dilakukan itu salah dan masih bisa dimusyawarahkan dengan baik. Perbedaan pendapat melalui sudut pandang pembaca ini memberikan pesan yang beda pula dari setiap judul cerpen yang dibaca nantinya. 

Tema dalam setiap cerpen yang ditulis oleh Muna memiliki nilai kearifan lokal yang sangat kuat dan mendominasi, sehingga para pembaca mendapatkan pemahaman baru terhadap budaya bangsa maupun nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal. Kearifan lokal yang dicantumkan dalam cerpen juga mengusung persoalan yang terjadi di masyarakat. Persoalan yang diangkat oleh Muna memberikan kesan mistis dan sedih para pembaca karena tradisi yang ada harus dilakukan sebagai bentuk pemaksaan terhadap tokoh dalam cerpen. 

Selain kearifan lokal, Muna juga menuliskan cerpen dengan tema tradisi, kepercayaan, dan kebudayaan yang sering dilakukan oleh masyarakat Madura atau bahkan biasa disebut ritual. Hal tersebut bermakna bahwa kepercayaan atau tradisi ritual itu dilaksanakan secara rutin untuk melestarikannya dan melaksanakan ritual tersebut dipercaya oleh masyarakat Madura dapat mendatangkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dibuktikan pada cerpen berjudul Rokat Tase’.

“Kau jangan menggurui orang-orang sini. Tahu apa kau tentang keyakinan para nelayan? Rokat sudah dilakukan nenek moyang jauh sebelum kau datang. Jadi tak perlu berceramah dan sok pintar!”, “Bagaimanapun akan sulit membelok keyakinan nelayan bahwa sesajian itu mengandung berkah dan membuat ikan tangkapan kian melimpah. Gunakan cara yang tauhid untuk mempermudah datangnya rezeki! Bukan dengan menggelar rokat tase’! Apalagi adanya pertunjukan ludruk bercampur orkes dangdut yang jelas-jelas mengundang maksiat!”(Masyari, 2020:13) 

Kutipan di atas juga membuktikan bahwa tokoh Ayahmu tidak mau membatalkan ritual tersebut karena sudah menjadi tradisi turun-temurun yang dipercaya dapat mendatangkan berkah. hal ini menegaskan bahwa tradisi yang dilestarikan dapat menjadi pegangan hidup dan menjadi bagian dari cara untuk memecahkan sebuah permasalahan hidup yang mereka hadapi. 

Tradisi atau budaya lain yang diangkat oleh Muna juga berfungsi sebagai penyaring dan pengendali diri terhadap dunia luar, sehingga tidak mudah terbawa arus dan terpengaruh oleh budaya asing. Bukti bahwa tradisi dan budaya dapat menjadi landasan dalam berperilaku dan menjalani kehidupan adalah pada cerpennya yang berjudul Celurit Warisan pada bagian, “Dulu Kalebun Towah (Kepala desa lama) juga pernah menjatuhkan hukuman serupa!Hukuman mati bagi pembunuh!”, kutipan tersebut merupakan sebuah bukti bahwa kita tidak bisa ‘ngawur’ dan membela yang salah baik dalam berperilaku dan bertindak. Baik atau buruk tidak dapat diukur atau dinilai oleh diri sendiri, perilaku dinilai baik atau buruk akan dilihat juga dari sudut pandang orang lain. Penilaian oleh masyarakat adalah keputusan final yang tidak bisa kita bantah dan mengelaknya. 

Pada hakikatnya nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Artinya, suatu objek akan memiliki nilai jika mempunyai kemampuan untuk menarik minat seseorang atau kelompok. Walter G. Everet (via Wartiningsih, dkk.) menggolongkan nilai menjadi delapan kelompok. Tiga diantaranya adalah nilai-nilai kebudayaan. Nilai kebudayaan merupakan gagasan, keyakinan, kepercayaan, dan norma yang dianggap penting dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat. Nilai ini dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi pedoman bagi masyarakat dalam berperilaku dan bersikap dalam lingkungannya. Nilai kebudayaan pada masyarakat Madura yang dituliskan oleh Muna Masyari ini masih tergolong kuat dan terjaga perilakunya. Berikut adalah bukti narasi terjaganya nilai sosial masyarakat Madura dalam buku kumpulan cerpen Rokat Tase’. 

Selanjutnya, kau berusaha menjelaskan, bahwa rokat tase’ merupakan ritual tahunan. Selain bentuk dari rasa syukur, juga lambang perdamaian antara para nelayan dan makhluk-makhluk laut. (Masyari, 2020:14). 

Setiap malam Jumat manis menjelang magrib, kau tak lupa me-nyonson-nya di atas kepulan asap dupa, tepat di ambang pintu, dengan mulut komat-kamit. Menjelang wafat pun kau berwasiat agar aku selalu menjaga dan merawat celurit warisan ini, sekaligus menjaga keamanan desa kita. (Masyari, 2020: 68)

Nilai kebudayaan yang dicantumkan dalam buku ini memiliki fungsi secara tersirat yakni, memberikan identitas bagi suatu masyarakat. Maknanya, budaya yang dimiliki oleh masyarakat Madura memiliki ciri yang khas dan unik sehingga berbeda dengan kebudayaan masyarakat lainnya. Karena nilai kebudayaan ada dalam lingkungan masyarakat, maka nilai  kebudayaan ini juga bisa dipandang baik atau dipandang sebelah mata (tabu, tidak relevan, asing, dan lain sebagainya) oleh beberapa masyarakat. Contohnya ada pada kutipan berikut ini.

“Bagaimanapun akan sulit membelok keyakinan nelayan bahwa sesajian itu mengandung berkah dan membuat ikan tangkapan kian melimpah. Gunakan cara yang tauhid untuk mempermudah datangnya rezeki! Bukan dengan menggelar rokat tase’! Apalagi adanya pertunjukan ludruk bercampur orkes dangdut yang jelas-jelas mengundang maksiat!”. (Masyari, 2020:13).

Hasanuddin (2017:4-5) mengemukakan bahwa hingga hari ini, masalah budaya bangsa terletak pada bagaimana faktanya dilihat dan dianggap secara salah. Meskipun kemajemukan dan kearifan multikultural telah ada sejak lama, kebhinekaan, yang disebabkan oleh kesalahan perlakuan, menimbulkan konflik dan perpecahan. Oleh karena itu, masalah “mengelola perbedaan” telah menjadi masalah aktual bagi bangsa sejak kemerdekaan NKRI. Karena perbedaan adalah fitratullah, kita menjadi plural. Konflik sebenarnya normal dalam dinamika pluralitas. Peran kearifan dalam mengelola perbedaan dan konflik sedang dimainkan. Jejaring konflik harus dilihat sebagai katalisator perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, konflik harus diatur sehingga tetap berada dalam harmoni atau kesetimbangan yang dinamis dan diarahkan dalam mekanisme dialektik untuk memungkinkan perkembangan masyarakat terus berlanjut. 

Nilai memiliki sifat yang abstrak artinya tidak dapat diamati melalui indera manusia, namun dalam realisasinya nilai berkaitan dengan tingkah laku. Beriringan dengan kepercayaan dengan hal mitos dan mistis, tidak lupa pula masyarakat sekitar juga mempercayai dan melaksanakan nilai-nilai keagamaan yang berhubungan dengan Tuhan. 

“Talak yang boleh rujuk adalah talak yang berhubungan dengan dua kali talak. Hal tersebut sudah tersurat dalam surat Al-Baqarah:229. Jika sudah menjatuhkan talak tiga, maka kamu tidak diperbolehkan rujuk dengan mantan istri, sebelum adanya lelaki lain yang menikahinya, serta telah turut ‘bercampur’ dengannya.” (Masyari, 2020:74) 

Talak merupakan istilah pemutusan hubungan antara suami dengan istri dalam hidup berumah tangga. Kehidupan berumah tangga tidak dapat dikatakan sepele, karena ini sudah termasuk menyangkut perjanjian dengan Tuhan di saat Ijab Qobul. Pada kutipan diatas terdapat nilai pengetahuan terhadap keagamaan (islam) yang dibuktikan dengan “Hal tersebut sudah tersurat dalam surat Al-Baqarah:229.” yang merupakan salah satu surat di dalam Al-Quran. 

Koentjaraningrat (Putra dkk.) mendefinisikan nilai sosial dapat dijadikan sebagai cara untuk meringankan beban masing-masing anggota masyarakat. Pada masyarakat pedesaan yang masih kental akan tradisi dari para leluhur dapat ditemui dengan mudah kerjama dalam membangun kesetaraan hidup. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat tolak ukur masyarakat dalam menjunjung budi pekerti serta pola perilaku yang baik yang berlaku pada masyarakat tersebut. 

“Kami harap Kalebun bertindak adil meskipun kali ini adalah anggota keluarga sendiri!”
“Benar! Hukum tidak boleh pandang kerabat!”
“Setuju! Ini penganiayaan karena lelaki itu tidak bersenjata!”
“Betul! Walaupun korbannya bukan warga desa kita, lelaki itu berhak mendapatkan keadilan!” (Masyari, 2020)

Kutipan diatas merupakan salah satu bentuk ‘protes’ masyarakat terhadap seseorang yang melakukan tindakan kekerasan. Bahkan sudah kita ketahui bahwa tindakan kekerasan itu merupakan suatu tindak kriminal. Sehingga tokoh dalam cerpen ‘Celurit Warisan’ itu mendapat kecaman dari warga sekitar. 

Beberapa nilai yang terkandung dalam buku ini memiliki pesan yang dapat kita tarik untuk dijadikan pelajaran dan pengetahuan. Meski nilai yang terkandung tidak sepenuhnya selaras dengan budaya dan kepercayaan kita. Tidak semua norma dan kepercayaan dipandang baik dan diterima oleh sebagian masyarakat. Salah satu judul cerpen dalam buku ini menunjukkan adanya perbedaan pendapat mengenai tradisi kepercayaan yang dilakukan oleh sekelompok orang dipercaya akan mendapatkan berkah. Namun, cara ritual yang dilakukan ini adalah dengan cara ‘membunuh’ sehingga beberapa orang, atau bahkan pembaca merasa bahwa tradisi ini ‘sedikit’ menyimpang. 

Kelebihan buku Rokat Tase’ adalah mengangkat budaya dan tradisi lokal Madura yang unik dan khas. Hal ini dapat menjadi daya tarik untuk pembaca. Berbagai macam budaya dan tradisi dipadukan dengan bahasa yang indah dan mudah dipahami semakin menambah nilai plus dalam menarik minat pembaca. Tradisi yang unik dan berbau mistis serta realitas membuat pembaca ‘tegang’ dan semakin penasaran tentang kelanjutan cerita tersebut. Cerita yang saya anggap ‘sedikit’ menyimpang justru membuat saya bergairah dan penasaran akan budaya-budaya dan tradisi yang lain. 

Muna Masyari menulis cerita pendek yang ada dalam buku ini menggunakan sudut pandang pertama dan kedua. Kurniawan (2019) mengemukakan bahwa sudut pandang tidak terbatas (omniscient point of view), juga disebut sebagai maha tahu; milik penonton yang berada di luar cerita. Omniscien view tidak terbatas waktu atau ruang. Layaknya Tuhan, perspektif omniscient membuat penonton memiliki kemampuan untuk mengetahui segala sesuatu yang tidak diketahui oleh karakter utama, termasuk sejarah mereka, saat ini, dan masa depan. Selain disebut omniscient, narator yang tidak menampilkan diri di film juga disebut omniscient karena dia menyampaikan pesan secara netral tanpa memberikan komentar, sehingga penonton dapat menginterpretasikan pesan sesuai pengalaman mereka sendiri.  

“Kalau begitu, tanah di makam itu juga tanah sesepuhku. Aku berhak mengusir siapa pun yang dimakamkan di sana, termasuk keluarga Ibu atau keluarga desa ini!” sambil menunjuk area perkuburan yang terletak di sebelah kali, masuk kawasan kampung sebelah. (Masyari, 2020:114-115)
“Itu kuburan orang-orang yang telah kubunuh,” (Masyari, 2020:62)

Kutipan diatas merupakan cerpen yang ditulis Muna dengan menggunakan sudut pandang ‘aku’. Penggunaan sudut pandang ini dapat memengaruhi pembaca karena pembaca dapat masuk ke dalam karakter, pikiran, merasakan emosi dan sensasi yang dialami oleh tokoh secara langsung. Tidak semua cerpen dalam buku ini menggunakan sudut pandang ‘aku’ seperti pada kutipan dibawah ini.

Siapa yang menyangka kalau Supardi hanya tergoda pada gelang, kalung dan cincin-cincin di jarimu. Setelah kau menuntut kejujuran begitu mendengar ia sudah beristri, tanpa menjelaskan apa-apa ia merampas seluruh perhiasan yang kau beli dari hasil menjual jamu dan kau kumpulkan demi ongkos keberangkatan haji untuk ibumu di kampung. (Masyari, 2020:62)

Dengan menggadaikan sepetak tanah untuk modal dan uang sewa lokasi, ayahmu berangkat setelah menggelar acara timangan di usiamu yang menginjak 40 hari, dan telah menambah tumpukan utang demi acara itu. (Masyari, 2020:4-5)

Berbeda dengan kutipan sebelumnya, kutipan diatas merupakan cerpen yang menggunakan sudut pandang kedua. Penggunaan teknik ini memungkinkan penulis untuk menceritakan kisah secara langsung kepada “kamu”, sang pembaca, sehingga menciptakan pengalaman membaca yang unik dan interaktif serta mendorong pembaca untuk terlibat aktif dalam cerita. 

Sebagai sebuah karya sastra, buku Rokat Tase’ tidak luput dari kekurangan. Kekurangan yang saya temukan dalam buku kumpulan cerpen ini adalah penggunaan bahasa Madura yang berlebihan. Contohnya adalah judul buku ini sendiri yaitu Rokat Tase’ yang berarti tradisi petik laut. Rokat Tase’ ini dijadikan sebagai judul buku dan judul salah satu cerpen dalam buku ini. Penggunaan bahasa daerah sebagai judul ataupun dalam narasi cerita memang tidaklah salah. Akan tetapi, penggunaan ini akan menimbulkan tanda tanya besar pembaca. Walaupun dalam cerpen akan ada alur cerita yang diharapkan dapat memberikan pengertian mengenai pengertian tradisi ini. Namun, alangkah lebih baik ada bagian khusus seperti glosarium yang memberikan penjelasan singkat mengenai arti bahasa Madura tersebut dalam bahasa Indonesia. 

Terdapat cerita pendek yang alur ceritanya tidak selesai atau menggantung. Bahkan terdapat juga cerita yang dianggap ‘menyalahi aturan’  yang terkesan ambigu. Sehingga membuat pembaca mengulangi beberapa bagian bacaan agar dapat memahami makna yang disampaikan. Contohnya ada pada judul cerpen yang berjudul  Kasur Tanah. Cerpen ini berkisah tentang seorang anak dan seorang ibu yang hidup hanya berdua. Ia mempunyai ayah biologis yang umurnya terpaut jauh dari ibunya. Sang ibu ingin melihat putri semata wayangnya itu menikah dengan seorang yang dicintai anaknya itu. Sampai pada saat si Ibu mengetahui bahwa anaknya akan menikah dengan ayah biologisnya sendiri. Hal tersebut sebenarnya sangat membuat pembaca kaget dan heran. Pasalnya banyak sekali kejanggalan dan kurang runtutnya alur cerita sehingga apa yang menyebabkan dua orang yang mempunyai hubungan darah tersebut sampai menikah. Padahal baik secara norma, budaya, bahkan agama pun tidak membenarkan hal tersebut. 

Melalui buku ini, kita sebagai pembaca juga perlu menerima kemungkinan bahwa nilai-nilai sosial dapat berubah dengan waktu. Nilai-nilai yang dianggap positif dan baik saat ini mungkin tidak relevan di masa depan. Dengan bersikap kritis dan terbuka, kita dapat memastikan bahwa prinsip-prinsip sosial yang kita anut benar-benar berguna bagi semua orang dan tidak berdampak negatif pada masyarakat atau individu. Bahkan alur dan tokoh dalam buku ini mengandung nilai sosial yang ‘menyimpang’. Sehingga dikhawatirkan dapat mempengaruhi pemikiran pembaca atau bahkan bisa saja pembaca merasa mendapat inspirasi setelah membaca cerita tersebut. Cerpen yang saya maksud pada bagian ini adalah cerpen yang berjudul Kuburan Keenam. Cerpen tersebut menceritakan seorang janda kaya yang menjalani hubungan dengan seorang lelaki bernama Supardi mengaku seorang bujang, datang mendatangi tokoh yang disebutkan dalam cerita adalah ‘kau’ dengan tujuan untuk menipu dan merampok semua harta benda si ‘kau’ ini. Hingga suatu ketika Supardi merampas seluruh perhiasan milik ‘kau’. ‘kau’ pun memiliki tekad yang bulat untuk membunuh Supardi dan mngubur jasadnya di belakang rumah ‘kau’ ini. Bahkan menurut saya, penulis juga menganggap hal seperti ini adalah hal yang biasa di daerahnya. Padahal ini termasuk tindakan kriminal dan tidak baik apabila dibaca oleh anak dibawah umur atau orang yang sedang banyak pikiran. Kutipan dibawah ini hal yang dapat merubah pola pikir seseorang. 

Barangkali, dengan hidup sebagai pembunuh, hidupmu akan menjadi damai. Dadamu terasa lebih ringan. Lebih lengang. Tidak lagi diriuhi caci maki. Tak lagi disesaki bertumpuk-tumpuk benci yang bisa menggerogoti tubuhmu. Cukup dengan membunuh orang-orang itu lalu menguburnya, maka perang seolah usai. Barangkali memang seharusnya begitu daripada terus menambah lubang-lubang di dada. Lubang yang tak henti menimbulkan nyeri. Lubang benci dan dendam. (Masyari, 2020:63)

Kutipan diatas bukanlah tergolong budaya dan tradisi dari masyarakat sendiri. Peristiwa yang ada dalam cerpen ini merupakan suatu tindakan kriminal. Sebenarnya hal ini dapat menjadi nilai moral dilihat dari sudut pandang Supardi. Akan tetapi, cerita ini diambil dari sudut pandang ‘kau’ yang merasa tertipu lalu membunuh. Dilihat dari peristiwa ini, kita dapat pesan bahwa tidak semestinya kita mencuri hak milik orang lain, bahkan dengan anggota keluarga sekalipun. Norma dan moral tetap berlaku bagi setiap individu. Selanjutnya adalah, meski ‘kau’ dalam cerpen ini berperan sebagai orang yang dirugikan, namun tindakan ‘membunuh’ itu tidak dibenarkan. 

***

DAFTAR PUSTAKA 

Dambudjai, R.J. 2018. Analisis Tema Dan Amanat Dalam Novel “Jangan Pergi, Lara” Oleh Mira Widjaja. diakses pada 4 April 2024.

Farizi, F. 2021. Nilai-Nilai Lokal Madura Dalam Buku Kumpulan Cerpen “Rokat Tase” Karya Muna Masyari Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Karakter. https://www.academia.edu. Diakses pada 27 Mei 2024.

Hasanuddin. 2017. Nilai dan Karakter Budaya Indonesia. https://www.researchgate.net Diakses pada 27 Mei 2024.

Kurniawan, A. 2019. Penggunaan Sudut Pandang Tokoh Utama Dalam Penyutradaraan Film Pendek “Lila”.

Masyari, M. 2020. Rokat Tase’. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sukarto, K.A. 2018. Kritik Sastra Dan Implementasi Pengajaran. Diakses Pada 4 April 2024.

Wartiningsih, dkk. - . Nilai-Nilai Dalam Novel Partikel Karya Dewi Lestari (Dee). https://media.neliti.com, diakses pada 4 April 2024.
Danti Nurul Fitriana
Latest posts by Danti Nurul Fitriana (see all)
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *