Mengingat Bapak

Mengingat Bapak

aku melihat sungai putih di bola mata
bapak—
kuselami kedalamannya, terkadang
dingin seperti es teler,
membekukan kenangan masa kecil yang
seperti permen kapas—
manis, tapi lempeng, tidak ada rasa
seperti nasi goreng kelupaan kasih micin.
janji bapak seperti janji manis yang
selalu
“besoknya,” entah kapan,
mungkin tersimpan di kulkas,
jadi es batu yang lupa cair

di dalam bola matanya bapak,
aku melihat kota-kota yang pernah dijanjikan—
gedung-gedungnya dari harapan,
tapi hancur, berantakan,
seperti es teh manis yang jatuh di karpet

aku duduk di ujung mata bapak,
mendengarkan suara-suara yang dulu ada,
sekarang terdengar seperti derit pintu yang tak pernah dibuka,
takut ada yang bertanya:
“kok bisa begini?”
padahal jawaban cuma satu:
semua sudah basi,
kayak nasi uduk yang harusnya dimakan
pakai lontong,
tapi cuman ditemenin sambel doang

aku ingat gimana bapak suka
mengusap rambutku,
kini seolah lupa menulis surat kabar yang
selalu ditunggu,
tergeletak di kotak sepatu yang nggak pernah dibuka
mungkin surat itu cuma tulisan kosong,
kayak kertas lupa fungsinya apa,
atau kalender lupa memberi tahu hari libur

tapi bapak tetap di sini,
masih memakai tubuh yang terlalu lelah
seperti nasi goreng tanpa telur,
tanpa rasa, tanpa garam,
tapi tetap ada di piring,
menunggu untuk dimakan

aku hanya menunggu,
seperti sendok yang selalu terlambat ke
meja makan,
tak pernah bisa menangkap
kata yang bapak coba sampaikan—
lalu hilang,
seperti suara yang ditelan waktu
tanpa meninggalkan bekas

Sungai Sirah Pilubang, 20 Januari 2025

Palito
Latest posts by Palito (see all)
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *