Mencari Pelanjut Abdul Hadi W.M.: Tanggapan atas Esai Ahmadun Yosi Herfanda

Mencari Pelanjut Abdul Hadi W.M.: Tanggapan atas Esai Ahmadun Yosi Herfanda

Ahmadun Yosi Herfanda (AYH), dalam esainya di Tempo.co 1 Maret 2025 yang berjudul “Puisi Sufistik Pasca Abdul Hadi W.M.”, mengajukan sebuah pertanyaan yang kira-kira demikian bunyinya, “Siapa penerus Abdul Hadi W.M. (AHWM) dalam tradisi sastra sufistik Indonesia?” Pertanyaan tersebut sangat wajar jika diajukan kembali “setahun” pasca AHWM mangkat meninggalkan kita, terlebih karena memang Abdul Hadi W.M. sebagaimana telah kita ketahui bersama, adalah memang salah satu tokoh-tonggak dalam alir sungai tradisi Sastra Sufistik di Indonesia. Akan tetapi, meski demikian, setidaknya dalam pandangan saya, nampak ada yang masih simplistis dalam esai yang diajukan oleh AYH tersebut. Apa sebabnya? Karena ternyata sepanjang tulisan itu, sangat disayangkan AYH terlalu menyederhanakan peran AHWM dalam alir tradisi yang dimaksud, seakan menempatkan AHWM sesempit tokoh penggubah puisi-puisi sufistik belaka. Sehingga, jelas akan mengaburkan signifikansi historis dari perjuangan bertahun-tahun yang dilakukan oleh AHWM.

Oleh karenanya, sebagai respon positif atas esai tersebut, saya ingin mengajukan ulang kegelisahan AYH, dengan pertama-tama merumuskan ulang pertanyaannya, menjadi, “Siapa Tonggak Pendorong Berlangsungnya Ekosistem Tradisi Puisi Sufistik Indonesia ke Depan Pasca Abdul Hadi W.M?” Sekali lagi, bukan sekadar penerus penggubah model puisi tertentu belaka, melainkan ekosistemnya. Dan untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka yang harus dijelaskan dengan utuh adalah apa peran AHWM dalam mendorong berlangsungnya ekosistem tradisi Puisi Sufistik di Indonesia?

AHWM, sejak kecil tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan tradisi keislaman dan sastra. Namun lepas dari itu, yang lebih penting adalah bahwa ia sejak masa mudanya telah gemar menekuni berbagai bacaan dan memutuskan secara sadar untuk menempuh pendidikan di bidang yang ia cintai, yaitu sastra, khususnya puisi. Jika kita membaca biografi AHWM dalam sejumlah buku, di sana pasti kita akan selalu menemukan bahwa Ia sudah mengagumi Chairil sejak masih remaja, khususnya pada puisi yang berjudul “Lagu Siul.”

Singkat cerita, AHWM memilih untuk menempuh pendidikan tingginya di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, dan kemudian beralih ke Fakultas Filsafat di kampus yang sama. Perpindahan ini bukan menunjukkan ketidak konsistenan minatnya terhadap sastra, alih-alih mencerminkan minatnya yang mendalam terhadap apa yang sedang Ia geluti. Ia bergeser jurusan dengan maksud untuk masuk ke dalam dunia pemikiran sastra yang lebih serius. Hal ini terbukti dalam berbagai esainya, bahwa memang pikiran-pikiran AHWM selalu dijiwai oleh pandangan-pandangan filosofis dan diarahkan untuk intens ke sana. AHWM terlihat tidak terlalu–misalnya–tersibukkan dengan hal-hal formal teknis atau kajian yang sekadar menunjukkan kondisi luaran teksnya. Kalaupun ada, itu hanya dijadikan sebagai pembahasan pembuka atau satu-dua saja dalam sekian banyak makalahnya.

Sejak masih menjadi mahasiswa AHWM telah mau bergiat menjadi redaktur majalah sastra. Ia juga telah aktif mengirim karyanya ke media yang memilki skala pembaca nasional. Dan bahkan pada usia yang sama, ia telah mendapatkan penghargaan puisi dari Majalah Horizon atas puisinya yang berjudul “Madura (1968).” Dua tahun setelah mendapatkan pernghargaan tersebut, ia kemudian kembali menempuh pendidikan di fakultas sastra UNPAD. Ia kemudian mengikuti pelatihan menulis di Universitas IOWA-Amerika (1973-74), menghadiri festival puisi di London-Inggris (1974), Notredam-Belanda (1974), juga di Shiraz-Iran (1976) tempat di mana Ia nampak mulai memantapkan ketertarikannya pada studi puisi-puisi sufistik. DI tahun ini Ia menerbitkan kumpulan buku puisi sufistik pertamanya, “Meditasi”, yang kemudian juga mendapatkan penghargaan dari DKJ setahun setelahnya 1977.

Di masa-masa ini AHWM masih giat menjadi pengelola sejumlah media sastra. Dan pada tahun 1979 bersama kawan-kawan satu generasinya (Danarto, Sutardji, dll.) mulai menggalakan berbagai kegiatan bertajukkan puisi-puisi sufistik. Memasuki tahun 80an, Ia mulai semakin intens menulis esai-lepas yang berkaitan secara langsung tentang puisi-puisi sufistik, estetika seni religius, serta mulai menerjemahkan puisi-puisi sufistik dari bahasa asing, turut bergumul dalam penyelanggaraan acara-acara bertema sastra relijius dan sebagainya dan sebagainya untuk mengipas-ngipasi nyalanya ekosistem ini.

Memasuki tahun 90-an AHWM menjadi pengajar tamu di Universitas Sains Malaysia untuk matakuliah Sastra Islam. Di sana juga Ia sembari melanjutkan studi akademiknya hingga meraih gelar Philosophy Doctor (Ph.D) dengan konsentrasi kajian Sastra Melayu Islam, mengambil topik Disertasi puisi-puisi dan ketasawwufan Hamzah Fansuri yang penelitian pendahuluannya pernah dilakukan–salah satunya–oleh Naquib Alattas.

Memasuki tahun 2000-an, AHWM kembali pulang ke Indonesia dan mengabdikan karir akademiknya di Universitas Paramadina. Ia langsung menyanggupi ketika diminta oleh Nurcholish Madjid untuk mencurahkan segala pemikirannya tentang Sastra Sufistik (dan) Melayu Nusantara ke dalam rumusan kurikulum agar bisa diinseminasikan kepada generasi berikutnya dengan lebih terdisiplin. Perjalanan lahir dan berkembangnya Universitas Paramadina, khususnya untuk jurusan Falsafah dan Agama di fakultas Falsafah dan Peradaban, hampir sejalan dengan dedikasi yang disumbangkan oleh AHWM sepanjang sisa hidupnya setelah memperoleh gelar Ph.D. Atas dedikasinya itu, AHWM kemudian ternobat sebagai seorang Guru Besar/Profesor di Universitas Paramadina. Gelar tertinggi dalam bidang akademik.

Sebagai Pribadi, AHWM bukan hanya menulis puisi bernuansa sufistik, tetapi juga mendalami dan menghidupi tradisi tersebut. Ia menggali ajaran-ajaran tasawuf, memahami akar filsafatnya hingga kerap mengaitkannya secara langsung dengan isu-isu kemanusiaan yang lebih luas dalam kehidupan sehari-hari ketika menyikapi berbagai fenomena keberagamaan dan gejolak peradabannya. Intensinya pada tradisi sastra atau puisi-puisi sufistik tidak sekadar untuk meluap-gubahkan pengalaman individualnya, tetapi untuk merespons problematika kemanusiaan, politik, dan kebudayaan yang ia gelisahkan. Kepeduliannya terhadap kondisi kemunduran beragama dalam konteks intelektual dan budaya juga banyak nampak dalam berbagai esai, wawancara dan seminar-seminar baik nasional maupun Internasional yang ia lakukan.

AHWM bukan termasuk seorang penggubah individual yang gemar beronani dengan dirinya sendiri dalam menjalani kehidupan bersastra dan berpuisi. Ia adalah seorang peneliti, seorang intelektual publik, sekaligus seorang sarjana yang mencapai puncak akademiknya sebagai Guru Besar yang tak kenal lelah dan bosan untuk mendidik generasi berikutnya. AHWM bukanlah seorang yang hanya sekadar senang menggubah puisi, pegiat komunitas yang hidup seenaknya, terlebih sebagai “badut panggung” yang muncul hanya sekadar untuk mencari eksis dan tepuk tangan tanpa tanggung jawab kepenyairan dan rasa malu, melainkan sebagai penyair publik yang sadar bawa dirinya wajib memikul beban kultural atas hidup-mati tradisi kesusasteraannya, yangmana sehingga di belakang layar Ia pula meneliti dengan tekun, melakukan kerja-kerja intelektual budaya yang diperlukan ekosistemnya, ia masuk ke sebuah Perguruan Tinggi, menyusun kurikulum, menulis diktat-diktat, rela mengajarkannya sendiri secara langsung hingga akhir hayatnya dengan disiplin dan semangat ilmiah yang tetap terpelihara, meskipun telah melewati usia pensiun.

Oleh karenanya, lalu jika kita bertanya “Siapa penerus Abdul Hadi W.M. (AHWM) dalam tradisi sastra sufistik Indonesia?” sekali lagi, ini bisa berpotensi mengecilkan signifikansi peran AHWM itu sendiri. Dan kita harus segera mengubah pertanyaan itu menjadi “Siapa Tonggak Pendorong Berlangsungnya Ekosistem Tradisi Puisi Sufistik Indonesia ke Depan Pasca Abdul Hadi W.M?” Atau setidaknya, siapa generasi penerus yang perlu didorong dan bersama-sama didukung untuk mengemban tanggung jawab yang serupa? Bukan pegiat puisi yang hanya berpetualang-puisi untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sebuah tradisi dan peradabannya.

Cirebon, 6 Maret 2025

Shiny Elpoesya
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *