Memungut Tafsir Puisi di Serambi Rumah Budhe Karya Eka Nurani

Memungut Tafsir Puisi di Serambi Rumah Budhe Karya Eka Nurani

Dalam kehidupan ini, semua orang pasti pernah mengalami atau memiliki sebuah kenangan. Adakalanya kenangan tadi timbul saat kita memikirkan atau melihat suatu benda atau objek yang memicu ingatan kita akan suatu kenangan tersebut tercipta. Bisa jadi hal tersebut karena benda atau objek tadi sangat terkait lekat dengan apa yang menjadikan seseorang terkenang pada sesuatu hal tadi.

Benda atau objek akan semakin kuat memantik kenangan jika benda atau objek yang dilihatnya, dipikirkannya tadi terkait dengan kenangan yang meninggalkan kesan special dalam kehidupan yang bersangkutan.

Kenangan akan sesuatu, dan sesuatu tadi sudah tidak ada lagi bersama, anggap saja sesuatu itu seperti kehilangan seseorang yang dekat, seseorang yang memberi kesan tertentu, seseorang yang dicinta (bisa adik, kakak, ayah, ibu, pakde, bude, bulek, paklek, atau kekasih juga sahabat baik, dll) yang teramat sangat membekas dalam ingatan kita. Dan ingatan itu akan cepat muncul di rasa imaji pikir, manakala kita diingatkan oleh suatu benda atau objek yang sangat terkait erat dengan historis kenangan tercipta. Katakanlah benda atau objek itu adalah suatu tempat di mana terbentuknya memori kenangan yang kuat tadi terjadi, dan kemudian memicu ingatan pada seseorang yang dekat atau yang meninggalkan kesan special secara sentimental. Keberadaan benda atau objek  beserta hal yang menyertai kenangan seseorang tadi, akan sangat memungkinkan terciptanya  imaji rasa (imaji taktil), imaji penglihatan (imaji visual), atau imaji suara (imaji auditif) dalam diri orang yang tengah terkenang sesuatu tersebut.

Dari pemikiran saya di atas, saya akan pakai untuk mendapatkan tafsir, baik secara tersurat pun tersirat dari puisi pola tuang 2,7 karya Eka Nurani yang saat ini tinggal berdomisili di Taiwan. (sesuai ttimangsa yang menera: Twn, 22-4-2014), yang bertajuk /DI SERAMBI RUMAH BUDHE/, yang teks lengkapnya seperti di bawah ini:

DI SERAMBI RUMAH BUDHE

Daun jatuh bersimpuh
Aku memagut rindu, penuh

Eka Nuraini. Twn, 22-4-2014

Memaknai yang Tersurat

Secara tersurat utuh puisi di atas, makna suratan dalam pembacaan, saya dihadapkan secara nyata pada sebuah lukisan suatu kejadian, dan kejadian itu di serambi rumah budhe (jawa)— KBBI, tertulis “bude” (sekaligus dijadikan judul), lalu ada daun jatuh yang membangkitkan keharuan / Daun jatuh bersimpuh/, dan semua kejadian tadi menjadikan si aku lirik terbekap kerinduan yang teramat sangat /Aku memagut rindu,/, kerinduanatas segala hal yang terkait dengan apa yang ada di rumah budhe aku lirik / penuh/.

Secara teks tersurat /di serambi rumah budhe/, diksi “budhe” mengada, jika mencermati struktur bentukan antar kata,  secara intrinsik dimaksudkan bahwa apa yang akan dilukiskan pada isi puisi ini nantinya terawali, terjadi, atau yang dialami oleh penyair adalah saling kait mengait dengan judul— di rumah “budhe”. Objek tempat kejadiannya jelas arah tuju dari yang  disuratkan penyair. 

/di serambi rumah budhe/, diksi “budhe” mengada, secara ekstrinsik, dari pembacaan saya jika dikaitkan dengan titimangsa yang menandai lahirnya puisi ini /Twn, 22-4-2014/, itu artinya saat puisi ini tercipta, penyair ada di rantau (baca: Taiwan), tidak benar-benar ada di serambi rumah budhe. Bisa jadi saat itu penyair tengah berada di serambi rumah (rumah siapa saja), atau sedang melihat seseorang atau beberapa orang bercengkerama di beranda rumah, atau penyair sendiri yang tengah berada di serambi rumah sendirian, dan pada suatu kondisi tertentu sehingga ingatannya dibawa terbang ke sosok orang yang dipanggilnya dengan sebutan budhe tadi, ke waktu lampau, waktu di mana pemuisi sering berinteraksi dengan budhe, di serambi rumah, dan serambi rumah itu, di serambi rumah budhe.

Saya pikir akan menjadi berbeda jika semisalnya secara tersurat hanya di tulis /di serambi rumah/, sebab akan ada ekspresi (pengungkapan atau proses menyatakan), sensasi (yang merangsang emosi), dan esensi (hal pokok) yang hilang sebagai tanda (sign) dari ide, gagasan, atau tema yang memicu lahirnya puisi ini.

Atau katakanlah diksi “Budhe” diganti dengan kakak, adik, ayah, ibu, kekasih, sahabat, dst. Tentunya hal ini juga akan menggeser makna niatan dari apa yang ingin di paparkan dari idea atau gagasan, baik secara tersurat pun tersirat nantinya pada isi puisi secara utuh menyeluruh (terkait dengan makna tersirat). Mari kita coba rekonstruksi tanpa diksi ‘Budhe’ masuk pada judul, seperti di bawah ini:

DI SERAMBI RUMAH

Daun jatuh bersimpuh
Aku memagut rindu, penuh

Eka Nuraini. Twn, 22-4-2014

Bukankah dari iustrasi di atas. Tanpa diksi “BUDHE”  rasa imaji pikir pembaca dalam berkontempelasi serta memetik makna keseluruhan tubuh puisi kian luas?

Mari cermati bersama: “DI SERAMBI RUMAH BUDHE” menjadi  DI SERAMBI RUMAH” dengan menghilangkan diksi “BUDHE”. Secara tersurat utuh puisi pembacaan berseakan dihadapkan secara nyata pada suatu kejadian, dan kejadian itu di serambi rumah, lalu ada daun jatuh yang membangkitkan keharuan,dan semua kejadian tadi menjadikan si aku lirik terbekap kerinduan yang teramat sangat, kerinduanatas segala hal yang terkait dengan kondisi peristiwa yang terjadi di serambi rumah.  

/di serambi rumah/ à tidak ada subjek “BUDHE” àtidak ada yang bisa dijadikan tanda atau penanda à sehingga pembaca kehilangan proses yang menyatakan sesuatu yang bisa membangkitkan à atau sensasi menjadi berkurang karena adanya penyebaran imaji à hilangnya esensi / hal pokok sebagai tanda/penanda (sign) dari ide, gagasan, atau tema yang memicu lahirnya puisi, menjadikan pencapaian makna niatan utama (primer) pemuisi atas karyanya yang dipublis kian sulit didekati, dalam artian  menjadikan pembaca gagal untuk menangkap makna niatan primer pemuisi, sebab tiadanya subjek “Budhe” menjadikan salah satu tanda yang teramat pokok tadi untuk mendekati makna niatan primer pemuisi menjadi tidak terkonsentrasi.

Pecahnya kosentrasi pembaca dalam mendekati makna niatan primer pemuisi, dikarenakan ruang rasa imaji pikir pembaca terlampau bebas. Tanpa adanya tanda (sign), pembaca yang masuk sebagai aku lirik bisa mengimajikan apa saja. Imaji  bisa di serambi rumah baca, di serambi rumah makan, di serambi rumah Allah, di serambi rumah sahabat, di serambi rumah kekasih, di serambi rumah Paklek, di serambi rumah pakde, bahkan bisa di serambi rumah budhe, dst. Namun bisa juga karena tidak ada tanda apa pun, maka rumah tersebut lebih dekat pada wujud rumah aku lirik.

Jika diksi “BUDHE” diganti dengan kakak, adik, ayah, ibu, kekasih, sahabat, dst, sebagai subjek. Secara tanda (sign) tetap ada, rangsangan emosi pun tidak berubah, pendekatan pada makna niatan primer juga tetap sama kuatnya dengan saat memakai diksi “BUDHE”. Namun penggantian subjek tetap saja akan menggeser makna niatan utama pemuisi dari konteks (situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian) idea, gagasan, tema lahirnya puisi. 

Lalu apakah dengan masuknya diksi “budhe” pada judul justru tidak akan menjadikan ruang perspektif (sudut pandang) serta  interpretasi (tafsiran) pembaca atau penghayat kian menjadi sempit?

Lebih sempit? Saya lebih senang dengan menyebutnya lebih focus pada objek wicara yang ingin ditonjolkan penyairnya. Kehadiran diksi “budhe” setelah kata “di serambi rumah” secara perspektif (sudut pandang) saya selaku pembaca/penghayat atas teks puisi (tersurat),  justru mendapatkan suatu imaji visual yang baik yag ditimbulkan oleh citraan suasana atas objek tempat, yakni “serambi rumah budhe” yang menjadi tanda penting untuk masuk ke dalam dunia bentuk puisi pun dunia makna puisi secara utuh menyeluruh.

Judul lugas puisi Eka Nuraini di atas juga sering saya temukan pada karya penyair China Klasik yang untuk mengabadikan momen khusus (personal) bagi sosok yang dekat dengannya (dikenal baik oleh pemuisi/penyair), misal judul-judul di bawah ini:

MENULIS DI POTRET ISTRI karya Nalan Xingde; Dinasti Qing, hal. 261
USAI BERMIMPI ISTRI karya Nalan Xingde; Dinasti Qing,  hal. 262
MENGENANG PUTRI QIN karya Li Bai; Dinasti Tang, hal. 269
MENGENANG ISTRI karya Ghong Zhu; Dinasti Song, hal 276,
DI BALE LUO INGAT CHUI BERSAUDARA karya Li Shangyin; Dinasti Tang, hal. 124

Peneraan kata lugas “Istri” pada puisi Nalan Xingde serta Ghong Zhu, “Putri Qin” pada puisi Li Bai, dan CHUI BERSAUDARA pada puisi Li Shangyin merupakan bagian dari teks puisi sebagai bentuk tanda yang sangat menentukan buat pembaca mendekati makna niatan utama yang diinginkan oleh penyair saat masuk ke dalam batang tubuh isi puisi secara keseluruhan (makna niatan ini saya mendekatinya dari munculnya kata lugas secara teks yang saya sebutkan di atas). Hal ini saya pikir berlaku juga pada munculnya kata “budhe” di karya Eka Nuraini.

Judul puisi yang lugas tidaklah akan menjadikan ruang perspektif serta  interpretasi pembaca menjadi sempit selama judul dan isi puisi mempunyai korelasi (hubungan timbal balik atau sebab akibat), harmonisasi pun koherensi (keselarasan bentuk dan isi) yang baik.

Pada judul /di serambi rumah budhe/ dalam pembacaan saya penulis ingin menyampaikan pesan bahwa segala sesuatu aktivitas yang ada pada isi puisi di lakukan di rumah budhe (bukan di rumah yang lain). Seperti yang saya baca, maknai, pada judul “MENULIS DI POTRET ISTRI” dan “USAI BERMIMPI ISTRI” di sini penyair Nalan Xingde ingin berpesan pada pembaca bahwa kegiatan menulis penyair dilakukan di potret istrinya (bukan di potret sahabatnya, ibunya, bapaknya, atau budenya, dst), juga hal yang usai di mimpikan penyair adalah istrinya, bukan yang lain!.

Demikian juga pada judul puisi “MENGENANG PUTRI QIN” karya Li Bai dan “MENGENANG ISTRI” karya Ghong Zhu, semuanya ingin menyampaikan pesan secara lugas bahwa puisi ini diniatkan untuk putri Qin-nya Li Bai dan untuk Istri-nya Ghong Zhu, bukan yang lain!

Dari sekian contoh judul lugas yang saya leret sertakan di atas, adapun yang mempunyai kesetaraan maksud dengan makna niatan yang ditunjukan oleh kata sebagai penanda suatu tempat yang merupakan hal pokok sebagai tanda (sign) dari ide, gagasan, atau tema yang memicu lahirnya puisi /di serambi rumah budhe/ ini adalah puisi Li Shangyin yang berjudul DI BALE LUO INGAT CHUI BERSAUDARA”.

Pada puisi tersebut, Li Shangyin ingin menyampaikan pesan pada pembaca bahwa ide, gagasan, atau tema yang memicu lahirnya puisi adalah “DI BALE LUO”, bukan di lain tempat selain “BALE LUO”. Karena saat di bale luo inilah penyair ingat pada chui bersaudara yang tertahan/terkungkung di dalam benteng saat terjadi peperangan. Teks lengkapnya saya sertakan seperti di bawah ini:

DI BALE LUO INGAT CHUI BERSAUDARA

Li Shangyin (823-856;  Tang)

Rumpun bambu tiada berdebu air bale melamat
Rindu jauh dihantar tersekat benteng yang berat
Mendung musim gugur memekat salju terbang malam
Hanya menyisakan padma lapuk mendengar suara hujan

Kesetaraan maksud tempat yang dinyatakan secara lugas pada judul tersebut juga Nampak jelas pada puisi Eka Nuraini “DI SERAMBI RUMAH BUDHE”, seperti halnya pada puisi Li Shangyin, pada judul puisinya ini Eka ingin menyampaikan pesan pada pembaca bahwa ide, gagasan, atau tema yang memicu lahirnya puisnya tersebut adalah “SERAMBI RUMAH BUDHE” sebagai sebuah tempat, bukan di lain tempat selain dari yang telah dimaksudkan penulisnya. (Poin ini sangat penting terkait dengan makna utama [primer], bukan makna kedua [sekunder])

Peran penting “DI SERAMBI RUMAH BUDHE” ini sebagai tanda (sign) pada keseluruhan puisi, sama pentingnya dengan objek tempat “Gerbang Barat” yang ada pada puisi Ghong Zhu, hanya saja objek tempat penting yang menjadi titik tumpu puisi, kalau pada puisi Eka Nuraini di taruh pada judul, sedangkan pada puisi Ghong Zhu di taruh pada batang tubuh puisinya yang berjudul “MENGENANG ISTRI”, secara teks lengkap saya sertakan di bawah ini, dan yang menjadi pusat/inti yang saya maksudkan akan saya beri tanda kurung ( ) dan saya bold.

MENGENANG ISTRI

Ghong Zhu (1063-1120; Song)

Kembali lewat (Gerbang Barat) semua tak lagi sama
bila datang bersama mengapa tak pulang bersama?
Pohon Wutong separo mati sehabis salju berguguran
Bebek sejoli pun beruban kehilangan teman terbang

Rumput di atas padang
Embun barusan menguap
Pondok lama makam baru berdua mesra menyapa
Di dipan kosong mendengar hujan di jendela selatan
Siapa yang berulang menyulut lentera menambal busana?

Pada dua larik bait pertama, nampak jelas Ghong Zhu menjadikan “Gerbang Barat” sebagai sign (tanda) yang memicu munculnya kenangan pada sosok orang yang sangat dekat dengannya / Kembali lewat Gerbang Barat semua tak lagi sama/. Siapakah gerangan sosok penting yang menjadikan Ghong Zhu terkenang saat dia melewati Gerbang barat? Lalu dia menuliskan perasaannya seperti pada larik dua bait pertama /bila datang bersama mengapa tak pulang bersama?/, nah kalau pembacaan saya hentikan sampai di sini, juga tanpa mengaitkannya dengan judul, saya akan kesulitan untuk menangkap gambaran siapa gerangan yang menjadikan Ghong Zhu demikian sedih dan merasa kehilangan sekali, apakah anaknya? Saudaranya? Ibunya? Atau kekasihnya? dst.  

Bahkan saat pembacaan saya lanjutkan, pada tiap-tiap lariknya lebih pada penguatan citraan  emosi suasana yang diciptakan melalui simbol alam yang kian menggetahkan rasa pedih teramat sangat. Kepedihan tadi pada puncaknya terungkap di 3 larik terakhir bait dua // Pondok lama makam baru berdua mesra menyapa/ Di dipan kosong mendengar hujan di jendela selatan/ Siapa yang berulang menyulut lentera menambal busana?//, di 3 larik ini saya hanya mendapati rasa kehilangan Ghong Zhu atas meninggalnya seseorang yang teramat sangat dekat. Namun tidak ada sama sekali yang menyebutkan siapa yang meninggal tersebut, apakah anaknya? Ibunya? Neneknya? Istrinya? Atau tanda tanya tanda tanya lainnya. Namun 3 larik klimaks yang ada di akhir bait 2, juga sign (tanda) dari diksi Gerbang Barat yang ada di larik satu bait satu, akan kita dapatkan jawabnya saat kita naik pada judul “Mengenang Istri”.

Memaknai yang tersirat dengan berkontempelasi

Kembali pada puisi Eka Nuraini, di awal tulisan ini saya paparkan pembacaan saya secara teks tersurat, saya dihadapkan secara nyata pada sebuah lukisan suatu kejadian, dan kejadian itu di serambi rumah budhe, lalu ada daun jatuh yang membangkitkan keharuan,dan semua kejadian tadi menjadikan si aku lirik terbekap kerinduan yang teramat sangat /, suatu  kerinduan yang muncul atas segala hal yang terkait dengan apa yang ada di rumah budhe aku lirik.

Sampai di sini apa yang tersurat tersebut, saya belum menemukan jawab apa yang ingin disiratkan oleh batang tubuh puisi secara ketertautan utuh puisi. Dalam artian saya belum tahu  keharuan yang bagaimana yang dirasakan aku lirik? Keharuan yang apa? Kerinduan pada siapa? Dan mengapa kerinduan tadi muncul pada aku lirik? Ada kaitan apa juga dengan judul di serambi budhe? Kenapa tidak ditulis di serambi rumah? Atau kenapa tidak ditulis di serambi pakde? Dst.

DI SERAMBI RUMAH BUDHE

Daun jatuh bersimpuh
Aku memagut rindu, penuh

Eka Nuraini. Twn, 22-4-2014

Maka setelah gambaran-gambaran dari pembacaan secara tersurat, saya mencoba mendekatinya melalui suatu  kemungkinan lain dari adanya sebuah kondisi atau suatu peristiwa nyata yang diciptakan pemuisi secara imaji di alam pikirnya pada puisi ini, dan saya akan cari kedekatan imaji dalam menggunakan simbol-simbol bahasa sebagai penghantar ekspresi penyairnya, seperti saat mendekati simbol bahasa puisi “MENGENANG ISTRI” di atas.

//DI SERAMBI RUMAH BUDHE//sebagai simbol puitik mempunyai peran dan fungsi yang sama dengan diksi “Gerbang Barat” di larik satu puisi Ghong Zhu, dan “ DI BALE LUO” puisinya Li Shangyin, yakni sama-sama memerankan suatu kondisi tempat munculnya peritiwa-peristiwa imaji di puisinya.

Ghong Zhu, dengan melewati serta melihat “Gerbang Barat” jadi teringat Istrinya. Li Shangyin dengan melihat serta berada “DI BALE LUO” jadi teringat pada Chui bersaudara. “DI SERAMBI RUMAH BUDHE”iakah Eka Nuraini teringat budhenya seperti halnya dua penyair yang saya tuliskan di atas yang teringat orang terdekatnya dari hasil kondisi atau peristiwa yang diciptakan masing-masing penyair secara imaji?

Hingga di sini, sementara jawabanya bisa iya bisa tidak, sebab judul keseluruhan puisi Eka Nuraini lebih memberikan arti sebagai suatu tempat terjadinya sebuah peristiwa dalam artian tidak secara khusus (atau masih samar) dalam menyatakan sebuah kerinduan pada sosok “Bhude”, dan masih menyisakan banyak ruang pembacanya untuk berkontempelasi dalam menyingkap tabir hadirnya diksi “BUDHE”. Berbeda sekali dengan Ghong Zhu yang lugas menulisnya “Mengenang Istri” dan Li Shangyin yang dengan tegas menyatakan teringat Chui Bersaudara.

Walau pada suatu interaksi dengan penyair, saat saya lempar pertanyaan “rindu pada siapa?”, dan dia menjawab: “Pada Budhe, yang dahulu pernah berjanji pada saya untuk menjadi koki saat pesta pernikahan saya di gelar. Tetapi rindu itu … Menyatu bersama rimbunnya daun semboja yang akarnya telah mengakar kuat sebelum saya tiba di bumi pertiwi. Saat itu saya masih di perantauan, “ saya akan abaikan jawaban tadi. Saya lebih memilih menikmatinya dengan cara menelusuri secara bentuk dan isi yang dihadirkan oleh teks tertuang pada puisinya tersebut.

Dan untuk mengetahui apakah masuknya diksi “Budhe” ini semata hanya sebagai mempertegas suatu kondisi tempat terjadinya peristiwa diciptaan imajinasi Eka Nuraini, atau masuknya diksi “Budhe” ini untuk mengisyaratkan adanya sesuatu yang lain yang disembunyikan oleh penyairnya? Untuk mencari akan hal tersebut, saya akan masuk ke batang tubuh isi puisi yang terdiri dari 2 larik 7 kata, di bawah ini:

 Daun jatuh bersimpuh
Aku memagut rindu, penuh

Pada larik pertama /Daun jatuh bersimpuh/, betapa pilihan kata-kata konkret tadi serasa bergerak di rasa imaji baca saya. Saya seperti menjadi aku lirik yang diterpa perasaan sentimental melihat daun jatuh, ada perasaan haru yang menyergap dengan jatuhnya daun tersebut, dan keharuan tadi kian membekap segenap perasaan saat diksi /daun jatuh/ yang konkret tadi dibentur tautkan dengan kata konkrit /bersimpuh/, betapa saya yang menjadi aku lirik seperti melihat ada yang tengah bersimpuh sambil menatap daun jatuh tadi. Dominasi bunyi asonansi huruf /u/ pada larik pertama ini, juga kombinasi perpaduan asonansi aliterasi /uh/ pada “jatuh bersimpuh” kian menghadirkan nuansa yang syahdu. Nuansa kehilangan (kematian). Tapi kehilangan siapa? Kehilangan apa? Atau jika itu menyiratkan kematian, lalu kematian siapa? Pada larik satu ini saya masih belum menemukan jawaban dari apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Untuk menyakinkan tafsir atas pembacaan saya pada larik satu puisi Eka Nuraini tadi, saya kembali memasuki alam imajinasi puisi “MENGENANG ISTRI” karya Ghong Zhu, tepatnya larik 3 dan 4 bait pertama //Pohon Wutong separo mati sehabis salju berguguran/ Bebek sejoli pun beruban kehilangan teman terbang//. Sensasi keharuan atas sebuah kehilangan yang sama saya rasakan, seperti sensasi pada larik satu puisi Eka di atas. Hanya pada larik 3 dan 4 puisi ini saya bisa langsung tahu kalau kesedihan dan keharuan ini untuk “istrinya”.

Melanjutkan pembacaan pada puisi /DI SERAMBI RUMAH BUDHE/, pada larik ke 2, Eka Nuraini menulis / Aku memagut rindu, penuh/, kali ini dia menulisnya dengan kata-kata lugas yang disertai bunyi vocal /u/ yang dominan sehingga irama begitu terasa mendayu, terasa lirih yang syahdu. Tetapi memagut rindu pada siapa? Pada anakkah? Pada saudarakah? Pada pakde kah? Atau pada budhekah? Ada peristiwa apakah hingga aku lirik kian terlarut dalam kerinduan yang teramat sangat? Apa lagi di dua larik isi tidak ada pengungkapan yang mengarah secara langsung pada subjek yang terindukan, demikian pula pada judul lebih mengarah pada tempat kejadian peristiwa ciptaan imaji penyair.

Untuk menemukan jawaban-jawaban tadi, selain saya mencari korelasi antara judul dan dua larik isi puisi secara utuh menyeluruh, kali ini saya juga melakukan pendekatan simbol/semiotic dan segala kemungkinan yang terkait padanya di luar teks puisi, yang saya fokuskan pada judul “DI SERAMBI RUMAH BUDHE”. Terutama pada kata “BUDHE” diluar kehadiran kata ini untuk mempetegas lokasi peristiwa tadi.

“Budhe” tulis Eka Nuraini pada judul puisinya, bukan “bude”yang merupakan bahasa Indonesia baku. Dari adanya penyimpangan Leksikal ini, kian menguatkan saya bahwa masuknya diksi “Budhe” sebagai tanda (sign) yang sengaja dilakukan penyair untuk mendapatkan pengalaman estetik tertentu secara personal. Suatu bentuk penyimpangan leksikal yang dia lakukan guna mendapatkan estetik pengucapan yang bisa mendukung gejolak perasaan jiwanya, dan dalam pengucapan keseharian bahasa jawa “budhe” dengan penyisipan huruf “h” intonasi terasa memberat, menghormat.


Penutup

Di awal tulisan ini saya menuliskan bahwa benda atau objek akan semakin kuat memantik kenangan jika benda atau objek yang dilihatnya, dipikirkannya tadi terkait dengan kenangan yang meninggalkan kesan special dalam kehidupan yang bersangkutan, dan keberadaan benda atau objek  beserta hal yang menyertai kenangan seseorang tadi, akan sangat memungkinkan terciptanya  imaji rasa (imaji taktil), imaji penglihatan (imaji visual), atau imaji suara (imaji auditif) dalam diri orang yang tengah terkenang sesuatu tersebut.

Dari pemaparan saya tadi, saya menariknya pada judul lengkap puisi yang merujuk pada benda bernama serambi rumah milik budhe, yang singkat cerita mengingatkan saya waktu masih anak-anak kalau di suruh ayah pinjam pompa ke rumah paklek (paman), saat bertemu dan di tanya teman mau ke mana, saya bilang mau ke rumah paklek (paman) pinjam pompa. Begitu juga saat ibu meminta saya pinjam sesuatu pada bulek (bibi), kalau saya berpapasan dengan seseorang dan ditanya mau kemana, saya tidak jawab mau ke rumah paklek seperti tadi, tapi saya bilang mau ke rumah bulek (bibi) pinjem sesuatu tadi. Mungkin ini yang dinamakan sebagai suatu “sugest” dari apa yang di dengar, dilihat dan dirasa. Demikian juga masuknya dksi “Budhe” pada kata “di beranda rumah” juga merupakan bagian dari adanya sugest bawah sadar penyair terhadap keberadaan serambi rumah tadi banyak waktu dihabiskan dengan “Budhenya” dan inilah misteri masuknya “Budhe” pada judul sebagai bahasa isyarat bahwa kerinduan yang terbabar pada isi puisi ditujukan pada Budhenya.

Di Beranda rumah budhe yang mengingatkan sosok budhe yang dicintai, disayangai, dikagumi, juga teman berkeluh kesah penyair semasa hidupnya, seperti halnya kerinduan Ghong Zhu pada istrinya yang telah tiada pada akhir larik puisinya:

Di dipan kosong mendengar hujan di jendela selatan
Siapa yang berulang menyulut lentera menambal busana?

Mataram, 23 April 2014

lifespirit      

Referensi:
1. Kritik Sastra. Penulis SUYITNO. Penerbit LPP & UNS Press. 2009, hal. 32.
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia III disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Penerbit Balai Pustaka. 2008.
3. PURNAMA DI BUKIT LANGIT – ZHOU FUYUAN, Penerbit: Gramedia, Jakarta 2007.
4. Dokumen grup puisi dua koma tujuh
5. Esai-esai pribadi

Imron Tohari
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *