Dalam kehidupan ini, semua orang pasti pernah mengalami atau memiliki sebuah kenangan. Adakalanya kenangan tadi timbul saat kita memikirkan atau melihat suatu benda atau objek yang memicu ingatan kita akan suatu kenangan tersebut tercipta. Bisa jadi hal tersebut karena benda atau objek tadi sangat terkait lekat dengan apa yang menjadikan seseorang terkenang pada sesuatu hal tadi.
Benda atau objek akan semakin kuat memantik kenangan jika benda atau objek yang dilihatnya, dipikirkannya tadi terkait dengan kenangan yang meninggalkan kesan special dalam kehidupan yang bersangkutan.
Kenangan akan sesuatu, dan sesuatu tadi sudah tidak ada lagi bersama, anggap saja sesuatu itu seperti kehilangan seseorang yang dekat, seseorang yang memberi kesan tertentu, seseorang yang dicinta (bisa adik, kakak, ayah, ibu, pakde, bude, bulek, paklek, atau kekasih juga sahabat baik, dll) yang teramat sangat membekas dalam ingatan kita. Dan ingatan itu akan cepat muncul di rasa imaji pikir, manakala kita diingatkan oleh suatu benda atau objek yang sangat terkait erat dengan historis kenangan tercipta. Katakanlah benda atau objek itu adalah suatu tempat di mana terbentuknya memori kenangan yang kuat tadi terjadi, dan kemudian memicu ingatan pada seseorang yang dekat atau yang meninggalkan kesan special secara sentimental. Keberadaan benda atau objek beserta hal yang menyertai kenangan seseorang tadi, akan sangat memungkinkan terciptanya imaji rasa (imaji taktil), imaji penglihatan (imaji visual), atau imaji suara (imaji auditif) dalam diri orang yang tengah terkenang sesuatu tersebut.
Dari pemikiran saya di atas, saya akan pakai untuk mendapatkan tafsir, baik secara tersurat pun tersirat dari puisi pola tuang 2,7 karya Eka Nurani yang saat ini tinggal berdomisili di Taiwan. (sesuai ttimangsa yang menera: Twn, 22-4-2014), yang bertajuk /DI SERAMBI RUMAH BUDHE/, yang teks lengkapnya seperti di bawah ini:
DI SERAMBI RUMAH BUDHE
Daun jatuh bersimpuh
Aku memagut rindu, penuh
Eka Nuraini. Twn, 22-4-2014
Memaknai yang Tersurat
Secara tersurat utuh puisi di atas, makna suratan dalam pembacaan, saya dihadapkan secara nyata pada sebuah lukisan suatu kejadian, dan kejadian itu di serambi rumah budhe (jawa)— KBBI, tertulis “bude” (sekaligus dijadikan judul), lalu ada daun jatuh yang membangkitkan keharuan / Daun jatuh bersimpuh/, dan semua kejadian tadi menjadikan si aku lirik terbekap kerinduan yang teramat sangat /Aku memagut rindu,/, kerinduanatas segala hal yang terkait dengan apa yang ada di rumah budhe aku lirik / penuh/.
Secara teks tersurat /di serambi rumah budhe/, diksi “budhe” mengada, jika mencermati struktur bentukan antar kata, secara intrinsik dimaksudkan bahwa apa yang akan dilukiskan pada isi puisi ini nantinya terawali, terjadi, atau yang dialami oleh penyair adalah saling kait mengait dengan judul— di rumah “budhe”. Objek tempat kejadiannya jelas arah tuju dari yang disuratkan penyair.
/di serambi rumah budhe/, diksi “budhe” mengada, secara ekstrinsik, dari pembacaan saya jika dikaitkan dengan titimangsa yang menandai lahirnya puisi ini /Twn, 22-4-2014/, itu artinya saat puisi ini tercipta, penyair ada di rantau (baca: Taiwan), tidak benar-benar ada di serambi rumah budhe. Bisa jadi saat itu penyair tengah berada di serambi rumah (rumah siapa saja), atau sedang melihat seseorang atau beberapa orang bercengkerama di beranda rumah, atau penyair sendiri yang tengah berada di serambi rumah sendirian, dan pada suatu kondisi tertentu sehingga ingatannya dibawa terbang ke sosok orang yang dipanggilnya dengan sebutan budhe tadi, ke waktu lampau, waktu di mana pemuisi sering berinteraksi dengan budhe, di serambi rumah, dan serambi rumah itu, di serambi rumah budhe.
Saya pikir akan menjadi berbeda jika semisalnya secara tersurat hanya di tulis /di serambi rumah/, sebab akan ada ekspresi (pengungkapan atau proses menyatakan), sensasi (yang merangsang emosi), dan esensi (hal pokok) yang hilang sebagai tanda (sign) dari ide, gagasan, atau tema yang memicu lahirnya puisi ini.
Atau katakanlah diksi “Budhe” diganti dengan kakak, adik, ayah, ibu, kekasih, sahabat, dst. Tentunya hal ini juga akan menggeser makna niatan dari apa yang ingin di paparkan dari idea atau gagasan, baik secara tersurat pun tersirat nantinya pada isi puisi secara utuh menyeluruh (terkait dengan makna tersirat). Mari kita coba rekonstruksi tanpa diksi ‘Budhe’ masuk pada judul, seperti di bawah ini:
DI SERAMBI RUMAH
Daun jatuh bersimpuh
Aku memagut rindu, penuh
Eka Nuraini. Twn, 22-4-2014
Bukankah dari iustrasi di atas. Tanpa diksi “BUDHE” rasa imaji pikir pembaca dalam berkontempelasi serta memetik makna keseluruhan tubuh puisi kian luas?
Mari cermati bersama: “DI SERAMBI RUMAH BUDHE” menjadi
/di serambi rumah/
Pecahnya kosentrasi pembaca dalam mendekati makna niatan primer pemuisi, dikarenakan
Jika diksi “BUDHE” diganti dengan kakak, adik, ayah, ibu, kekasih, sahabat, dst, sebagai subjek. Secara tanda (sign) tetap ada, rangsangan emosi pun tidak berubah, pendekatan pada makna niatan primer juga tetap sama kuatnya dengan saat memakai diksi “BUDHE”. Namun penggantian subjek tetap saja akan menggeser makna niatan utama pemuisi dari konteks (situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian) idea, gagasan, tema lahirnya puisi.
Lalu apakah dengan masuknya diksi “budhe” pada judul justru tidak akan menjadikan ruang perspektif (
Lebih sempit? Saya lebih senang dengan menyebutnya lebih focus pada objek wicara yang ingin ditonjolkan penyairnya
Judul lugas puisi Eka Nuraini di atas juga sering saya temukan pada karya penyair China Klasik yang untuk mengabadikan momen khusus (personal) bagi sosok yang dekat dengannya (dikenal baik oleh pemuisi/penyair), misal judul-judul di bawah ini:
MENULIS DI POTRET ISTRI karya Nalan Xingde; Dinasti Qing, hal. 261
USAI BERMIMPI ISTRI karya Nalan Xingde; Dinasti Qing, hal. 262
MENGENANG PUTRI QIN karya Li Bai; Dinasti Tang, hal. 269
MENGENANG ISTRI karya Ghong Zhu; Dinasti Song, hal 276,
DI BALE LUO INGAT CHUI BERSAUDARA karya Li Shangyin; Dinasti Tang, hal. 124
Peneraan kata lugas “Istri” pada puisi Nalan Xingde serta Ghong Zhu, “Putri Qin” pada puisi Li Bai, dan “CHUI BERSAUDARA” pada puisi Li Shangyin merupakan bagian dari teks puisi sebagai bentuk tanda yang sangat menentukan buat pembaca mendekati makna niatan utama yang diinginkan oleh penyair saat masuk ke dalam batang tubuh isi puisi secara keseluruhan (makna niatan ini saya mendekatinya dari munculnya kata lugas secara teks yang saya sebutkan di atas). Hal ini saya pikir berlaku juga pada munculnya kata “budhe” di karya Eka Nuraini.
Judul puisi yang lugas
Pada judul /di serambi rumah budhe/ dalam pembacaan saya penulis ingin menyampaikan pesan bahwa segala sesuatu aktivitas yang ada pada isi puisi di lakukan di rumah budhe (bukan di rumah yang lain). Seperti yang saya baca, maknai, pada judul “MENULIS DI POTRET ISTRI” dan “USAI BERMIMPI ISTRI” di sini penyair Nalan Xingde ingin berpesan pada pembaca bahwa kegiatan menulis penyair dilakukan di potret istrinya (bukan di potret sahabatnya, ibunya, bapaknya, atau budenya, dst), juga hal yang usai di mimpikan penyair adalah istrinya, bukan yang lain!.
Demikian juga pada judul puisi “MENGENANG PUTRI QIN” karya Li Bai dan “MENGENANG ISTRI” karya Ghong Zhu, semuanya ingin menyampaikan pesan secara lugas bahwa puisi ini diniatkan untuk putri Qin-nya Li Bai dan untuk Istri-nya Ghong Zhu, bukan yang lain!
Dari sekian contoh judul lugas yang saya leret sertakan di atas, adapun yang mempunyai kesetaraan maksud dengan makna niatan yang ditunjukan oleh kata sebagai penanda suatu tempat yang merupakan hal pokok sebagai tanda (sign) dari ide, gagasan, atau tema yang memicu lahirnya puisi /di serambi rumah budhe/ ini adalah puisi Li Shangyin yang berjudul “DI BALE LUO INGAT CHUI BERSAUDARA”.
Pada puisi tersebut, Li Shangyin ingin menyampaikan pesan pada pembaca bahwa ide, gagasan, atau tema yang memicu lahirnya puisi adalah “DI BALE LUO”, bukan di lain tempat selain “BALE LUO”. Karena saat di bale luo inilah penyair ingat pada chui bersaudara yang tertahan/terkungkung di dalam benteng saat terjadi peperangan. Teks lengkapnya saya sertakan seperti di bawah ini:
DI BALE LUO INGAT CHUI BERSAUDARA
Li Shangyin (823-856; Tang)
Rumpun bambu tiada berdebu air bale melamat Rindu jauh dihantar tersekat benteng yang berat Mendung musim gugur memekat salju terbang malam Hanya menyisakan padma lapuk mendengar suara hujan
Kesetaraan maksud tempat yang dinyatakan secara lugas pada judul
Peran penting “DI SERAMBI RUMAH BUDHE”
MENGENANG ISTRI
Ghong Zhu (1063-1120; Song)
Kembali lewat (Gerbang Barat) semua tak lagi sama bila datang bersama mengapa tak pulang bersama? Pohon Wutong separo mati sehabis salju berguguran Bebek sejoli pun beruban kehilangan teman terbang Rumput di atas padang Embun barusan menguap Pondok lama makam baru berdua mesra menyapa Di dipan kosong mendengar hujan di jendela selatan Siapa yang berulang menyulut lentera menambal busana?
Pada dua larik bait pertama, nampak jelas Ghong Zhu menjadikan “Gerbang Barat” sebagai sign (tanda) yang memicu munculnya kenangan pada sosok orang yang sangat dekat dengannya / Kembali lewat Gerbang Barat semua tak lagi sama/. Siapakah gerangan sosok penting yang menjadikan Ghong Zhu terkenang saat dia melewati Gerbang barat? Lalu dia menuliskan perasaannya seperti pada larik dua bait pertama /bila datang bersama mengapa tak pulang bersama?/, nah kalau pembacaan saya hentikan sampai di sini, juga tanpa mengaitkannya dengan judul, saya akan kesulitan untuk menangkap gambaran siapa gerangan yang menjadikan Ghong Zhu demikian sedih dan merasa kehilangan sekali, apakah anaknya? Saudaranya? Ibunya? Atau kekasihnya? dst.
Bahkan saat pembacaan saya lanjutkan, pada tiap-tiap lariknya lebih pada penguatan citraan emosi suasana yang diciptakan melalui simbol alam yang kian menggetahkan rasa pedih teramat sangat. Kepedihan tadi pada puncaknya terungkap di 3 larik terakhir bait dua // Pondok lama makam baru berdua mesra menyapa/ Di dipan kosong mendengar hujan di jendela selatan/ Siapa yang berulang menyulut lentera menambal busana?//,
Memaknai yang tersirat dengan berkontempelasi
Kembali pada puisi Eka Nuraini, di awal tulisan ini saya paparkan pembacaan saya secara teks tersurat, saya dihadapkan secara nyata pada sebuah lukisan suatu kejadian, dan kejadian itu di serambi rumah budhe, lalu ada daun jatuh yang membangkitkan keharuan,dan semua kejadian tadi menjadikan si aku lirik terbekap kerinduan yang teramat sangat /, suatu kerinduan yang muncul atas segala hal yang terkait dengan apa yang ada di rumah budhe aku lirik.
Sampai di sini apa yang tersurat tersebut, saya belum menemukan jawab apa yang ingin disiratkan oleh batang tubuh puisi secara ketertautan utuh puisi. Dalam artian saya belum tahu keharuan yang bagaimana yang dirasakan aku lirik? Keharuan yang apa? Kerinduan pada siapa? Dan mengapa kerinduan tadi muncul pada aku lirik? Ada kaitan apa juga dengan judul di serambi budhe? Kenapa tidak ditulis di serambi rumah? Atau kenapa tidak ditulis di serambi pakde? Dst.
DI SERAMBI RUMAH BUDHE
Daun jatuh bersimpuh
Aku memagut rindu, penuh
Eka Nuraini. Twn, 22-4-2014
Maka setelah gambaran-gambaran dari pembacaan secara tersurat, saya mencoba mendekatinya melalui suatu kemungkinan lain dari adanya sebuah kondisi atau suatu peristiwa nyata yang diciptakan pemuisi secara imaji di alam pikirnya pada puisi ini, dan saya akan cari kedekatan imaji dalam menggunakan simbol-simbol bahasa sebagai penghantar ekspresi penyairnya, seperti saat mendekati simbol bahasa puisi “MENGENANG ISTRI” di atas.
//DI SERAMBI RUMAH BUDHE//sebagai simbol puitik mempunyai peran dan fungsi yang sama dengan diksi “Gerbang Barat” di larik satu puisi Ghong Zhu, dan “ DI BALE LUO” puisinya Li Shangyin, yakni sama-sama memerankan suatu kondisi tempat munculnya peritiwa-peristiwa imaji di puisinya.
Ghong Zhu, dengan melewati serta melihat “Gerbang Barat” jadi teringat Istrinya. Li Shangyin dengan melihat serta berada “DI BALE LUO” jadi teringat pada Chui bersaudara. “DI SERAMBI RUMAH BUDHE”iakah Eka Nuraini teringat budhenya seperti halnya dua penyair yang saya tuliskan di atas yang teringat orang terdekatnya dari hasil kondisi atau peristiwa yang diciptakan masing-masing penyair secara imaji?
Hingga di sini, sementara jawabanya bisa iya bisa tidak
Walau pada suatu interaksi dengan penyair, saat saya lempar pertanyaan “rindu pada siapa?”, dan dia menjawab: “Pada Budhe, yang dahulu pernah berjanji pada saya untuk menjadi koki saat pesta pernikahan saya di gelar. Tetapi rindu itu … Menyatu bersama rimbunnya daun semboja yang akarnya telah mengakar kuat sebelum saya tiba di bumi pertiwi. Saat itu saya masih di perantauan, “ saya akan abaikan jawaban tadi. Saya lebih memilih menikmatinya dengan cara menelusuri secara bentuk dan isi yang dihadirkan oleh teks tertuang pada puisinya tersebut.
Dan untuk mengetahui apakah masuknya diksi “Budhe” ini semata hanya sebagai mempertegas suatu kondisi tempat terjadinya peristiwa diciptaan imajinasi Eka Nuraini, atau masuknya diksi “Budhe” ini untuk mengisyaratkan adanya sesuatu yang lain yang disembunyikan oleh penyairnya? Untuk mencari akan hal tersebut, saya akan masuk ke batang tubuh isi puisi yang terdiri dari 2 larik 7 kata, di bawah ini:
Daun jatuh bersimpuh
Aku memagut rindu, penuh
Pada larik pertama /Daun jatuh bersimpuh/, betapa pilihan kata-kata konkret tadi serasa bergerak di rasa imaji baca saya. Saya seperti menjadi aku lirik yang diterpa perasaan sentimental melihat daun jatuh, ada perasaan haru yang menyergap dengan jatuhnya daun tersebut, dan keharuan tadi kian membekap segenap perasaan saat diksi /daun jatuh/ yang konkret tadi dibentur tautkan dengan kata konkrit /bersimpuh/, betapa saya yang menjadi aku lirik seperti melihat ada yang tengah bersimpuh sambil menatap daun jatuh tadi. Dominasi bunyi asonansi huruf /u/ pada larik pertama ini, juga kombinasi perpaduan asonansi aliterasi /uh/ pada “jatuh bersimpuh” kian menghadirkan nuansa yang syahdu. Nuansa kehilangan (kematian). Tapi kehilangan siapa? Kehilangan apa? Atau jika itu menyiratkan kematian, lalu kematian siapa? Pada larik satu ini saya masih belum menemukan jawaban dari apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Untuk menyakinkan tafsir atas pembacaan saya pada larik satu puisi Eka Nuraini tadi, saya kembali memasuki alam imajinasi puisi “MENGENANG ISTRI” karya Ghong Zhu, tepatnya larik 3 dan 4 bait pertama //Pohon Wutong separo mati sehabis salju berguguran/ Bebek sejoli pun beruban kehilangan teman terbang//. Sensasi keharuan atas sebuah kehilangan yang sama saya rasakan, seperti sensasi pada larik satu puisi Eka di atas. Hanya pada larik 3 dan 4 puisi ini saya bisa langsung tahu kalau kesedihan dan keharuan ini untuk “istrinya”.
Melanjutkan pembacaan pada puisi /DI SERAMBI RUMAH BUDHE/, pada larik ke 2, Eka Nuraini menulis / Aku memagut rindu, penuh/, kali ini dia menulisnya dengan kata-kata lugas yang disertai bunyi vocal /u/ yang dominan sehingga irama begitu terasa mendayu, terasa lirih yang syahdu. Tetapi memagut rindu pada siapa? Pada anakkah? Pada saudarakah? Pada pakde kah? Atau pada budhekah? Ada peristiwa apakah hingga aku lirik kian terlarut dalam kerinduan yang teramat sangat? Apa lagi di dua larik isi tidak ada pengungkapan yang mengarah secara langsung pada subjek yang terindukan, demikian pula pada judul lebih mengarah pada tempat kejadian peristiwa ciptaan imaji penyair.
Untuk menemukan jawaban-jawaban tadi, selain saya mencari korelasi antara judul dan dua larik isi puisi secara utuh menyeluruh, kali ini saya juga melakukan pendekatan simbol/semiotic dan segala kemungkinan yang terkait padanya di luar teks puisi, yang saya fokuskan pada judul “DI SERAMBI RUMAH BUDHE”. Terutama pada kata “BUDHE” diluar kehadiran kata ini untuk mempetegas lokasi peristiwa tadi.
“Budhe” tulis Eka Nuraini pada judul puisinya, bukan “bude”yang merupakan bahasa Indonesia baku. Dari adanya penyimpangan Leksikal ini, kian menguatkan saya bahwa masuknya diksi “Budhe” sebagai tanda (sign) yang sengaja dilakukan penyair untuk mendapatkan pengalaman estetik tertentu secara personal. Suatu bentuk penyimpangan leksikal yang dia lakukan guna mendapatkan estetik pengucapan yang bisa mendukung gejolak perasaan jiwanya, dan dalam pengucapan keseharian bahasa jawa “budhe” dengan penyisipan huruf “h” intonasi terasa memberat, menghormat.
Penutup
Di awal tulisan ini saya menuliskan bahwa benda atau objek akan semakin kuat memantik kenangan jika benda atau objek yang dilihatnya, dipikirkannya tadi terkait dengan kenangan yang meninggalkan kesan special dalam kehidupan yang bersangkutan, dan keberadaan benda atau objek beserta hal yang menyertai kenangan seseorang tadi, akan sangat memungkinkan terciptanya imaji rasa (imaji taktil), imaji penglihatan (imaji visual), atau imaji suara (imaji auditif) dalam diri orang yang tengah terkenang sesuatu tersebut.
Dari pemaparan saya tadi, saya menariknya pada judul lengkap puisi yang merujuk pada benda bernama serambi rumah milik budhe, yang singkat cerita mengingatkan saya waktu masih anak-anak kalau di suruh ayah pinjam pompa ke rumah paklek (paman), saat bertemu dan di tanya teman mau ke mana, saya bilang mau ke rumah paklek (paman) pinjam pompa. Begitu juga saat ibu meminta saya pinjam sesuatu pada bulek (bibi), kalau saya berpapasan dengan seseorang dan ditanya mau kemana, saya tidak jawab mau ke rumah paklek seperti tadi, tapi saya bilang mau ke rumah bulek (bibi) pinjem sesuatu tadi. Mungkin ini yang dinamakan sebagai suatu “sugest” dari apa yang di dengar, dilihat dan dirasa. Demikian juga masuknya dksi “Budhe” pada kata “di beranda rumah” juga merupakan bagian dari adanya sugest bawah sadar penyair terhadap keberadaan serambi rumah tadi banyak waktu dihabiskan dengan “Budhenya” dan inilah misteri masuknya “Budhe” pada judul sebagai bahasa isyarat bahwa kerinduan yang terbabar pada isi puisi ditujukan pada Budhenya.
Di Beranda rumah budhe yang mengingatkan sosok budhe yang dicintai, disayangai, dikagumi, juga teman berkeluh kesah penyair semasa hidupnya, seperti halnya kerinduan Ghong Zhu pada istrinya yang telah tiada pada akhir larik puisinya:
Di dipan kosong mendengar hujan di jendela selatan Siapa yang berulang menyulut lentera menambal busana?
Mataram, 23 April 2014
lifespirit
Referensi: 1. Kritik Sastra. Penulis SUYITNO. Penerbit LPP & UNS Press. 2009, hal. 32. 2. Kamus Besar Bahasa Indonesia III disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Penerbit Balai Pustaka. 2008. 3. PURNAMA DI BUKIT LANGIT – ZHOU FUYUAN, Penerbit: Gramedia, Jakarta 2007. 4. Dokumen grup puisi dua koma tujuh 5. Esai-esai pribadi
- Analisa Puisi 2 koma 7 Tenggelam dalam Bahr Al Qudrah Karya Dedy Anggoro - 29 Januari 2025
- Membaca Padma Sempurna 4444 Karya Indra Intisa - 26 Januari 2025
- Kembali Pada Kata Sebuah Tafsir Filosofis Dalam Simbol Puisi Dukotu - 30 Desember 2024