Melawan Kodrat Logika Sony Karsono dalam Sentimentalisme Calon Mayat

Melawan Kodrat Logika Sony Karsono dalam Sentimentalisme Calon Mayat

Jikalau membaca sebuah cerita, hendaknya kita hapus pemikiran tentang logika. Apalagi, cerita itu memandang bahwa otak kita memiliki pola pikir yang cukup absurd. Imajinasi, sebuah anomali bagi sekte pemuja pemikiran dinamis. Cerita dan imajinasi, dua kubu yang akur untuk sepakat menepati janji yaitu karya fiksi. Saat ini di era abad 19 hingga 20, cerita fiksi menunjukkan kesaktiannya kepada semesta. Siapakah dia gerangan? Mengapa cerita tersebut dianggap ‘menyesatkan’ bagi kaum berotak dinamis? 

Para ahli telah bersabda dengan pengukuhannya masing-masing mengenai cerita fantasi ini. Salah seorang ahli terkemuka, Nurgiyantoro (2013:113) menjelaskan bahwa cerita fantasi merupakan cerita yang menampilkan tokoh, alur, atau tema yang derajat kebenarannya diragukan, baik menyangkut keseluruhan cerita maupun hanya sebagian cerita. Mudahnya, cerita fantasi adalah cerita khayalan. Apakah hanya begitu? Tentu didukung oleh keilmuan tentang imajinasi sang penulis. Maka itulah, Nurgiyantoro juga menambahkan kalau imajinasi penulis berperan sangat penting dalam cerita fantasi, sehingga ceritanya banyak yang tidak masuk akal dan dari itu kebenaran dalam cerita tersebut pun diragukan. 

Berbicara tentang cerita fiksi takkan ada batasnya, mengingat para penulisnya yang selalu lahir di setiap waktu bersama karya-karya luar biasanya. Sebut saja Sony Karsono, penulis sekaligus pengajar di Department of Malay-Indonesian Interpretation and Translation, Hankuk University of Foreign Studies, Yongin, Korea Selatan. Ia manusia dengan tangan saktinya yang mampu menciptakan ragam tulisan epic sejak tahun 90-an. Pada 1995-1997, sejumlah cerita pendeknya terbit dalam majalah Mode dan surat kabar Karya Darma, Media Indonesia, dan Kompas. Publikasinya akhir-akhir ini seperti “The City the Body, and the World of Things: A Microhistory of New Order Jakarta Accelerated Modernization” dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde (2022) hingga “The Making of a Sculptor: The Life, Art, and Politics of Dolorosa Sinaga” dalam Dolorosa Sinaga: Body, Form, Matter (Somalaing Art Studio 2019). 

Publikasinya ternyata masih terus melangkah maju. Sifat gigih Sony yang gatal mencoba mempersilakan karya-karyanya kepada khalayak akhirnya tercapai lagi. Sama seperti sebelumnya, keahliannya di bidang fiksi masih mendukung untuk kembali berseri di atas tanah pribumi ini. Sisa amunisi karyanya pada tahun 90-an dilontarkan ke dalam sebuah buku. Cerita-cerita miliknya lalu dikumpulkan menjadi segenggam cerita. Segenggam cerita itu diwujudkannya dalam satu elemen padu, Sentimentalisme Calon Mayat

Ketika Tempo mengumumkan Nomine Buku Sastra Pilihan Tempo 2023 pada 27 Januari 2023, Sony Karsono tercatat bersama sembilan penulis terkemuka lainnya pada kategori prosa. Tak disangka, waktu memberinya hadiah berupa nikmat duniawi yang indah. Tentu saja, pada 4 Februari 2023 kumpulan cerita Sentimentalisme Calon Mayat karya Sony Karsono muncul sebagai pemenang Buku Sastra Pilihan Tempo 2023 (Prosa). Para dewan juri seakan disuap oleh cerita-cerita Sony Karsono, menghasut mereka hingga lapar mata, lapar dengan cerita yang begitu memancar. 

Tampaknya Sony sedang naik daun, saat tahun itu juga dirinya memborong penghargaan lain seperti Penghargaan Sastra Kemdikbudristek 2023 (Cerita Pendek) dan Anugrah Sastra Sutasoma 2023 (Karya Sastra). Karirnya melejit seperti Apollo 11, ratusan tulisan dapat kita temukan mengenai buku cerita Sentimentalisme Calon Mayat dengan beragam argumen mereka. Ada apa dengan prosa ini? Mengapa ragam dewan juri rela melantik Sentimentalisme Calon Mayat sebagai sang juara?

Setelah membaca delapan prosa milik Sony, pilihan para dewan juri tersebut memang telah mencetuskan sosok yang tepat. Sony mampu menjadikan sebuah cerita yang di luar batas logika kesadaran manusia pada umumnya. Namun, kesempurnaan hanya milik Tuhan, maka wajar bilamana seorang yang terbaik pun perlu kecupan kritik. Tak salah jika banyak orang menyebut cerpen ini dengan “cerita aneh dan nyeleneh”. Memang begitu nyatanya, seluruh kalimat dibuatnya amburadul tak berarah.

Cerita-cerita Sony tersebut selaras dengan teori cerita fantasi dari Nurgiyantoro yang sudah mampu mencakup seluruh jagad keilmuan tentang kefantasian. Tokoh yang tercantum tak hanya manusia tulen saja, tetapi beragam khayalan tak berlanar yang seakan menyatu dengan dunia kita. Sebagai gaya Sony, yaitu cerita beralur acak disertai bumbu imajinasi sebisa mungkin memaksa pembaca untuk berfantasi ria. Semakin rancu cerita itu, semakin baik pula kefantasiannya. Namun, apakah seluruh cerita Sony mampu diakui sebagai fantasi yang fantastik? 

Fantasi Liar nan Menggairahkan

Esai ini tercipta setelah mengkhatamkan satu buku Sentimentalisme Calon Mayat milik Sony Karsono. Karya pertama pada kumpulan prosa ini memiliki nama judul yang sama dengan sampulnya, “Sentimentalisme Calon Mayat” juga. Tampak cocok penempatan karya ini sebagai gerbang pembuka, didukung oleh serangkaian alur maju-mundur tentang anak yang problematik. Kehidupan Johan ditampilkan dalam sudut pandang orang pertama, memanipulasi pikiran pembaca dengan ulahnya yang gila. Menyeruput kopi bertopping tanah kuburan, siapa yang doyan? Berahi dengan ibu sendiri, siapa yang nafsu? Bersetubuh dengan mayat, siapa yang kepingin? Hanya Johan seorang, bahkan pembacanya pun merasa hina dengan tingkah tokoh fiksi dari Sony ini.

Sebagai prosa yang ditulis pada 16 Juli 1995, karyanya terbilang beraroma kuno. Sony mengutip lirik dari lagu “Yang Tersendiri” gubahan Tommy Marie yang dinyanyikan Iwan Fals dalam album Sore Tugu Pancoran (1985) untuk referensi kalimat si Johan.

“Oh, hidup! Oh, maut! Hingga subuh aku dan mayat bersetubuh. Oh, mayat cantik! Kuakui, tanpa kemunafikan, kucinta kau.”

Seketika kita dibuat berpikir imajinasi Sony kelewat kreatif. Penguasaannya terhadap tokoh fiksinya dinilai cukup matang, walaupun kita baru membacanya sampai halaman delapan. Apalagi, perjamuan koda yang begitu asik, sangat nikmat.

“Johaaan! Kamu gilaaa!”

“Aku sayang kau, Sita. Tapi itu semua lelucon.”

“Bus tambah dekat. Tak ada jalan menghindar. Tak bisa putar arah. Tepat di antara moncong bus dan mobilku kulihat Maut dalam ujud gadis striptease sedang meliuk, menggeliat, mengupas busana. la bernyanyi dalam suara Nat King Cole: In a restless world like this is.”

Beranjak pada karyanya yang diciptakan pada 27 Juni 1995, “Meteorit” disambut pembaca dengan cukup hangat. Posisinya yang kedua dari kumpulan prosa ini akan menyegarkan mata karena tak separah cerita sebelumnya. Apakah Anda percaya dengan mati suri? Djarot mematahkan mitos itu, dirinya yang bangkit dengan kain kafan anyir hingga mengulangi kembali kehidupan tuanya. Peristiwanya jauh lebih absurd jika dibandingkan judul ke satu, tetapi semuanya mengaitkan tentang satu hal, kematian.

Bila ditilik dari jalan ceritanya, Sony mengarahkan “Meteorit” dengan penuh strategi. Paragraf demi paragraf adalah padu, melukiskan suasana yang tergambar jelas ketika membaca. Lagi-lagi pembeda antara karya satu ini dengan sebelumnya cukup signifikan. Kali ini sudut pandang orang ketiga serba tahu dipilihnya. Jika dikata indah, prosa ini lebih lebih nyaman ditelan dengan mengucap “walah”, campur aduk. Ini rasanya seperti kita membaca naskah Men In Black dengan Toni Korax yang berlagak layaknya Agen J, meskipun hanya sekilas berada di ending.

Raut wajah kisut menahan rasa malu tapi menagihkan ini sangat mengekspresikan isi dari cerpen Sony yang ketiga. “Melankoli” dilahirkan 20 Juni 1996 mengusung fantasi yang nyentrik. Entah motivasi apa yang membuat pengarang mampu berimajinasi dengan penuh gairah, rasanya begitu dewasa ketika membacanya. Dari sekian banyak topik yang perlu dibicarakan, seks dipilih olehnya demi mencairkan suasana karya-karya sebelumnya. 

“Kelamin adalah paspor universal. Masyarakat kangen kelamin. Masyarakat suka mengintip dan membahas kelamin. Orang nelangsa karena kelamin. Orang berkelakar tentang kelamin. Orang membenci karena kelamin. Orang jatuh cinta karena kelamin.”

Sony cukup lihai mengubah sudut pandang pembaca mengenai kelamin yang terkesan menjijikkan dan saru menjadi mahkota yang diagungkan. Tak perlu banyak penggiringan opini, ketika berbicara tentang kelamin dan seks maka seluruh pembaca akan saling merangkul dan setuju tanpa perdebatan. Pembawaan tokoh “Aku” yang begitu dalam mengenai jati dirinya menciptakan nuansa diri sendiri, tersakiti karena cinta.

Di balik itu semua, celah untuk berkritik akan selalu terbuka. “Sentimentalisme Calon Mayat” adalah pembuka yang bagus sekaligus mimpi buruk. Kebahasaannya nikmat untuk dibaca, tetapi sedikit susah diresapi. Banyak metafora yang menghiasi cerita, kebanyakan memakan waktu untuk diawang wujudnya. Bagi yang berimajinasi tinggi sepertinya tak terlalu acuh, sayangnya tidak semua orang berpikiran sama. Tata bahasa yang acak-acakan dan liar itu tetap bisa disantap, hanya saja tak perlu dibawa ke dalam pikiran (terutama bagi mental).

“Meteorit” dan “Melankoli” adalah mimpi buruk bagi anak masa pubertas. Jangan sampai cerita ini mendoktrin bocah baru masa puber untuk membahas terlalu jauh tentang kelamin, bisa-bisa kacau karena bahasanya yang menggairahkan. Tak ada tolakan bagi pembaca dewasa maupun mahasiswa, karena mereka telah terbiasa dengan kelamin.

Fantasi itu Tak Terbatas, Tetapi Membatasi 

Fantasi mengajari kita untuk berpikir di luar pintu logika. Itulah sebabnya cerita seperti ini banyak dihindari kaum berotak dinamis, tentu karena tak sesuai syarat kebenaran nalar. “Sukra” menjadi karya Sony yang sejak awal hingga akhir ceritanya tak dapat lepas dari imajinasi. Ditulis pada 10 Oktober 1995, prosa ini mengajak otak untuk melawan kodrat logika. Sesuai judul, “Sukra” sekaligus menjadi tokoh utama yang digambarkan penuh dengan hiruk-pikuk kehidupan (yang tak bernalar). 

Perjamuan cerita ini sebenarnya bertujuan untuk apa? Jika hanya sebagai tempat seorang untuk membaca, apa bedanya dengan komentar netizen di Instagram maupun Facebook yang juga sama-sama khayalan? Sebagai salah penikmat cerita fiksi, tidak salah bahwa pola pikir manusia akan turut tenggelam ke dalam imajinasi apabila membaca sebuah karangan. Otak akan menggiring kita untuk berkhayal, menjadikan sebuah cerita sebagai hiburan yang nikmat, nikmat duniawi. Jangan buat pikiran kita dipenjara oleh semua hal sehingga bersifat rasional, cobalah berekspresi.

Cerita fantasi seperti ini dapat memanipulasi mata, bibir, hidung, telinga untuk merasakan narasi tak bersyarat dan itu sangat lezat. Hiburan, suatu keajaiban bagi tubuh untuk terbang menghapus benak pikiran yang lalu-lalang. Setiap orang butuh hiburan, bahkan bagi seorang professor maupun filsuf. Salah satu jalan untuk mendapati hiburan itu dengan cerita fantasi ini, sejalan dengan para seniman Dekaden (dalam Djokosujatno, 2005: 30) yang memaparkan kalau cerita fantastik tak berisi pesan tertentu karena tujuan utamanya adalah efek khusus, yaitu efek fantastik melalui penyajian ceritanya.

Barangkali kita diminta untuk berkhayal, tak perlu resah berkepanjangan. “Seikat Kembang Egois” melantunkan cerita yang begitu nikmat bagi mereka yang merasa bodoh, akan cinta. Omong kosong dengan keromantisan, waktu memberimu jatah untuk bersenang-senang di dunia, bukan untuk menjadi bodoh karena cinta. Sony sepertinya ingin menyadarkan betapa konyolnya orang-orang yang divonis budak cinta. Bisa jadi, tokoh “Aku” adalah cerminan pengarang di masa mudanya yang juga pasti pernah memekarkan bunga hatinya kepada perempuan. 

Masa percintaan adalah paling angkuh, paling egois, dan paling dungu. Lihat bagaimana tokoh utama itu berbicara lancang dengan seorang bapak tua demi cintanya yang bahkan tak sempat saling melambai. Pemberian bumbu fantasi dengan suasana dramatis menciptakan suasana yang bergejolak. Adakah pengorbanan yang lebih tinggi selain melepaskan? Jawabannya adalah bunuh diri dalam kebodohan cinta. Menelan kekalahan yang tak bisa dihindarkan, pahala atau dosa. Membiarkan bapak tua tewas dalam keegoisan nafsu semata, kebatilan.

Apakah berkhayal perlu dibatasi? Apa arti imajinasi jika dibatasi? Seegois itu pikiran kita hingga tega mematikan keajaiban ciptaan Tuhan yang begitu dahsyat. Kembangkan pola pikir di atas nalar untuk menghasut orang-orang awam, layaknya para pencipta karya sastra. “Insomnia” lahir 3 November 1995 dengan judul yang tak perlu banyak kiasan. Perjamuan ceritanya kompleks dan senyap, entah seperti membaca Sherlock Holmes yang kelam, dingin, gelap. 

Beberapa pembaca mungkin terbesit pertanyaan di pikirannya, mengapa pengarang ini memberi judul “Insomnia”, lalu setelah membacanya kedua kali, semua dapat dimengerti. Ketika insomnia dikaitkan dengan keadaan, seorang akan merasa di bawah garis halusinasi, seperti peminum atau pemakai narkoba. Jika Anda pernah menonton kartun SpongeBob SquarePants: InSpongeiac, sepertinya kejadian luar nalarnya juga bisa dimaafkan, sebelas-dua belas dengan karya Sony. 

Hal yang memuncak adalah kejadian akhir, kala Tuan Karioka benar-benar kehilangan cara berpikirnya yang logis. Itu mengasyikkan, mengingat ia pada posisi insomnia akut. Namun, terlintas pertanyaan spontan, apakah Sony pernah merasakan insomnia sehingga ia dapat nyaman menceritakannya ke dalam sebuah fiksi? Pasti itu memengaruhi hasil tulisannya, karena pengalaman adalah guru terbaik.

“DAMAI di panti wreda. Damai di Griya Senja. Opa-opa dan oma-oma terlelap. Tapi si patung jerami, Tuan Insomnia, masih terduduk di bandulan, memandang bulan yang bergelantung di atas taman. “Barangkali,” pikirnya, “di bulan aku bisa tidur.” Maka disobeknya dua helai kertas surat, dan dilipatnya jadi sebuah sampan dan sepasang dayung.
“Tuan Karioka, mau ke mana?”
“Ke langit, Nak! Ke bulan!”
“Seorang patung jerami, seorang insomnia, seorang opa berlayar di antariksa, mendayung sampan, menuju bulan.”

Untung saja penyajian “Insomnia” mampu memperbaiki kumpulan karya ini setelah “Seikat Kembang Egois” menjatuhkannya. Cerita tentang seorang yang bucin adalah kebosanan, tidak menandakan ciri khas beserta plotnya yang terlalu rata. Kebahasaannya terlalu memaksakan, mengumpat tapi tak cocok sehingga terkesan aneh. “Seikat Kembang Egois” yang terhimpit oleh “Sukra” dapat menjadi pembanding kenyamanan untuk dibaca, karena jika dibandingkan dengan “Insomnia” maka layaknya membandingkan langit dengan bumi. 

Tak ada perdebatan untuk “Insomnia” dan “Sukra”, keduanya hampir sebanding. “Insomnia” mampu memberikan cerita dengan kebahasaan yang lebih menyentuh, metafora yang tak lebay. Aura fantasi di kedua cerita ini juga kental, meskipun “Sukra” lebih terkekang dengan kebahasaan yang sedikit kaku. Kebahasaan yang kaku itu berpengaruh pada imajinasi pembaca yang juga menjadi sebatas benteng China, cukup luas meski tetap terbatas. 

Berfantasi dalam Dunia Nyata, Nikmat Tak Terhingga

Siapa yang berani taruhan bahwa pengarang ini memang orang yang berpengalaman? Ia bersama kuasanya lihai menceritakan jalan yang berbeda, dengan sudut pandang orang pertama yang pasti nelangsa dan sudut pandang orang ketiga yang menang dalam cerita. Bisa jadi, Sony pernah di prank oleh temannya. Lalu dengan pengalamannya itu, ia menulis sebuah cerita, “Tirai”. Mudah dipahami, karya yang tercipta pada 13 Oktober 1995 ini layaknya seni drama yang sedikit kaku dan ketebak. 

Sebagai hiburan, rasanya cocok-cocok saja sekadar mengisi kebosanan mata. Namun, kalau ditimbang kemungkinan besarnya karya ini menjadi yang paling ringan. Entahlah Sony, motivasi apa yang membuatmu menciptakan karya ini? Jangan Anda berikan sesuatu yang meredup di akhir waktu, mereka (para pembaca) mengharap lebih dari wah. Pemberian suasana yang datar melemahkan seluruh cerita sebelumnya, sangat kontras. 

Biasanya sudut pandang pertama adalah daerah kekuasaan pengarang ini sehingga cerita menjadi menggebu-gebu tak berstruktur. Akan tetapi, cerita “Tirai” hanya sepadan curahan hati yang dibuat-buat dramatis sehingga terasa hiperbola, aneh saja dibandingkan insting khayalan Sony pada umumnya. Apakah mungkin otak perlu rehat sejenak agar kembali pulih dengan kekuatan terbaiknya? Kita menunggu ciptaan Sony Karsono yang menggelora lagi, pahami penggemar yang semakin mengantri di depan toko buku. 

Tak selamanya yang panjang adalah berisi, pendek yaitu kosong, banyak itu berat, sedikit pasti ringan. Prosa “Surabaya Johnny” adalah yang paling panjang dibandingkan ketujuh kakaknya di buku ini, tetapi tak bisa dijejerkan dengan “Sentimentalisme Calon Mayat”, “Melankoli”, maupun “Insomnia”. Kerandoman ceritanya melebihi dongeng anak kecil kepada teman sebangkunya yang bercerita kalau bertemu putri duyung di Pantai Parangtritis. Sebenarnya, karya ini cukup menarik mengingat Sony menulisnya setelah hiatus sejenak, tepatnya pada Desember 2002.  

Kembali pada pandangan pertama, selera. Setiap orang nafsu dengan hal yang berbeda-beda, ingin makan yang beragam, bahkan gaya rambut yang juga beda. Prosa satu ini menggabungkan elemen-elemen dari karya Sony sebelumnya, sebut saja dimensi lain, seks, kelamin, kematian, berahi, cinta, drama. Takjub dengan imajinasinya yang mampu membawa pembaca menuju kayangan, merasa paling suci sekaligus hina. Jika “Melankoli” sudah cukup vulgar dengan permainan seksnya, maka “Surabaya Johnny” adalah lima kali lipatnya. 

Sepertinya norma belum ditemukan di sini, meskipun hanya perihal “punya rasa malu atau tidak”. Selain sosok yang berpengalaman, Sony layaknya ahli segalanya yang mencampurbaurkan sejarah, denah, musik, hingga maestro. Hanya saja, terkadang Sony memaparkan pemikirannya melalui bahasa yang naik turun, bisa sangat kompleks dan nikmat tetapi juga bisa terlalu landai tak bertekstur. Kehiperbolaan Sony dalam menggarap karyanya bisa berujung pada sok asik, tentu berisiko untuk mengundang cemooh. 

Kepada seorang yang beranjak dewasa, hilangkanlah rasa jijik dan malu ketika membaca sepatah demi patah kata dari prosa Sony ini. Akan ada dua reaksi yang didapat, nikmat tak berdosa atau malu terhina. Cobalah untuk jangan sok suci, karena pada waktunya kelamin adalah wajar dan seks adalah kehidupan. Perjamuan Sony akan membuat daya tarik baru bagi pembacanya, cara memandang objek yang lugu menjadi seru juga memanipulasi otak menjadi tabu.

Kalau memang karya ini dibuat untuk masa orang-orang telah berahi, mengapa tidak dicantumkan di sampul depan? Tentu akan menjadi ranjau yang merusak bagi mereka anak-anak polos dan belum tertarik dengan kelamin. Apakah mahakarya ini cocok dibaca bocah ingusan yang masih disuapi oleh ibunya? Anak Baru Gede saja bisa dilema jika membaca karya-karya ini untuk kedua kalinya. Pemberian bumbu seksual seperti necrophilia maupun kelainan seksual lainnya juga tak selamanya baik. Ditakutkan dengan adanya cerita semacam ini, pembaca justru penasaran dan malah memunculkan kelainan seksual itu sendiri. Ironis, jangan sampai penciptaan karya sastra ini dipersalahgunakan untuk hal yang tak senonoh.

Kenikmatan hakiki pasti akan ditemukan, begitu pula pembantahan nalar akan selalu hadir. Cerita fantasi akan selalu memiliki kursi di barisan karya tulis, karena imajinasi seorang penulis takkan mati hingga ia menemui takdir. Hidangan karangan di luar batas nalar juga akan memiliki rival, tentu sebagai anomali bagi sekte pemikiran dinamis. Teguk minumanmu Tuan, kita bersua merayakan kebebasan.

Sumber :
Djokosujatno, Apsanti (2005). Cerita Fantasi: dalam Perspektif Genetik dan Struktural. Jakarta: Djambatan.
Karsono, Sony. (2023). Sentimentalisme Calon Mayat. Jakarta: CV. Pustaka Anagram.
Nurgiyantoro, Burhan. (2013). Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Muhammad Rheyza Perdana Kusuma Hasan

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *