berjalanlah aku memahat kenangan pada waktu, segenap ruang yang tercetak rindu ada ibu memandang penuh luka, menyeru-nyeru namaku, “rumah-rumah gadang di angan, Malin, ialah malam yang tak kunjung dikhatamkan!” sudahlah ibu, tak ada lagi derai hari ini, juga cemara-cemara dalam kebiruan kata, sebab Raudal telah mencurinya dari jiwaku, yang kian risau diamuk hujan penuh racau bayang-bayang rumah gadang menunggu kelepak musim meranggaskan perih masa lalu kukenang pula bayang kanak dengan senyum tersipu, “masihkah terkenang jejak Kundang di batu-batu beraroma kebaya ibu? kedatangan, malam beraroma mawar di jambangan!” ada pula langit dalam dingin yang bersalin, memahat bayang bapak yang berkubur penghujan di tahun-tahun yang jauh merajam, mimpi buruk penuh lemparan batu-batu “di situ, buyung, jiwa-jiwa memahat nisannya sendiri, menorehkan doa sepanjang waktu yang berderai airmata” lalu tibalah masa, ketika segala cerita mulai akrab mendua, kenyataan yang menggaris labirin berkelok celaka, barangkali itulah bulan di mana maut melepasmu dari kecupnya mengawang di angkasa buta, tanpa suara, tanpa degup tanda-tanda dan terbaca dongengan lama, yang mengurai merah gincu di bibir ibu berpuluh tahun memamah sesal, mendera diri dengan keluh dan racau “buyung, yang dipertuan angin di musim lain, serulah namaku di luar penghujan penuh amuk itu, datanglah lagi sebagai kanak lugu yang tak tahu arah dan tuju, tahirkan namaku dalam rindu yang tercetak biru!” gubeng, oktober 2022
Latest posts by Muhammad Daffa (see all)
- Lemari Sukaesih - 11 Februari 2023
- Memoar Ai Mei - 14 Januari 2023
- Memeluk Rumah - 1 Januari 2023